Langsung ke konten utama

Politik Hukum dalam Otonomi Daerah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan politik hukum ketatanegaraan yang beberapa kali mengalami pergantian, yakni masa orde lama, orde baru dan yang sekarang ini orde reformasi. Pemilihan Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi yang menjadi dasar berdirinya daerah-daerah otonom sudah menjadi pilihan sejak awal berdirinya Negara Indonesia, hal ini dapat dilihat dalam UUD 45 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 1945, diatur dalam Pasal (1) Negara Indonesia  ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, dan Pasal 18 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Pada awal era reformasi berkembang dan populer di masyarakat banyaknya tuntutan reformasi yang didesakan oleh berbagai komponen bangsa, antara tuntutannya adalah amandemen UUD 1945 dan  desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (daerah otonom).Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang sudah Tiga tahun  sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa besar di Indonesia  mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh masyarakat dunia. Gerakan Reformasi yang terjadi pada  pertengahan tahun 1997 demikian dasyhat sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak populer untuk menjalankan pemerintahan Indonesia.
Sejalan dengan  terjadinya gerakan Reformasi marak pula isu-isu heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi daerah , dan masih banyak isu-isu lainnya. Tidak sesuai dengan harapan masyarakat, ditambah dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah  pemerintah Orde Baru yang  dianggap melaksanakan pemerintahan sentralistik, otoriter dan  korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru  semakin gencar pula tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah  untuk memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas.
Otonomi daerah sebagai suatu sistem pemerintahan di Indonesia  yang desentralistis bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah diatur dalam UUD 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat  dan Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif  dilaksanakan setelah dua tahun sejak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001. 


B.     Rumusan Masalah
Dari berbagai persoalan yang di jelaskan di latar belakang masalah diatas penulis merumuskan ke dalam beberapa rumusan masalah diantaranya yaitu :
1.      Bagaimana penerapan otonomi daerah di Indonesia ?
2.       Bagaimana Politik Hukum dalam Otonomi Daerah?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Memahami penerapan otonomi daerah di Indonesia.
2.      Memahami Politik Hukum dalam Otonomi Daerah.


BAB II
KERANGKA TEORI

A.    Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan  pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Ada pula yang dilakukan pemerintah yaitu desentralisasi yang merupakan transfer (perpindahan) kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi publik. Transfer ini dilakukan dari pemerintah pusat ke pihak lain, baik kepada daerah bawahan, organisasi pemerintah yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Selanjutnya desentralisasi dibagi menjadi empat tipe, yaitu :
1.      Desentralisasi politik, yang bertujuan menyalurkan semangat demokrasi secara positif di masyarakat
2.      Desentralisasi administrasi, yang memiliki tiga bentuk utama, yaitu : dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan efisien
3.      Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana
4.      Desentralisasi ekonomi atau pasar, bertujuan untuk lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor privat.
Pelaksanaan otonomi daerah, juga sebagai penerapan (implementasi) tuntutan globalisasi yang sudah seharusnya lebih memberdayakan daerah dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

B.     Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah tidak semerta-merta di terapkan di Indonesia, melainkan sudah tentu terdapat alasan dan tujuan yang jelas. Tujuan dari otonomi daerah di Indonesia adalah sebagai berikut ini:
1.      Meningkatkan Pelayanan Umum
Dengan otonomi daerah diharapkan pelayanan umum lembaga pemerintah di masing-masing daerah dapat ditekankan kemaksimalan pelayanannya. Dengan pelayanan yang maksimal diharapkan masyarakat merasakan secara langsung manfaat otonomi daerah.
2.      Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat
Dengan pelayanan yang memadai diharapkan kesejahteraan masyarakat pada daerah otonom bisa dipercepat. Tingkat kesejahteraan masyarakat menunjukkan bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara bijak dan tepat sasaran.
3.      Meningkatkan daya saing daerah
Dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing daerah diharapkan dapat dilaksanakan dengan maksimal. Meningkatkan daya saing daerah harus memperhatikan bentuk keanekaragaman dan kekhususan daerah tertentu dan tetap mengacu pada kebinekaan “Bineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Dalam undang-undang dasar 1945 terdapat 2 nilai dasar mengenai pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, dua nilai dasar tersebut yaitu:
1.      Nilai dasar Desentratilasi teritorial
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik dekonsentrasi dan desentralisasi dalam bidang ketata negaraan.
2.      Nilai dasar Unitaris
Indonesia tidak memiliki kesatuan pemerintah lain yang memiliki sifat negara, maksudnya kedaulatan berada di tangan rakyat, negara Kesatuan republik Indonesia tidak akan terbagi dengan kesatuan-kesatuan pemerintahan.

C.    Pengertian Politik Hukum
Seiring dengan perkembangannya, beberapa pakar mencoba untuk mendifinisikan politik hukum itu sendiri diantara lain :

1.      Satjipto Rahardjo.
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2.      Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus.
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.
3.      L. J. Van Apeldorn.
Politik hukum sebagai politik perundang-undangan .Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan . (pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja).
4.      Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto.
Politik Hukum sebagai kegiatan-kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
5.      Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut : (a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan. (b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland. Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas : Dogmatika Hukum,Sejarah Hukum,Perbandingan Hukum, Politik Hukum, Ilmu Hukum Umum.

D.    Sifat Politik Hukum
Politik hukum bersifat lokal dan partikular yang hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang kesejarahan, pendangan dunia (world-view), sosio-kultural dan political will dari masing-masing pemerintah. Meskipun begitu, politik hukum suatu negara tetap memperhatikan realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang menimbulkan istilah politik hukum nasional.
Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari :
1.      Politik Hukum yang Bersifat Tetap (permanen)
Berkaitan dengan sikap ilmu hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaa pembentukan dan penegakan hukum. Bagi bangsa Indonesia, politik hukum tetap antara lain :
a.       Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem hukum nasional
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik huku yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia). Sistem hukum nasional tersebut terdiri dari :
1)      Hukum Islam (yang dimasukkan adalah asas-asasnya)
2)      Hukum Adat (yang dimasukkan adalah asas-asasnya)
3)      Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematiknya)
b.      Sistem hukum yang dibangun adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 :
1)      Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa.
2)      Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyaraka. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum . Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
3)      Politik Hukum yang bersifat temporer. Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan .

E.     Politik Hukum Nasional
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
Karakteristik politik hukum nasional adalah lebijakan atau arah yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah pembangunan hukum nasional. sebagi bentuk dari kristalisasi kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu untuk menengok kembali rumusan politik hukum nasional yang terdapat dalam GBHN. Pada butir ke-2 TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tentang arah kebijakan bidang hukum dikatakan :
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadau dengan mengakui menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakasilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik : 1) sistem hukum naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum dan agama adat ;Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik : 1) sistem hukum naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu ; 2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum dan agama adat melakukan pembaharuan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Fakta membuktikan bahwa kendati tidak menyebutkan politik hukum kodifikasi dan unifikasi, pemerintah tetap berupaya melakukan kebijakan tersebut. hanya saja, seiring dengan perkembangan sosial-politik dan kesadaran hukum masyarakat, kebijakan tentang unifikasi hukum mengalami tantangan dari banyak pihak. setelah menerima kritik yang bertubi-tubi dan mengalami puncaknya ketika disahkan pemberlakuan peradilan ISLAM, mahkamah Syar’iyah, di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (1) Tampaknya ada kecenderungan kuat Indonesia tidak lagi menganut politik hukum unifikasi, tetapi telah beralih ke pluralisme hukum ; 2) berbeda debga politik unifikasi yang cenderung diitinggalkan, politik hukum kodifikasi masi tetap dilakukan.

F.     Politik hukum sebagai Kajian Hukum Tata Negara
Berdasarkan pengertian Politik Hukum yaitu, kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Dalam definisi ini terdapat penyelenggara negara, dan yang kita ketahui adalah penyelenggara negara adalah pemerintah yang dalam pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertivab dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal UUD 10945 tersebut, dan dioperasionalkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain yang ada dibawahnya.
Pemerintahan atau lembaga negara serta cita-cita suatu negara merupakan bagian dari studi hukum tata negara . Artinya hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum, dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum) kini menjadi kajian dalam disiplin ilmu tersebut. Hal ini sesuai dengan pnegrtian hukum tata negara yang dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dalam sebuah tulisan yang berjudul Thorbecke en het Administratief Reacht (1919) yang mengatakan bahwa hukum tata negara adalah rangkaian peraturan hukum, yang mendirikan badan-badan sebagai alat (organ) suatu negara dengan memberikan wewenang kepada badan-badan itu, dan yang membagi-bagi pekerjaan pemerintah kepada banyak alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah kedudukannya.
 
BAB III
PEMBAHASAN

A.    Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
          Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani)  mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan masayarakat  melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak , wewenang dan kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi daerah memberikan  “roh” pada penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih  participatory. Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan kehilangan makna terpentingnya.
          Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan keanekaragaman  daerah yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadya Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari bebagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan  masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
          Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara  saat ini sudah memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan cara  meningkatkan kreativitas,  meningkatkan inovasi dan meningkatkan kemandiriannya. Bila  pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk mewujudkan “daerah membangun“ (bukan   “membangun daerah”), dapat segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah  untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal  lain yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.
          Pada kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan  sampai saat ini  tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah yang tidak mulus adalah karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu  pada masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan otonomi daerah di 26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak ada hasilnya.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak pemerintah juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini terlihat pada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih  ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain , yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah adalah otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang  telah diberikan kepada daerah.  Selama kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program pembangunan tidak menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di daerah cenderung masih bersifat top  down  daripada bottom up planning .
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan suatu subsistem dalam satu  sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will)  dari semua pihak seperti  pemerintah pusat, pemerintah daerah dan  masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak dapat memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat membendung  pemikiran  primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya. Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya .

B.     Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama  kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi daerah turut mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama otonomi daerah belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan negara  yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan otoriter.  Selain itu pada kedua masa tersebut banyak terjadi distorsi kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah. Tentu saja kita belum dapat melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah pada kedua masa itu, karena pada kenyataannya otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah banyak Undang-undang dan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Pada masa Reformasi tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara serius pula  menyusun kembali Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah tersebut,maka otonomi daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, pada masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun otonomi daerah diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua kelompok masyarakat yang berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi ada masyarakat yang   pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah, mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu. Kelompok masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan ataupun menuntut program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi daerah.  Di sisi yang lain ada kelompok masyarakat yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini cukup aspiratif dan didukung oleh hampir seluruh daerah dan seluruh komponen.
Antusiasme dan tuntutan untuk segera melaksanakan otonomi daerah juga berdatangan dari kelompok-kelompok  yang secara ekonomis dan politis mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yang masih dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap otonomi daerah adalah kebebasan tanpa batas untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan harapan dan dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini, menganggap otonomi daerah memberikan harapan cerah untuk meningkatkan kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan daerah-daerah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai contoh upaya gencar daerah-daerah untuk meningkatkan PAD  dengan cara yang paling mudah yaitu dengan penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang memperebutkan batas wilayah yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan otonomi daerah sehingga dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di atas, juga ada dampak positif yang memberikaan harapan keberhasilan otonomi daerah. Suasana di daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu untuk meningkatkan potensi daerah dengan  berbagai macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat umumnya diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan inovasi diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya yang dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang dapat menjadi potensi andalan dari daerah. Selain itu otonomi daerah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat,  memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi.

C.    Politik hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Politik hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah sekarang ini diatur dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam penjelasan umumnya dikatakan antara lain bahwa Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan:
1.      Prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa  pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah  akan tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional.
2.      Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.
3.      Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
4.      Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya, maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan antara kepentingan nasional yang sinergis  dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
5.      Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional  maka Presiden berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Melalui undang-undang ini dilakukan pengaturan yang bersifat afirmatif yang dimulai dari pemetaan urusan pemerintahan yang akan menjadi prioritas daerah dalam pelaksanakan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut akan tercipta sinergi
kementerian/ lembaga pemerintahan non kementerian yang urusan pemerintahannya
didesentralisasikan ke daerah. Sinergi urusan pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara pemerintah pusat dan daerah, karena setiap kementerian/ lembaga pemerintahan non kementerian akan tahu siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari kementerian/ lembaga non kementerian tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota secara nasional. Sinergi urusan pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi dalam perencanaan pembangunan antara kementerian/ kelembagaan pemerintahan non kementerian dengan daerah untuk mencapai nasional.     

Pemetaan atau klasifikasi Urusan Pemerintahan yakni dengan memetakan antara urusan pemerintahan pusat dan daerah diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 26, yaitu sebagai berikut:
a.       Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
b.      Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
c.       Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintahan tersebut adalah:
a.       absolut meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.
b.      Urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, yakni sebagai berikut:
1)      Urusan Pemerintahan Wajib.
Meliputi:Urusan Pemerintahan  yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan dasar terdiri dari: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat sosial.
2)      Urusan Pemerintahan Wajib
Yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak, pangan, lingkungan hidup, administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, pemberdayaan masyarakat dan Desa pengendalian penduduk dan keluarga berencana, perhubungan,  komunikasi dan informatika, koperasi, usaha kecil, dan menengah, penanaman modal; kepemudaan dan olahraga, statistik, persandian, kebudayaan, perpustakaan, dan kearsipan.
3)      Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi: kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian,  dan transmigrasi.
c.       Urusan Pemerintahan Umum pemerintahan umum meliputi:
1)      Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)      Pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
3)      pembinaan kerukunan antar suku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
4)      penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
5)      koordinasi pelaksanaan tugas antar instansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekaragaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6)      pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila;pelaksanaan semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
Di samping pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga mengatur kewenangan daerah di laut dan daerah yang berciri kepulauan, yang diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 30, yakni:
a.       Kewenangan Daerah Provinsi di Laut
1)      Daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut yang ada di wilayahnya.
2)      Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut meliputi:
3)      eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi;
4)      pengaturan administratif;
5)      pengaturan tata ruang;
6)      ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan
7)      ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara.
8)      Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola  sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
9)      Apabila wilayah laut antar dua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua Daerah provinsi tersebut.
10)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

b.      Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan
1)      Daerah Provinsi yang berciri Kepulauan mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam  di laut
2)      Selain mempunyai kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan mendapat penugasan dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
3)      Penugasan dapat dilaksanakan setelah Pemerintah Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
4)      Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Pemerintah Pusat dalam menyusun perencanaan pembangunan dan menetapkan kebijakan DAU dan DAK harus memperhatikan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan.
5)      Penetapan kebijakan DAU dilakukan dengan cara menghitung luas lautan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut.

D.    Konfigurasi Politik Hukum UU Otonomi Daerah Di Indonesia
Dalam perjalanan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia sejak kemerdekaan sampai dengan masa reformasi telah dikeluarkan berbagai produk UU yang mengatur tentang Otonomi Daerah. Perkembangan dari produk hukum Otonomi Daerah terpengaruh dengan berbagai situasi dan keadaan politik yang berkembang pada saat UU Otonomi Daerah dibuat. Disisi sistem pemerintahan dan kekuasaan politik yang berkembang di Indonesia mempengaruhi pembentukan peraturan perundangan di Indonesia secara umum dan secara khusus hal tersebut juga berpengaruhi dalam pembentukan UU Otonomi Daerah di Indonesia.Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia yang dilihat pada pembentukan peraturan UU Otonomi Daerah, yaitu Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 sampai dengan  Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Dalam periode terbentuknya peraturan perundangan tersebut dapat dilihat pada hubungan kekuasaan politik dan pengaruhnya terhadap pembentukan produk hukum Otonomi Daerah di Indonesia.
Berdasarkan pada asumsi bahwa hukum adalah produk politik, dimana hukum diletakan sebagai dependent variabel dan politik sebaga independent variabel. Dengan melihat hal tersebut, dalam konfigurasi politik dapat terlihat pada sistem politik yang terjadi pada saat perundangan tertentu dibuat. Sedangkan pada karakter produk hukum akan berkolerasi dengan konfigurasi politik. Dengan demikian, dapat dilihat dalam konfigurasi politik akan berpengaruh pada produk hukum yang akan dibuat pada masa tertentu.
Menurut Mahfud MD, suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat kuat pengaruhnya terhadap produk  hukum yang akan diciptakan. Dengan kata lain konfigusi politik dalam suatu negara dapat memberikan gambaran bentuk produk hukum apakah  berkarakter responsif, atau produk hukumnya berkarakter represif atau konservatif.
Mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk hukum yang berkarakter responsif dan karakter hukum yang represif/konservatif. Dengan pandangan diatas tersebut, akan melihat hubungan konfigurasi politik demokratis akan menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif. Sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang represif/konservatif. Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokrasi atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum.
Mahfud MD, dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia meberikan indikator-indikator terhadap konfigurasi sistem politik dan karakter produk hukum. Indikator-indikator tersebut dikonsepkan sebagai berikut :
Indikator Sistem Politik
Konfigurasi Politik Demokratisis
Konfigurasi Politik Otoriter
1.    Parpol dan Parlemen kuat, menentukan haluan atau kebijakan negara
1. Parpol dan parlemen lemah, dibawah kendali eksekutif
2.    Lembaga Eksekutif netral
2. Lembaga eksekutif intervensionis
3.    Pers bebas, tanpa snesor dan pemberedelan
3.Pers terpasung, diancam sensor dan pemberedelan
Indikator Karakter Produk Hukum
Karakter produk hukum responsif
Karakter produk hukum ortodoks
1.      Pembuatannya partisipatif
1. Pembuatannya sentralistik-dominatik
2.      Muatannya aspiratif
2. Muatannya positivist-instrumentalistik
3.      Rincian isinya limitatif
3. Rincian isinya open interpretative
Sumber: Mahfud MD

E.     Politik Hukum Pada Kepemerintahan Daerah
Politik hukum otonomi daerah membuat cetak-biru bahwa DPRD bukan lembaga legislatif pemerintah daerah dan pengawasan pemerintahan daerah. DPRD dapat membuat raperda, diusulkan kepada kepala daerah untuk ditolak atau disetujui, dengan atau tanpa revisi.
Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dibentuklah DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah bersama pemerintah daerah, bersama-sama mengatur & mengurus urusan pemerintahan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasar aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI, sesuai huruf c UU 27/2009.
Pemerintahan daerah dilaksanakan pemerintah daerah dan DPRD sebagai mitra kerja, sejak UU 32/2004 DPRD bukan lagi lembaga legislatif, DPRD tidak dapat meminta laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, dan anggota DPRD separtai dengan kepala daerah cenderung bersikap mendukung kepala daerah. Bila suatu partai menguasai mayoritas anggota DPRD dan kader partai sebagai kepala daerah, pemerintah daerah diwarnai budaya partai dan aspirasi partai tersebut.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mendorong otonomi daerah seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, menjadi dasar kelahiran UU 22/1948 dan UU 1/1957 yang mengatur tentang pembentukan daerah, penambahan urusan, dan delegasi wewenang.
UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah diterbitkan namun tidak terlaksana dalam pemerintahan Orde Baru. Orde Baru berakhir, iklim politik NKRI tersentralisasi mengalami perubahan mendasar dengan munculnya politik desentralisasi & pemberdayaan daerah berotonomi melalui penerbitan UU 22/1999, UU 32/2004 lalu UU 12/2008 tentang pemerintah daerah.

F.     Politik Hukum Untuk Keuangan Pemerintah Daerah
Belum ada politik pendewasaan keuangan pemerintah daerah, belum ada program pemaksaan bertahap agar daerah memperbesar PAD dan mengurangi harapan transafer dari APBN. Sebagian besar APBD adalah berasal dari transfer APBN.
Keuangan daerah termasuk di dalam ranah keuangan negara, pengelolaan keuangan daerah bertujuan untuk optimalisasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, peningkatan kesejahteraan cq PAD, PDB dan pendapatan perkapita.
Pasal 75 ayat (3) UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi dasar penerbitan PP 36/1972 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, PP 48/1973 tentang Pedoman Penyelenggaraan Keuangan Daerah. UU 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, PP 6/1975 tentang Cara Penyusunan APBD menjadi dasar pikiran pembentukan Permendagri 900-009/1980 tentang Manual Adminsitrasi Keuangan Daerah dan Kepmendagri 020-595/1981 tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah.
Reformasi ditandai dengan munculnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah diwarnai euforia pembebasan keuangan daerah, ditandai oleh munculnya hak DPRD menentukan APBD dan tata tertib administrasi keuangan daerah masing-masing tanpa evaluasi & persetujuan propinsi diberlakukan hanya sekitar 5 tahun, dinilai berlebihan, kemudian diselaraskan dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan klausul tersebut di atas lalu dihapus pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Karena reformasi keuangan negara vide UU 17/2003, maka UU 25/1999 tersebut berubah menjadi UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.Karena keuangan daerah berada dalam domain keuangan negara, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara berimbas ke daerah menjadi UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberi hak/wewenang daerah mengelola pajak daerah, retribusi daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah, PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan tiga Permendagri – yaitu Permendagri 13/2006, 59/2007, 21/2011–tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pemerintah daerah, DPRD dengan partisipasi & aspirasi rakyat pemda menetapkan kebijakan umum anggaran (KUA) sebagai landasan rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Sebagai wakil rakyat, DPRD berupaya melayani rakyat, memenuhi aspirasi masyarakat setempat tentang (1) sumber perolehan yang berkenan di hati rakyat, dan (2) alokasi uang rakyat melalui RAPBD memenuhi aspirasi yang baik, serta (3) tak terdapat anggota DPRD menjadi mafia anggaran, tender dan penunjukan rekanan. Sampai saat ini strategi otonomi daerah tak menghasilkan lompatan besar kesejahteraan rakyat daerah, lebih banyak diwarnai aroma KKN APBD. Apabila otonomi daerah dinilai oleh Presiden terpilih 2014 justru menghasilkan KKN daerah, maka tiap DPRD dan pemerintah daerah perlu segera dilengkapi sistem pengawasan KKN & pengaduan publik (whistle blowing system).
Presiden dan kabinet baru diharapkan mengubah dasar alokasi dana perimbangan kabupaten sampai ke desa secara lebih tepat dan lebih adil, misalnya mempertimbangkan alokasi sadar senjang atau gap, berbasis klasifikasi kawasan (Indonesia bagian Barat atau Timur), jumlah penduduk, kepadatan penduduk, ragam kelompok etnis, rentang kendali terkait luas wilayah darat ditambah laut, kondisi prasarana dasar minimum, kondisi sosial & perekonomian, UMKM & etos kerja (sebagai syarat efektivitas alokasi), SDA & Penghasilan Asli Daerah, topografi dan kondisi alam (sulit/mudah, gersang/subur), bukan sekadar berbasis luas wilayah & jumlah penduduk.
Mudah sekali menengarai pemerintahan demokratis atau otoriter. Pada pemda yang demokratis, kehendak rakyat yang baik dan benar diutamakan DPRD dan pemerintah daerah, bukan kebutuhan aparat pemda sendiri bahkan kebutuhan DPRD sendirilah yang diutamakan. Agar tidak dituduh otoriter, kehendak rakyat yang tidak patut & tidak terakomodasi dalam RAPBD dijelaskan dengan sabar oleh Bupati, Camat, Lurah, Kepala Desa melalui media publik setempat.
Adapun ukuran pemerintahan yang baik yaitu:
1.      Secara hukum, pemerintah daerah yang demokratis & bertanggung jawab ditandai oleh:
2.      Kemampuan pelaporan LK pemerintah daerah berbasis PP 71/2010 dan perolehan opini WTP BPK atas LK pemda,
3.      Tidak ada kasus korupsi APBD dan/atau sanksi pidana kepada Bupati atau anggopta DPRD,
4.      Tidak ada kasus KKN pada lelang, nominasi, dan penunjukan langsung perusahaan pengelola SDA pemda atau proyek-proyek pemda,
5.      Tidak ada salah alokasi anggaran, misalnya tidak terdapat belanja bansos dalam belanja modal & barang untuk digunakan sendiri oleh pemda.

 
BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakikat dan tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan bila dipahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah menunjukkan  prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya otonomi daerah secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi daerah sebab otonomi daerah diharapkan dapat membawa pemerataan dan keadilan. Sistem desentralisasi dan otonomi daerah dalam mengawal politik hukum menjamin terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya.
Melalui otonomi daerah peluang untuk melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan yang selama ini tidak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan daya saing di era globalisasi ini utamanya dalam politik hukum.

B.     Saran
Demikian makalah ini terkait politik hukum dalam otonomi daerah, peran semua pihak (stake Holder) sangat diperlukan dan lebih memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan daerah sehingga lebih mempunyai nilai kemanfaatan dalam kemajuan daerah.




DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, sinar harapan, Jakarta, 1994
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2008
Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : CIDES
Krishna dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan,  citra aditya bakti, 2003
Mahfud  MD, Politik Hukum di Indoinesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, “ Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah “, Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II, Januari
Mubyarto, 1988, Sistim dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta : LP3ES
Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media.
Mubyarto, 2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
Ni”Matul Huda, Problematika Pembatalan Perda, FH UII, Yogyakarta, 2010
Nugroho D., Riant, 2000, Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo
Nurliah Nurdin, Komparasi Sistem Presidensial Indonesia Dan Amerika Serikat Rivatilitas Kekuasaan Antara Preseiden dan Legislatif,  MIPI, Jakarta, 2012
Soekanto, Soerjono, 1970, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Soemardjan, Selo (Ed.),2000,  Menuju Tata Indonesia Baru,  Jakarta : PT Gramedia
https://www.kabarhukum.com/2015/09/08/pengertian-politik-hukum/
https://www.ksap.org/sap/politik-hukum-otonomi-daerah-2015/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

Makalah 10 Tantangan Masa Depan (Administrasi Pembangunan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seperti yang apat disaksikan dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan besar menyangkut aktivitas kehidupan manusia. Perkembangan dan perubahan aktivitas manusia dan masyarakat suatu negara menuntut Pemerintah suatu negara untuk memiliki kualitas dan kemampuan mengatur dan melayani kebutuhan, harapan dan tuntutan yang semakin lama semakin kritis dan semakin besar dan kompleks. Sejalan dengan perkembangan tersebut, dimana negara negara di dunia semakin menglobal seolah tanpa batas menyebabkan administrasi negara harus mampu untuk dapat mengimbangi berbagai tuntutan dan kebutuhan untuk mengatasi dan mengantisipasi perubahan yang sangat cepat tersebut. Tidak hanya peningkatan aspek praktis yang perlu diperhatikan, tetapi hal yang berkaitan dengan aspek teoritis dan ilmiah perlu juga mengadaptasi perhatian. Berkaitan dengan persoala...