Langsung ke konten utama

Makalah Sejarah Peristiwa Pemberontakan tahun 1948-1965


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Paska diproklamasikan kemerdekaanya tangga 17 Agustus 1945 Indonesia mengalami banyak permasalahan. Sebagai Negara yang baru kelengkapan Negara yang dibentuk melalui sidang-sidang belum dapat berjalan maksimal. Disisi lain pemerintahan jajahan dalam hal ini adalah Belanda belum mau melepaskan Indonesia secara penuh. Setelah jepang kalah dalam perang melawan Sekutu. Sekutu melalui NICA datang ke Indonesia namun Belanda ikut bersamanya. Belanda kemudian melakukan agresi-agresi militer.
Untuk menyelesaikan perseturuan dengan Belanda dibuatlah beberapa perjanjian-perjanian yang sebenarnya tidak menguntungkan Indonesia. Dalam perjanjian-perjanjian ini Belanda mencoba memecah belah kembali Indonseia. Salah satu isinya adalah memberntuk Uni-Indonesia beladan dan egara Indonesia diubah menjadi negera serikat dimana terdapat Negara-negara bagian didalam Indonesia.
Karena merupakan Negara baru pembangunan dan perekonomian belum dalap berjalan merata hal ini lah yang memicu ketidak puasan negera-negara serikat karena pembangunan ekonomi hanya terpusat di Jawa. Oleh karena itu banyak Negara bagian yang ingin melepaskan diri dan berdiri sendiri.

B.      Rumusan Masalah
1.       Apa saja Pemberontakan yang terjadi Di Indonesia ?
2.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan PKI MADIUN?
3.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan DI/TII?
4.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan PPRI/PERMESTA?
5.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan APRA?
6.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan Andi Aziz?

C.      Tujuan Pembahasan
1.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang terjadi Di Indonesia.
2.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan PKI MADIUN.
3.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan DI/TII.
4.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan PPRI/PERMESTA.
5.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan APRA.
6.       Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan Andi Aziz.


BAB II
PEMBAHASAN

Hubungan Kausalitas Kebijakan Politik dengan
Pemberontakan di Indonesia Tahun 1948-1965
A.      Pemberontakan PKI MADIUN
Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948, Latar Belakang, Tujuan, Upaya Penumpasan - Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah suatu jaminan bahwa warga Negara Indonesia dapat merasakan kemerdekaan dengan seutuhnya seperti apa yang dijanjikan pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, banyak sekali permasalah yang bermunculan di Negara Indonesia baik dari segi ekonomi, politik, sosial, keamanan dan pertahanan, dan masih banyak lagi permasalahan yang terjadi setelah proklamasi tersebut diumumkan. Dalam segi perekonomian, pemerintahan RI masih belum bisa melakukan perbaikan yang cukup signifikan secara menyeluruh. Salah satu peristiwa yang terkenal di Negara Indonesia ini yaitu Peristiwa Pemberontakan di Madiun.

1.       Penyebab / Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan PKI di Madiun
Tidak lama setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 18 September 1948 terjadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemerdekaan yang seharusnya dihiasi dengan pembangunan Bangsa, justru malah dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak paham tentang arti kemerdekaan Indonesia. Kelompok yang satu ini lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada kepentingan nasional yang seharusnya lebih diperhatikan untuk kemajuan bangsa. Pemahaman komunisme tumbuh dibenak orang-orang PKI, sedangkan rakyat biasa seperti para petani, buruh dan lain sebagainya tidak tahu apa arti dari paham politik tersebut. Mereka mengikuti para aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan dan bukan karena pemahaman yang baik tentang komunisme tersebut.

Peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI ini diawali dengan kesepakatan perjanjian Renville, di mana Negara Indonesia berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Kerugian pertama yaitu adanya penyempitan kekuasaan wilayah Indonesia dan hal ini semakin memperlemah posisi Indonesia, karena pada saat itu posisi Negara Indonesia terkurung oleh kekuasaan Belanda. Kerugian kedua yang terjadi di Indonesia adalah hancurnya sektor perekonomian, dimana masyarakat Indonesia sangat lemah dalam bidang perekonomian karena di blokade oleh Negara Belanda. Kerugian ketiga yang dirasakan oleh Negara Republik Indonesia adalah konflik antara Amir Syariffuddin dan kelompok yang kontra terhadap hasil perjanjian Renville, dimana kelompok ini didominasi oleh Partai Nasional Indonesia dan Masyumi.

Tidak lama setelah perjanjian Renville, pada bulan Januari 1948, Amir Syariffuddin lengser dari jabatannya, dan lengsernya Amir Syariffuddin disikapi dengan rasa kecewa oleh Muso. Setelah Amir Syariffuddin turun dari jabatannya, Mohammad Hatta ditunjuk untuk membentuk kabinet, dan pada pembentukan kabinet tersebut, Mohammad Hatta mengajak Masyumi, PNI, dan Sayap kiri untuk bergabung dan bersama-sama membangun kabinet koalisi dengan proporsi wakil yang seimbang. Dalam perundingannya, Sayap Kiri tidak menolak tawaran tersebut untuk terlibat dengan kabinet koalisi Hatta. Namun, Sayap Kiri menginginkan kedudukan yang lebih strategis dan lebih dominan dengan mengajukan pengaturan penempatan kedudukan bagi wakil-wakilnya. Amir Syariffuddin menggalang kekuatan dengan kelompok sosialis lainnya seperti, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosial Indonesia ( PESINDO), Partai Sosialisasi Indonesia (PSI), dan partai buruh. Kelompok tersebut diberi nama perjuangan Front Demokratik Rakyat (FDR).


2.       Tujuan Pemberontakan PKI di Madiun
Tujuan pertama yang dilakukan oleh PKI adalah dengan melakukan propaganda kepada masyarakat untuk mempercayai akan pentingnya Front Nasional. Lewat Front Nasional tersebut dilakukan penggalangan kekuatan revolusioner dari masyarakat tani, buruh, dan golongan rakyat miskin lainnya dengan memanfaatkan keresahan sosial yang terjadi di antara masyarakat tersebut. PKI berencana bahwa setelah upaya tersebut dilakukan, maka selanjutnya PKI akan berkoalisi dengan tentara. PKI beranggapan bahwa tentara Indonesia harus memiliki sikap yang sama seperti tentara merah yang berada di Uni Soviet. Tentara yang dipilih oleh PKI harus memiliki pengetahuan di bidang politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, serta harus memiliki pemikiran anti penjajahan. Sebagian besar tentara yang bergabung dengan PKI adalah tentara yang mempunyai rasa sakit hati akibat adanya program Rasionalisasi dan Reorganisasi oleh kabinet Hatta dan secara kebetulan mereka juga menemukan persamaan tujuan dengan PKI.

Nama Tokoh : Muso dan Amir Syarifuddin

Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun di mulai pada jam 03.00 setelah terdengarnya tembakan pistol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non-parlementer oleh kelompok komunis, kemudian disusul dengan adanya gerakan pelucutan senjata. Selanjutnya, kesatuan PKI menguasai tempat-tempat penting yang berada di kota Madiun, seperti tempat penyimpanan uang rakyat (Bank), Kantor Polisi, Kantor Pos, dan Kantor Telepon. Setelah itu, para pasukan PKI melanjutkan aksinya dengan menguasai Kantor Radio RRI dan Gelora Pemuda yang akan digunakan sebagai alat untuk mengumumkan ke seluruh penjuru negeri mengenai penguasaan kota Madiun yang nantinya akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKI juga mengumumkan pendirian Sovyet Republik Indonesia dan pembentukan pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini diumumkan oleh Supardi, seorang tokoh FDR dari PESINDO dengan diiringi pengibaran bendera merah. Dengan adanya proklamasi tersebut, maka kota Madiun dan sekitarnya dinyatakan resmi sebagai daerah yang merdeka dan tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia.

Pada tanggal 18 September 1948, PKI menyatakan bahwa berdirinya Soviet Republik Indonesia tersebut bertujuan untuk mengganti Pancasila (Dasar Negara Indonesia) dengan komunis. Namun, ketika Sovyet Republik Indonesia diumumkan,  Amir Syariffuddin dan Muso yang selanjutnya ditunjuk sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka malah berada luar di kota Madiun. Organisasi-organisasi yang sudah dipersiapkan untuk menjalankan pemberontakan tersebut antara lain: kelompok yang di pimpin oleh Sumantoro (PESINDO), Pasukan Divisi VI Jawa Timur dipimpin oleh Kolonel Djokosujono, dan Letkol Dahlan. Waktu itu, panglima Divisi VI Jawa Timur adalah seorang Kolonel bernama Sunkono. Selain itu, ada juga sebagian Divisi Penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Sutojo dan Letkon Suadi. Dalam gerakan ini, organisasi PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pegawai pemerintah dan menangkap empat orang anggota militer. Perebutan wilayah ini berlangsung dengan lancar, dan selanjutnya mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota.

Anggota komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan, dan Djokosujono dengan cepat telah menguasai daerah-daerah yang berada di kota Madiun, karena sebagian besar tentara yang berada di kota tersebut tidak melakukan perlawanan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tersebut. Di sisi lain, pertahanan kota Madiun sebelumnya memang lemah sehingga dengan cepat sudah dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121. Pada jam 07.00 pagi, PKI telah berhasil menguasai kota Madiun dengan sepenuhnya.

3.        Upaya Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun

Pemberontakan PKI yang terjadi di kota Madiun mendorong Presiden Republik Indonesia untuk melakukan tindakan tegas terhadap PKI. Presiden RI, Ir. Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan yang berada di bawah komadonya. Ketika beliau mendengar berita bahwa kota Madiun telah dikuasai oleh sekelompok pemberontak dari PKI yang dipimpin Muso, maka pemerintah langsung mengadakan Sidang Kabinet Lengkap yang berlangsung pada tanggal 19 September 1948 dan diketuai secara langsung oleh Ir. Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain:
  • Bahwa peristiwa yang terjadi di kota Madiun yang digerakan oleh PKI adalah suatu pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia dan memberikan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara.
  • Memberikan kekuasaan penuh terhadap Jenderal Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban di Madiun dan daerah-daerah lainnya.
Setelah Peresiden memberikan Komando kepada Angkatan perang untuk memulihkan keamanan di kota Madiun, dengan segera Angkatan Perang mengadakan penangkapan terhadap provokator yang membahayakan Negara dan diadakan penggerebegan di tempat-tempat yang dianggap perlu untuk diamankan. Untuk melaksanakan intruksi presiden tersebut dengan sebagik-baiknya, maka Markas Besar Angkatan Perang segera menunjuk dan mengangkat Kolonel Sungkono, Panglima Divisi VI Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang selanjutnya mendapat tugas untuk memimpin pasukan dari arah timur untuk menumpas Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI Musso dan mengamankan kembali seluruh daerah di Jawa Timur dari ancaman pemberontak.

Setelah mendapat perintah tersebut, Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad untuk bergerak menuju kota Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang Mayor bernama Jonosewojo.  Pembagian pasukan terdiri atas Batalyon Sabirin Mucthar bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin bergerak melalui Sawahan menuju Dungus dan Madiun, sedangkan Batalyon Sunarjadi bergerak melalui Tawangmangu, Sarangan, Plaosan.

Selain itu, pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin juga berusaha untuk menguasai Madiun. Untuk tugas operasi ini, Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan dari 8 Batalyon, yang di antaranya adalah: Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas (Pengganti dari Batalyon Umar), Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo (dipimpin Letkol Kusno Utomo yang juga memegang dua Batalyon), dan Batalyon Sambas yang kemudian diganti dengan Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosahi Batalyon Kemal Idris. Di sisi lain, pasukan penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Selamet Ryadi, Pasukan Perang Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi, dan pasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono. Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A. Kosashi yang di datangkan dari Yogyakarta bergerak dari arau utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergerak dari Utara menuju Cepu dan blora. Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad Wiranatakusuma bergerak ke arah selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Lukas dan Batalyon darsono bergerak ke arah Madiun. Sedangkan untuk pasukan Panembahan Senopati bergerak ke arah utara dan Pasukan Tentara Pelajar yang dikomandoi oleh Mayor Achmadi bergerak ke Madiun melalui Sarangan.

Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo akhirnya tertembak mati oleh Brigade S yang di pimpin oleh Kapten Sunandar pada tanggal 32 Oktober 1948. Penembakan ini terjadi sewaktu Kapten Sunandar sedang melakukan patroli. Sedangkan pada tanggal 20 November 1948, pasukan Amir Syariffuddin yang berusaha menuju Tambakromo terlihat sangat menyedihkan. Banyak diantara pasukan Amir ingin melarikan diri, tetapi warga selalu siap untuk menangkap mereka. Banyak mayat para pemberontak ditemukan karena kelaparan atau sakit, dan akhirnya Amir Syariffuddin menyerahkan diri beserta sisa pasukannya pada tanggal 29 November 1948.

Gerakan Operasi Militer yang dilancarkan oleh pasukan yang taat dan patuh kepada pemerintah Republik Indonesia berjalan dengan singkat. Hanya dalam waktu 12 hari, Madiun beserta daerah-daerah di sekitarnya dapat dikuasai kembali, tepatnya pada tanggal 30 September 1948. Setelah Madiun dapat direbut kembali oleh pasukan TNI, keamanan kota Madiun-pun mulai terkendali dan setiap rumah yang berada di sekitarnya mengibarkan bendera Merah Putih.
4.       Dampak dari Pemberontakan PKI di Madiun
Terjadinya pemberontakan di kota Madiun membuat keamanan di daerah tersebut tidak stabil sehingga meresahkan warga yang berada di daerah tersebut. Akibat pemberontakan tersebut, aktivitas warga biasa seperti petani dan buruh terganggu. Kelancaran untuk membangun bangsa pada saat itu menjadi terganggu dan hal ini merugikan masyarakat Indonesia. Dampak lain yang disebabkan oleh pemberontakan PKI yakni, banyaknya korban jiwa yang baik dari anggota TNI maupun anggota PKI, tidak sedikit pasukan kedua pihak yang terluka dan mati. Pasukan PKI juga banyak yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Pemberontakan PKI ini melibatkan setidaknya 8 Batalyon dan pasukan Militer Indonesia yang harus bertempur melawan para pemberontak yang sebetulnya juga merupakan rakyat Indonesia.


B.      Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam Indonesia (NII),  Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

1.       Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.


2.       Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:
  1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
  2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
  3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
  4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.
Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3.       Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4.       Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi  bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

5.       Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

6.        Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

7.       Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.

Latar Belakang Pemberontakan DI-TII di Sulawesi Selatan
 Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan meletus sejak tahun 1951 dan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Munculnya gerakan DI/TII tersebut bermula dari Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Selanjutnya, Kahar muzakar berkeinginan untuk menjadi pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan.

Tujuan Pemberontakan DI-TII di Sulawesi Selatan
 Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah pusat. Dalam surat tersebut Kahar Muzakar menyatakan agar semua anggota dari KGGS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS. Kahar Muzakar juga mengusulkan pembentukan Brigade Hasanudin. Namun, permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasiaonal (CTN) dan Kahar Muzakar diangkat sebagai pimpinannya dengan pangkat letnan kolonel.Kebijakan pemerintah tersebut tidak memuaskan Kahar Muzakar. Pada tanggal 17 Agustus 1951, bersama dengan pasukannya Kahar Muzakar melarikan diri ke hutan. Pada tahun 1952 Kahar Muzakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.

Upaya Penumpasan Pemberontakan DI-TII di Sulawesi Selatan
 Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah bertindak tegas dengan mengadaka operasi militer. Penumpasa tersebut mengalami berbagai kesulitan, namun akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak dan pada bulan Juli 1965, orang kedua setelah Kahar (Gerungan) dapat ditangkap. Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Dampak dari Pemberontakan DI-TII di Sulawesi Selatan
Gerilyawan (DI/TII) menggunakan taktik pertempuran gerilya. Taktik gerilya yang dimaksud adalah memukul musuh diwaktu mereka lengah dan menghindarkan serangan musuh ketika mereka berada dalam posisi yang kuat. Konsep strategi tersebut diterapkan sampai berakhirnya gerakan DI/TII pada tahun 1965.Kehadiran DI/TII di Sulsel menimbulkan keresahan dan ketidakamanan bagi masyarakatSelama berlangsungnya gerakan DI/TII, masyarakat  Sulsel khusus nya daerah Maros mengalami berbagai kondisi yang sangat memprihatinkan akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pasukan DI/TII. Penculikan (orang), perampokkan (barang), pembunuhan, dan bahkan pembunuhan seakan menjadi “suatu yang lumrah atau biasa” dan merupakan konsekuensi dalam melakukan perubahan. Hal itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, sehingga menimbulkan reaksi penduduk setempat, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung.

Selain melakukan penculikan dan pembunuhan, pasukan DI/TII juga melakukakn perampokkan barang-barang (tanpa kecuali barang-barang yang mereka dapati ketika beraksi) kepunyaan penduduk hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung-kampung.

Akhir Pemberontakan
Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, Kahar Muzakar dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Akhirnya Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kahar Muzakar tumpas pada saat itu.

C.      Pemberontakan Andi Aziz
Peristiwa Pemberontakan Andi Azis di Makassar, Latar Belakang, Tujuan, Dampak - Tokoh utama pada Pemberontakan kali ini adalah Andi Abdoel Azis. Andi Abdoel Azis atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal 19 September 1924 di Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1930-an Andi Azis dibawa ke Belanda oleh seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda, dan pada tahun 1935 Andi memasuki Leger School dan lulus dari sekolah tersebut tahun 1938.

Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan perjalanannya ke Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya ingin memasuki sekolah kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit. Akan tetapi niatnya untuk masuk ke dalam sekolah militer tidak terlaksana karena pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya untuk masuk kemiliteran, akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan untuk masuk ke dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman (Nazi).

Dari pasukan bawah tanah kemudian ia dipindahkan ke garis belakang pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena semakin sempitnya kedudukan Sekutu di Eropa, maka secara diam-diam Azis bersama para kelompoknya menyeberang ke daratan Inggris di mana daerah tersebut adalah sebuah daerah yang paling aman dari serangan tentara Jerman, meskipun pada tahun 1944 daerah tersebut sering di bom oleh pasukan udara tentara Jerman.

Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di sebuah kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di kamp tersebut, akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta. Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia yang turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis diperbolehkan untuk memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk ke dalam satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di gugus selatan Negara Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa dengan orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali bersama orang tuanya di Makassar.


Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa (Jakarta), waktu itu Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di tugaskan di Cilinding. Pada tahun 1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun 1947, ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan Dua.

Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan setelah hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia ditugaskan menjadi seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125 anak buahnya (KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut tidak banyak mengalami perubahan anggotanya.

Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda. Pada saat itu di daerah Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang sedang dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang dilatih. Di antara pasukan khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan penerjun (Baret Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.

1. Latar Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :
  1. Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
  2. Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
  3. Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.
2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz

Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz

Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.

Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.

Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

4. Meninggalnya Kapten Andi Azis

Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.

5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis

Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya, seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.

Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain perempuan.

Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.

D.      Pemberontakan PPRI PERMESTA
1. Latar Belakang Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. 

Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.

Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.

Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.


Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
  1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
  2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
  3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
  4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
  5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5Ă—24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.

2. Tujuan Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.

3. Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.

Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.

4. Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.


Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.

5. Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA

Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.
  1. Letnan Kolonel Ahmad Husein
  2. Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
  3. Mayor Eddy Gagola
  4. Kolonel Alexander Evert Kawilarang
  5. Kolonel D.J Somba
  6. Kapten Wim Najoan
  7. Mayor Dolf Runturambi
  8. Letkol Ventje Sumual

E.       Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil ( Apra )
Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerlinguntuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Nama Tokoh : Kapten Raymond Westerling dan didalangi Sultan Hamid II

1.       Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan meninggal di Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling pada tahun 1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai neraka di dunia. Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain perkelahian tangan kosong, penembakan tersembunyi, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api, membunuh pengawal dan sebagainya. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943, Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi
.
2.       Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang. 
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .

3.       Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Pada 25 Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungiLetnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untukmenanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949tersebut memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia.


4.       Penumpasan APRA
Ketika terjadi pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya, diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka  pada saat kejadian  sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang.  Sementara di  Jakarta  pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia.  Terungkap adanya keterlibatan  tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan APRA)  dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
5.       Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini bertujuan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui sebagai tentara Pasundan. Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk tetap mempertahankan pemerintahan Reupblik Federal dan tidak menginginkan adanya penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di negara-negara bagian RIS. Sehingga terjadilah pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.       Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, berarti Indonesia mempunyai sistem pemerintahan sendiri. Akan tetapi, ada beberapa golongan yang tidak setuju dengan sistem pemerintahan tersebut. Sehingga mereka melakukan pemberontakan, seperti Peristiwa Madiun/PKI, DI /TII, Andi Aziz, APRA,PPRI/PERMESTA dan konflik-konflik internal lainnya.
2.       Pemberontakan ini terjadi pada tahun 1948 ini merupakan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia ketika sedang berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia.
3.       Pemberontakan di dalam Negeri terjadi karena dipicu oleh beberapa masalah berikut : (1) Keinginan untuk mendirikan Negara sendiri yang lepas dari RI, (2) Mempertahankan Negara agar tetap berbentuk Negara Federal, (3) Keengganan APRIS di Negara Bagian, bergabung dengan TNI dan menolak kebijakan pemerintahan Hatta untuk melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi dalam tubuh militer yang menekankan profesionalisme.

B.      Saran
Oleh karena itu kita sebagai generasi muda berupaya untuk mencegah hal hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi dengan cara belajar dengan tekun dan  memperkuat ilmu agama. Dan kita juga harus selektif dalam mengambil langkah dalam era globalisasi. Jangan sampai hal itu membuat kita terpuruk kedalam lembah kezaliman dan membuat segala hal menjadi biadap seperti pada zaman pemberontakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.nafiun.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-pki-di-madiun-1948.html
http://www.nafiun.com/2014/03/pemberontakan-ditii-di-indonesia.html
http://www.nafiun.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-andi-azis-di-makassar.html
http://www.nafiun.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-prripermesta.html
https://ideageografer.blogspot.com/2014/10/pemberontakan-angkatan-perang-ratu-adil.html
http://mutisavmachiriee.blogspot.com/2015/11/makalah-pemberontakan-dalam-negeri.html
http://lilianyratna.blogspot.com/2015/01/pemberontakan-di-indonesia-pada-masa.html
https://donipengalaman9.wordpress.com/2013/08/27/pemberontakan-di-indonesia/
https://www.gurusejarah.com/2017/08/pemberontakan-di-indonesia-antara-tahun.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

LAPORAN KIMIA (Larutan Gula)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Larutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai membentuk larutan jenuh. Apabila suatu larutan suhunya di ubah, maka hasil kelarutannya akan berubah. Larutan ada yang jenuh, tidak jenuh dan lewat jenuh. Larutan dikatakan jenuh pada temperatur tertentu, bila larutan tidak dapat melarutkan lebih banyak zat terlarut. Bila jumlah zat terlarut kurang dari larutan jenuh di sebut larutan tidak jenuh. Dan bila jumlah zat terlarut lebih dari larutan jenuh maka di sebut larutan lebih jenuh. Daya larut suatu zat dalam zat lain, di pengaruhi oleh zat pelarut, temperatur dan sedikit tekanan. Pengaruh suhu terhadap larutan dapat dilihat pada peristiwa sederhana yang terjadi pada kehidupan sehari hari yaitu kelarutan gula dalam air. Gula yang dilarutkan kedalam air panas, dan satu lagi kedalam air dingin maka gula akan cepat larut pada air yang panas karena semakin besar suhu semakin besar pula kelarutannya. Aplikasi kelarutan dalam du...