BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pembaharuan
dalam islam dikenal juga dengan modernisasi islam, yang mempunyai tujuan untuk
menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam agama dengan ilmu pengetahuan dan
Falsafah modern, tetapi perlu diingat bahwa dalam islam ada ajaran yang tidak
bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang
bersifat abadi dari masa ke masa. Dengan kata lain pembaharuan mengenai
ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan karena sudah tidak bisa
lagi diganggu gugat seperti pada hukum- hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali beberapa aspek yang memang
memerlukan untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
modern sehingga mampu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang
ini.
Kemunculan ide
pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2
H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam
berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan
pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir
Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan
argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain
(terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya
untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat
untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada
perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini
dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan
generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang
dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini
menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir
Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir
ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan
hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang
munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang
bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih
lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan
Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami
kemerosotan.
Disaat kaum
muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni
oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan
semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan
melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada.
Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan
pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan
perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).Maka dari itu penulis mengambil judul
tentang tokoh-tokoh pembaharuan dalam islam
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian pembaharuan dalam Islam?
2. Bagaimana
Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Memahami
konsep pembaharuan dalam Islam.
2. Memahami
Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan Islam adalah
upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Dalam bahasa arab Pembaharuan Islam disebut Tajdidsecara
harfiah tajdid berarti pembaharuan dan pelakunya
disebut Mujaddid. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti
mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan
hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Sesuai dengan perkembangannya
zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan
para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu
dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya.
Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan
dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu
kepada kondisinya yang seharusnya”.
Dalam bahasa Arab, sesuatu
dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu
dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk
mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang
lebih jelas, Thahir ibn ‘Ansyur mengatakan, Pembaharuan agama itu mulai
direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi
pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap
agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi
amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Rasulullah pernah mengisyaratkan
bahwa[2]
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ
عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
” Sesungguhnya Allah akan
mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan
memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun” (HR.
Daud)
Tajdid yang dimaksud oleh
Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan
tetapi seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah
mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan
yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman.
Tema “mengembalikan agama
seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang
pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi
maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat
Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan
jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama,
upaya tajdidsecara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal
yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan
untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya
mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan
teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam[3].
Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama setelah
perjalanannya berabad-abad lamanya dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana
Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian
mereka.
Kedua, memberikan jawaban
terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan
zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali
tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa
Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat
memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran
Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang
lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah
umat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Pembaruan Islam dapat pula
berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat didalam Al
Quran dan Al-Sunnah. Diperlukan karena terjadi kesenjangan antara yang
dikehendaki Al Quran dengan kenyataan di masyarakat. Al Quran misalnya
mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan pengetahuan modern serta
teknologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat
dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang
lain, menghargai waktu dan menyukai kebersihan.[4]
Pembaharuan dalam Islam telah
banyak mengemukakan ide pembaruan dalam Islam dengan maksud seperti diungkapkan
diatas, Muhammad Abduh dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat
dalam ajaran Islam kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya dibuka kembali
ke pintu ijtihad. Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan bahwa untuk mencapai kemajuan
perlu meninggalkan paham qadariah , perlu percaya bahwa hukum alam
dengan wahyu yang ada dalam Al Quran tidak bertentangan.
B.
Tokoh
Pembaharuan Dalam Islam kawasan Timur
1.
Jamaluddin
Al-Afghani
a. Biografi
Jamaluddin
Al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun
1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897.[5] Tetapi
penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia sebenarnya lahir di kota yang
bernama sama (As’adabad) tetapi bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini
menyebabkan banyak orang, khususnya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir
pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah
terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri,
dengan sebutan Al-Afghani.[6]Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin
Ali melalui Ali At-Tirmizi,ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab
Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai
bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
b.
Pemikiran Jamaluddin
Al-Afghani
Menurut
Afgany, ilmu pengetahuan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula
sebenarnya yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun
di Barat. Ilmu juga yang mengembangkan pertanian, industri, dan perdagangan,
yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya
merupakan ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.[7]
Selain
itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah
satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan.
Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan
bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.[8]
Ini membuktikan
bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa
bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak
dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam
bidang pendidikan tersebut.
2. Tahtawi
a.
Biografi
Al-Tahtawi
memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia
merupakan pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di
pertengahan pertama dari abad ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta
merupakan kota yang berada di bagian selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di
kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua
al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu dan ia terpaksa menempuh
pendidikan masa kecilnya oleh bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16
tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada
tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.
Al-Tahtawi
merupak murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-Attar yang banyak
mempunyai hubungan dengan Napoleon ketika ia datang ke mesir. Gurunya
al-Tahtawi ini sering mengadakan kunungan kepada ahli-ahli dari Prancis
tersebut untuk mengetahui kemajuan ilmu pengetahuan mereka. Dan mereka
pun menerima kunjungan itu dengan senang hatu karena mereka bisa
belajar bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b.
Pemikiran
Di
antara pendapat baru yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal.
Sasaran pendidikannya terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama
antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan
pendidikan hendaknya dimulai dengan memberikan kesempatan belajar yang sama
antara pria dan wanita, sebab wanita itu memegang posisi yang menentukan dalam
pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang
berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri yang cerdas.[9]
Bagi
al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah
pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi
pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap
II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam,
biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan
tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai
disiplin ilmu.[10]
Dalam
proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih
sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya
memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui
penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan
anak didik.[11]
Dengan
demikian, dipahami bahwa al-Tahtawi sangat memperhatikan metode mengajar dengan
pendekatan psikologi belajar.
3. Muhammad Abduh
a.
Biografi
Syekh
Muhamad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada
1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula
keturunan bangsawan.
Muhammad
Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian,
ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan. Semua
saudaranya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh
yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini
bisa jadi hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat dicintai
oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak
sabar ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua minggu sejak
kepergiannya, ibunya sudah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang
sangat muda yaitu pada tahun 1865, saat ia baru berusia 16 tahun.
Pendidikan
Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari
Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur'an. Setelah dua tahun berjalan di
sana, pada tahun 1864 ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani
seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia
dikawinkan.
b.
Pemikiran
Menurut
Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengadakan
pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis. Gagasannya yang paling
mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia sangat menentang sistem
dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan
agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus diajarkan ilmu
pengetahuan modern.
Usaha
yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah
melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan
disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang
sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu
umum perlu diajarkan di al-Azhar.[12]Dengan memasukkan ilmu
pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya,
dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli
modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
4. Rasyid Redha
a.
Biografi
Nama
lengkap Muhammad Rasyid Rida adalah al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida
ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali
Khalifah al-Baghdadi.[13] beliau dilahirkan di
Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil
‘Ula 1282 H (1864 M). Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah
putri Rasulullah saw.[14]
Pada
tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan
pembaharuan di Mesir. Dua tahun kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi
nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan ide-idenya dalam usaha
pembaharuan.
b.
Pemikiran
Dalam
bidang pendidikan, Rasyid Ridha memandang bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
tidak bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, peradaban Barat modern harus
dipelajari oleh umat Islam. Hal ini relevan dengan pendapat gurunya (Muhammad
Abduh) bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat wajib dipelajari umat Islam
untuk kemajuan mereka.[15]Beliau juga
berpendapat bahwa mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya mengambil
kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.[16]
Usaha
yang dilakukan di bidang pendidikan adalah membangun sekolah misi Islam dengan
tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh,
sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Kristen. Sekolah tersebut
didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa
al-Irsyad.[17]
Dalam
lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang
biasa diberikan madrasah tradisional.
5. Qasim Amin
a.
Biografi
Qasim
Amin di lahirkan di kota Cairo paada tahun 1863, dari seorang ayah
Muhammad Beik Amin yang berdarah Turki dan Ibundanya berdarah Mesir Kelahiran
Sha’id. Keluarga Muhammad Beik berasal dari keluarga penguasa negara dan
tergolong kaya.
Muhammad
Beik juga merupakan sosok pratisi yang tergolong ilmuan dan kaya dengan
pengalaman praktis, terutama dari pengalaman sebagai pegawai tinggi
Turki, Beliau juga turut berperan dalam karir Amin. Karena sang ayah tidak
rela jika anaknya hanya sekedar mempunyai kemampuan teoritis.
Cara
Beliau mewujudkan kepeduliannya yaitu dengan cara menjalin hubungan yang baik
dengan Mustafa Fahmi. Yaitu dengan cara, menitipkan putranya untuk dilatih
secara praktis di kantor pengacara tersebut.
Qasim Amin
ialah sosok intelektual Mesir yang memiliki basis pendidikan dan pergaulan yang
luas, perjalanannya pun mulai dari Dunia Arab khas Timur Tengah hingga dunia
Eropa dan Amerika yang metropolis. Qasim Amin bisa diandaikan sebagai “ikon”
yang begitu getol memperjuangkan terciptanya peradaban baru islam yang
berbingkai keadilan, kesetaraan dan kemuliaan bagi laki-laki dan perempuan
sekaligus.
b.
Pemikiran
Usaha
Amin memberdayakan dan mengangkat martabat perempuan, di mata Amin, adalah
usaha untuk menegakkan apa yang di pandangnya sebagai
prinsip ideal Islam vis avis realitas sosial perempuan Mesir, dan
juga demi sebuah kemajuan bangsa.
Gagasan
ini muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulisn intelektual Amin terhadap
realitas perempuan Mesir. Ia juga melihat perempuan di Mesir telah
dipinggirkan dalam relasi laki-laki. Ide emansipasi wanita yang dicetuskan
oleh Qasim Amin timbul karena sentakan tulisan wanita prancis Duc.
D’ Haorcourt yang mengkritik struktur sosial masyarakat Mesir,
terutama keadaan perempuan di sana.[18]
Qasim Amin
begitu menaruh harapan kepada kaum perempuan untuk dapat menempuh pendidikan.
Karena terdapat hubungan yang positif antara pendidikan perempuan dengan
kemajuan perempuan. Pendidikan untuk perempuan di yakini sebagai salah
satu cara untuk melepaskan kaum perempuan Mesir dari perlakuan
diskriminatif.
6.
Thaha
Husein
a.
Biografi
Thaha Husein
dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah terkena
penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang biasa menyerang anak-anak ketika
itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya menuntut ilmu. Ia belajar
al-Quran dan dapat menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun
1902, ia dikirim orang tuanya untuk belajar di al-Azhar dengan harapan agar
kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama
dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi
Thaha Husein keluar dari al-Azhar, ia kecewa dengan sistem pengejarannya yang
sempit dan tidak berkembang serta materi pelajarannya amat tradisonal dan
menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu
yang amat menonjol dari keterpengaruhannya adalah sikapnya yang menentang
praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai seorang yang
tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908
bersamaan dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri,
di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio Buidi,
Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha
Husein mempertahankan disertasinya yang berjudul Dzikra Abi
al-'Ala dan berhasil yudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga
Thaha Husein dikirim ke Perancis untuk belajar sejarah.
b.
Pemikiran
Untuk
meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi
adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan
melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat
itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam
berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.
Menurut beliau,
universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode
analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya
bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.[19]
Untuk
mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar
sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak
tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode
penelitiannya.[20]
Gagasan Thaha
Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan di Mesir karena
mampu melahirkan inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan dan di sinilah
muncul kemampuan belajar efektif dalam belajar yang sesungguhnya.
7.
Sultan
Mahmud II
Kegagalan
Sultan Sanlim III tidak menyulutkan penggantinya Sultan Mahmud II untuk
mengadalan pembaharuan. Pada tahun 1826 Sultan Mahmud II membentuk korp tentara
baru di luar Jeniseri dan menggunakan instruktur dari Mesir tidak berasal
dari Eropa agar tidak direspon negatif oleh ulama dan segera membubarkan.
Jeniseri serta
melarang Tarekat Bektasy, mengadakan penghapusan wajir agung diganti dengan
perdana menteri, wajir agung pada saat itu dipegang oleh syaikh al-Islam, pembaharuan
sistem hukum yang memberlakukan hukum sekuler di samping hukum syari’ah,
peradilan syariah diserahkan kepada syaikh al-Islam sedangkan peradilan sekuler
diserahkan kepada Majlich-I Ahkam-I Adliye, dan pembaharuan di bidang
pendidikan dengan membentuk sekolah umum ( Mekteb-I Ma’arif) dan sekolah sastra
( mekteb-i ‘Ulum-u Edebiye).[21]
8.
Tanzimat
Sepeninggal
Sultan Mahmud II, gerakan pembaharuan dilakukan oleh Abdul Majid (1839-1861)
dengan perdana menteri Rasyid Pasya. Periode ini disebut masa Tanzimat
yang mengandung arti peraturan dan perundang-undangan baru. Tokoh-tokoh
Tanzimat antara lain: Rasyid Pasya, Mehmed Sadik Rifat Pasya, dan Muhammad Ali
Pasya dan Fuad Pasya.
Diantara
beberapa peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada masa tanzimat antara
lain:[22]
a. Piagam
Hatt-I Sherif Gulhane tahun 1839 sebagai dasar pembaharuan di bidang
administrasi, perpajakan, hukum, pendidikan, kau minoritas dan militer yang
menyebabkan perang di Crimea akibat penolakan kaum ulama akibat dari
reduksi peran ulama.
b. Piagam
Hatt-I Humayun ( 1856 M) yang mengakomodir hak-hak minoritas. Piagam ini
mendapat reaksi keras dari ulama dan kelompok penduduk yang berpendidikan Barat
yang tergabung dalam Usmani Muda.
9.
Sayyid
Ahmad Khan
a. Biografi
Singkat
Ia lahir
di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari
keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad saw melalui Fatimah dan Ali. Ia mendapat
pendidikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping bahasa Arab, ia
juga belajar bahasa Persia. Ia orang yang rajin membaca buku dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sewaktu berusia depalan belas tahun
ia masuk bekerja pada Serikat India Timur, kemudian ia bekerja pula
sebagai hakim. Tetapi di tahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi untuk
meneruskan studi.
b. Pemikiran-pemikiran
Pembaharuan
1) Bidang
Politik :
a) Peningkatan
kemajuan umat Islam di India dapat diwujudkan bukan melawan penjajah Inggris,
tetapi harus bekerja sama dengan Inggris sebagaimana yang dilakukan umat Hindu.
b) Umat
Hindu lebih maju peradabanya dari pada umat Islam sebab umat Hindu lebih
senang bekerja sama dengan Inggris.
c) Inggris
maju dalam hal peradabannya karena lebih menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, oleh karena itu umat Islam harus belajar Iptek dari
penjajah Inggris
d) Memberontak
atau melawan Inggris tidak ada artinya apabila umat Islam belum mampu melawan.
e) Berusaha
meyakinkan pihak Inggris bahwa umat Islam bukan musuh tetapi umat yang cinta
damai.
f) Umat
Islam adalah satu umat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan umat Hindu,
oleh karena itu umat Islam harus memiliki Negara sendiri.
2) Bidang
agama :
a) Umat
Islam mundur dikarenakan faham fatalist (jabbariyah), yaitu paham
bahwa nasib manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak sanggup
merubahnya. Akibat dari paham ini menyebabkan umat Islam tidak memiliki kemauan
keras untuk maju, pasrah tanpa usaha serta lebih senang menyerahkan
persoalannya kepada Tuhan. Padahal Tuhan telah memberikan akal dan
potensi lain yang dianugerahkan kepada manusia untuk mencapai kemjuan-kemajuan.
b) Sebenarnya
manusia diberikan kebebasan untuk memaksimalkan peran akalnya (free will) dan
berbuat sesuatu secara bebas (free act) namun tetap dalam koridor tauhid kepada
Allah dan tidak bertentangan dengan hukum Allah.
c) Kebebasan
dalam berfikir umat Islam terhenti karena pendapat, bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Akibat dari pendapat ini umat Islam tidak memiliki gairah untuk
menemukan teori-teori baru melalui jalan ijtihad sebagaimana telah terjadi pada
abab II H, di mana umat Islam pernah mencapai kejayaan di semua bidang
pengetahuan.
d) Dalam
kehidupan ini, Allah telah menentukan hukum alam (nature law) yang telah
ditetapkan sesuai kehendaknya. Hukum itu berupa hukum sebab akibat yang berlaku
bagi setiap orang /manusia. Dalam menentukan hukum alam ini , manusia diberikan
kebebasan untuk memilih (ikhtiyar) antara baik atau jelek, dan antara maju atau
mundur.
10.
Cak
Nur (Nurcholis Madjid)
Cak Nur atau
biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya
sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia
sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi
bangsa.
Cak Nur dikenal
dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an
keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap
manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar.
Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang
lain, walaupun memeluk agama yang sama.
Hal ini
berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak Nur mendukung
konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut
dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai
dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa
manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan
yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan
dalam memilih adalah konsep yang logis.
Manusia akan
bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa
yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa
akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Namun demikian,
ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada
tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh PresidenSoeharto terutama dalam
mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda
krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik
yang lebih parah.
Ide dan Gagasan
Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan
baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat
Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif)
pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan
Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak
Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam
Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak
dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian
masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali
partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah
berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk
partai yang berlabelkan agama.
11.
K.H.
Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai
Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta
pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad
Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga
dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan
adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara
yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah
ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH.
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi
haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan
mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua
tahun.
Pada masa ini, beliau sempat
berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim
Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan
Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau
dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.[23]
K.H. Ahmad
Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan dan membuka
kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman,
bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan
terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun
melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal
perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut
pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya
saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu
dogma yang mati.
Gagasan untuk mendirikan
organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran
pembaruan Kyai Dahlan,secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi
sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1
Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah”
(kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan
secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang
didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan
”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan
di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat
di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan
papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan
ilmu-ilmu umum.
Di bidang
pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu,
yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang diajarkan lantaran
mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Sehingga Kiai
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan
umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada
sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun
sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan
sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah
pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa
semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang
berlebihan terhadap pusaka-pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan
tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran
ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang
Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus
untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian
dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum wanita
dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu –
sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul
Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang,
memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan
uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.
Pemikiran-pemikirannya
a. Berkaitan
dengan sosial kemasyarakatan yang ada di Jawa khususnya, Ahmad Dahlan menawarkan
3 konsep pemikiran, yaitu modernisme, tradisionalisme dan jawanisme. Menghadapi
modernisme Dahlan menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat.
Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan metode tabligh, yaitu
mengunjungi murid-muridnya untuk melakukan pengajian, ini merupakan perlawanan
terhadap pemujaan tokoh dan perlawanan terhadap mistisisme agama yang
bertentangan ajaran Islam. Sedangkan dalam menghadapi jawanisme, Ahmad Dahlan
menyikapinya dengan metode positive action yang mengedepankan amar
ma’ruf nahi munkar. Dengan metode ini Ahmad Dahlan menekankan bahwa
keberuntungan hidup semata-mata kehendak Tuhan yang diperoleh manusia melalui
shalat, bukan melalui jimat, pengeramatan kuburan, dan tahayul.
b. Pembaharuan
Islam dilakukan melalui agenda perbahan sosial dengan metode ijtihad dan
tajdidnya. Ahmad Dahlan dalam melakukan proses ijtihad tanpa harus
memperhatikan berbagai persyaratan yang ketat bagi seorang mujtahid. Hal
penting dalam berijtihad adalah berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
c. Melakukan
perbaikan kehidupan masyarakat Jawa agar sesuai dengan pemahaman Islam yang
benar yaitu kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pemurnian ajaran tauhid dan
tidak beriman secara taqlid.
12.
K.H.
Hasyim asy’ari
a. Biografi
K.H. Hasyim
Asy’ari nama aslinya adalah Muhammad Hasyim, lahir di Demak pada tahun 1876 M.
Dilihat dari silsilah, dapat diketahui bahwa M. Hasyim berasal dari keluarga
dan keturunan pesantren yang terkenal. Pendidikan ke berbagai
pesantren ditempuh Muhammad Hasyim mulai beranjak usia lima belas
tahun, berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa dan Madura.
Dikabarkan bahwa beliau pernah belajar bersama-sama dengan K.H. Ahmad Dahlan di
Semarang sebagai kawan sekamar.
Muhammad Hasyim
selama tujuh tahun bermukim di Mekkah, di antaranya berguru kepada Syeikh
Mahfudz Al-Tarmisi (ahli Hadits) dan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Dari
berbagai perjalanan mencari ilmu dari pesantren ke pesantren
baik Indonesia maupun luar negeri pengetahuannnya pun semakin luas.
Oleh karena itu, dada Muhammad Hasyim telah dipenuhi ilmu agama, sehingga
beliau diberi gelar Kiai.
Muhammad Hasyim
mendirikan organisasi yang bernama “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) yang
didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M./ 16 Rajab 1344
H. Berdirinya organisasi NU ini dilatarbelakangi berdirinya “Komite
Hijaz” yang mengutus delegasinya ke Mekah untuk mewakili
kepentingan-kepentingan tradisional dalam muktamar Alam Islami kedua tahun 1926
yang diselenggarakan di Saudi Arabia. Komite mengurtus delegasi yakni K.H.
Bisri Syamsuri dan K.H. R. Asnawi untuk pergi ke tanah Hijaz, tapi kemudian
gagal dilakukan karena keduanya ketinggalan kapal. Sebagai gantinya Komite
Hijaz mengawatkan melalui telegram empat pesan untuk Raja Ibnu Saud, yaitu :
1) Meminta
Raja Ibnu Saud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat;
2) Memohon
tetap diresmikannya tempat-tempat bersejarah yang telah diwakafkan untuk
masjid, seperti kelahiran Siti Fatimah dan Khoizyran;
3) Memohon
agar disebarkan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum datangnya bulan haji
mengenai hal ihwal haji, seperti ongkos haji dan syeikh haji;
4) Memohon
semua hukum yang berlaku di Hijaz ditulis sebagai Undang-Undang, supaya tidak
terjadi pelanggaran hanya karena belum tertulis.
b. Pemikiran-pemikirannya
1) Berusaha
melestarikan ajaran Islam berhaluan Ahlussunnah wal jamaah yang
bermazhab, dalam bidang theologi bermazhab kepada Abu Hasan Asy’ari
dan Abu Manshur al-Maturidi, dan bidang fiqh (hukum) bermazhab
kepada 4 mazhab, yaitu Abu Hanifah, Anas bin Malik, Muhammad Idris As Syafi’i
dan Ahmad bin Hanbal, dan bidang tasawuf mengikuti tasawuf Imam Ghazali dan
bidang tihariqah mengikuti Thariqoh Qadariyah dan Naqsabandiyah.
2) Melestarikan
budaya dan adat istiadat yang memiliki kemanfaatan serta yang tidak
bertentangan dengan aqidah islamiyah.
3) Ijtihad
telah tertutup, dengan alasan persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid harus
memilki persyaratan yang cukup berat dan permasalahan hukum telah cukup
betittiba’/taqlid kepada 4 mazhab
4) Di
bidang pendidikan NU banyak mengelola pesantren sebagai basis perjuangan
mengusir penjajah di samping sebagai tempat menuntut ilmu agama.
5) Selain
pesantren NU juga mendidrikan madrasah-madrsah, sebagai upaya pengembangan
kemajuan terhadap system pesantren.
13.
Abdul
Karim Amrullah
Lahir dengan
nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10
Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu
ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan
pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim
Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung Tarawas.
Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan syekh dari Tarekat
Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi
orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas
Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Pada tahun
1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan berguru pada
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam
Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau
mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang,
kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul
Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan
Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.[24]
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.[24]
Pemikirannya tentang komponen
pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan islam, kewajiban kedua orangtua
sebagai pendidik pertama dann utama dalam menanamkan nilai akhlak pada seorang
anak, kewajiban guru dan kriteria guru yang ideal, metode pendidikan,
memberikan peluang kepada anak didik untuk berfikir secara kritis dan merdeka,
integralitas materi pendidikan islam, serta peranan pemerintah dalam
pendidikan.
Dinamika pemikiran inovatifnya
tentang pendidikan Islam dapat terlihat dari upayanya menggeser sistem
pendidikan tradisional yang masih sederhana, kepada sistem pendidikan modern
yang kompleks dan sistematis. Proses ini merupakan perwujudan pemahamannya
terhadap inklusivitas ajaran Islam yang dinamis. Melalui peahaman tersebut, ia
berupaya mengolaborasi sistem pendidikan umat Islam yang lebih adatif dan
proposional. Dengan sistematika model pendidikan yang demikian, pelaksanaan
pendidikan diharapkan akan mampu mengantarkan peserta ddidik menjawab dinamika
zaman secara aktif, tanpa melepaskan diri dari norma-norma ajaran agamanya.
Wacana pemikirannya tentang
pendidikan dilakukan sebagai respon terhadap realitas sosialnya, terutama
terhadap praktek pendidikan tradisional yang masih dipertahankan umat Islam
waktu itu. Ia mencoba merombak dan sekaligus melakukan pembaruan terhadap
orientasi pendidikan Ilsam yang selama ini masih rendah dan tertutup
(eksklusif). Upaya tersebut dilakukan melalui pendapatan modern drngan
menekankan pada adspek religiusitas. Di sini terlihat bagaimana ide-ide
pembaruannya tentang pendidikan Islam serta informasi dalam upayanya ikut
merespon situasi sosial yang sedang dihadapi umat Islam. Ia mencoba membangun
sebuah “Terobosan baru” kultural maupun keagamaan untuk mengembalikan daya
gerak psikologis (psychological stricking force)umat Islam yang selama ini
terbelenggu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pembaharuan
Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Maka pembaruan Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahkan
teks Al Quran maupun teks al hadist. Melainkan hanya menyesuaikan paham atas
keduanya sesuai dengan perkembangan zaman.
Pembaruan Islam
hampir setiap tokoh mengutamakan pembaharuan dalam metode menuntut ilmu dalam
hal ini pendidikan. Agar Ummat mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang
terdapat didalam Al Quran dan al-sunnah. Diperlukan karena terjadi kesenjangan
antara yang dikehendaki Al Quran dengan kenyataan di masyarakat. Al Quran
misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan pengetahuan
modern serta teknologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai yang
bersifat dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka.
B.
Saran
Penulis
menyadari Makalah ini masih belum sempurna maka dari itu kami mengharapkan
Kritik serta saran yang bermanfaat serta membangun agar kelak dikemudian hari penulis
dapat membuat makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, Banjarmasin: Balai Penelitian
IAIN Antasari, 1990.
A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.),
h. 181.
Ahmad
Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja /Rosdakarya.
Ali
Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II; Jakarta: Logos,
1999.
Eka
Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.
H.M.
Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi
Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta : Bulan
Bintang, 1994.
John
J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mukhadumar.2013.tokoh pembaharu islam http://mukhamadumar.blogspot.co.id/2013/12/para-tokoh-pembaharuan-dalam-dunia-islam.htm
Qasim Amin, Sejarah Penindasan
Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan
Baru, .Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Sharingmahasiswa.2013.tokoh
pembaharu di Indonesia. http://sharingmahasiswa.blogspot.co.id/2013/08/tokoh-pembaharuan-islam-di-indonesia.html
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan
Sekularisasi .Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,Jakarta: Djambatan, 1992.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan
Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang:
IAIN Alauddin, 1993.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada
[1] Harun Nasution, Pembaharuna
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
cet 1, hlm.10
[3]Harun Nasution, Pembaharun dalam
Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet
1, hlm.10
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet 20, hlm. 378
[5] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, op cit
hal. 130
[6] Eka
Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.hal 203
[7] Ali Mufradi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158
[8] Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Djambatan,
1992.), h. 300
[9] Tim Penyusun Text Book Sejarah dan
Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan
Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
[10] Ibid, h. 221
[11] Ibid, h. 221-222
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi
Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.
[13] A. Athaillah, Aliran Akidah
Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 13
[14] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280.
[15] Harun Nasution, op. cit., h.
151.
[16] Ibid, h. 75
[17] Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.
Cit., h. 163.
[18] Qasim
Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat
Perempuan Baru, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 85-109
[19] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan
Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99
[20] Ibid
[21] H.M. Yusran Asmuni. Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, hal. 3
[22] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke
masa, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 283
[23]
Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan.
Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. Hal 45
[24]
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Hal 89
Komentar
Posting Komentar