BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam secara khusus tidak dapat disamakan
dengan makna pendidikan secara umum. Pendidikan Islam dikenal dan diyakini oleh
penganut agama Islam sebagai suatu kegiatan pendidikan yang bersumber dari
pokok ajaran Islam (al-Quran) dan al-Hadits sebagai penjelasnya. Pendidikan
Islam yang mulai dirintis sejak turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW
mengalami pasang dan surut seiring dengan perjalanan panjangnya melintasi ruang
dan waktu hingga masa sekarang.
Hal tersebut bergantung pada bagaimana pelaku sejarah
pada masanya itu melaksanakan proses pendidikan. Puncak kejayaan
pendidikan Islam dimulai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan
Islam dan madrasah-madrasah formal di berbagai pusat kebudayaan Islam. Hal ini
dipengaruhi oleh jiwa dan semangat kaum muslimin pada waktu itu yang sangat
dalam penghayatan dan pengamalannya terhadap ajaran Islam.
Dengan demikian, dalam sebuah lembaga pendidikan pasti
terjadi pertumbuhan dan perkembangan, dan ini sama halnya dengan pendidikan
Islam. Dalam pendidikan Islam ada beberapa masa yaitu masa perintisan, masa
kejayaan, masa kemunduran, dan ada pula masa pembaharuan. Pada
masing-masing periode berpengaruh dalam perkembangan pendidikan Islam. Agar
lebih jelasnya akan disampaikan dalam pembahasan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pendidikan Islam pada masa
kejayaan?
2.
Bagaimana pendidikan Islam pada masa
kemunduran?
3.
Bagaimana pendidikan Islam pada masa
pembaharuan?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui pendidikan Islam pada masa
Kejayaan.
2.
Untuk mengetahui pendidikan Islam pada masa
kemunduran.
3. Untuk
mengetahui pendidikan Islam pada masa pembaharuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa
kemajuan/Kejayaan Pendidikan Islam
Masa kejayaan
pendidikan Islam dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam yang
ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan
madrasah-madrasah formal serta universitas dalam berbagai pusat kebudayaan
Islam. Pendidikan tersebut sangat berpengaruh dalam membentuk pola kehidupan,
budaya dan menghasilkan pembentukan dan perkembangan dalam berbagai aspek
budaya kaum muslimin.[1]
Masa Bani
Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The
Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik
dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang
melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi
baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Daulah Abbasiyah berkuasa
selama 524 tahun yaitu dari tahun 132 – 556 H/ 750 – 1258 M.[2]
Sistem Bani
Abbasiyah meniru cara Umayyah. Dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan
oleh khalifah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansyur. Sistem politik Abbasiyah yang
dijalankannya antara lain; Para Daulah tetap dari turunan Arab murni, kota
Bagdad sebagai ibu kota negara yang menjadi pusat kegiatan politik, ilmu
pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, kebebasan berpikir
dan HAM pernah diakui penuh, dan para menteri turunan Persia diberi hak penuh
dalam menjalankan pemerintahan. Sedangkan sistem sosial kemasyarakatan terjadi
perubahan yang sangat menonjol, di antaranya adalah :
1. Tampilnya kelompok Mawali yang menduduki peran
dan posisi penting di pemerintahan.
2. Masyarakat
terdiri dari dua kelompok, yaitu :
a. Kelompok
khusus, yaitu Bani Hasyim, pembesar negara, bangsawan yang bukan Bni Hasyim.
b. Kelompok umum,
yaitu seniman, ulama, pengusaha, pujangga dan lain-lain.
3.
Di dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah
terdapat bangsa yang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab,
Irak, Persia, Turki).
4.
Lahirnya keturunan baru akibat dari
terjadinya perkawinan campuran dari berbagai bangsa.
5.
Lahirnya kebudayaan baru akibat dari
terjadinya pertukaran pikiran dan budaya yang dibawa oleh masing-masing bangsa.
1. Faktor-faktor yang mendorong kemajuan pendidikan
a.
Adanya kekayaan yang melimpah dari
hasil kharaj, baik
pertanian maupun perdagangan. Dengan dana dari kekayaan tersebut para khalifah
dapat dengan mudah merealisir perencanaannya didalam dan diluar negeri, serta
pengembangan ilmu pengetahuan.
b.
Perhatian beberapa khalifah yang
besar kepada ilmu pengetahuan seperti ; al Mansyur (754 – 775M), al Mahdi (775
– 785M), Harun al Rasyid (785 – 809), al Ma’mun (813 – 833), al Wathiq (824 –
847) dan al Mutawakkil (847 – 861M). Tak kalah pentingnya ialah pengaruh
keluarga Barmak, yang berasal dari Balkh ( Bactra ), pusat ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani di Persia. Keluarga Barmak ini mempunyai pengaruh dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Bagdag. Mereka di samping
menjadi Wazir juga menjadi pendidik dari anak-anak Khalifah.
c.
Kecenderungan umat Islam di dalam
menggali mengembangkan ilmu pengetahuan besar sekali, maka banyaklah ulama di
setiap kota Islam pada masa itu.
d.
Kondisi masyarakat Irak, yang
mendesak perlunya suatu ilmu baru karena sungai Dajlah dan Furat menuntut
penataan sistem pengairan yang lebih baik serta pengelolaan perpajakan yang
lebih sempurna.
e.
Umat Islam pada masa itu telah
bercampur baur dengan orang-orang Persia, terutama Mawali, mereka inilah yang memindahkan ilmu pengetahuan dan
filsafat dari bahasa mereka ke dalam bahasa Arab.
f.
Bagdad sebagai pusat pemerintahan,
lebih dahulu maju dalam ilmu pengetahuan, dari pada Damaskus pada masa itu.
g.
Lancarnya hubungan kerja sama,
dengan negara-negara maju lainnya seperti ; India, Bizantium, dan sebagainya.
Dari ketujuh faktor di atas, nampaknya yang pertama,
kedua dan ketiga merupakan faktor yang paling menentukan, sedangkan
faktor-faktor yang lainnya hanya merupakan penunjang saja. Sekalipun demikian,
keterkaitan satu dengan yang lainnya juga turut berpengaruh.
a.
Berdirinya
sekolah-sekolah
Di antara faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya
sekolah-sekolah di luar masjid adalah bahwa:
1) Khalaqah-khalaqah (Lingkaran) untuk mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan. Yang di dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan
yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, di samping mengganggu,
orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan demikian mendorong untuk
dipindahkannya khalaqah-khalaqoh tersebut keluar lingkaran masjid dan didirikan
bangunan-bangunan sebagai ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. dengan
demikian kegiatan pengajaran dari khalaqoh-khalaqoh tidak saling mengganggu
satu sama lain.
2) Dengan
berkembang luasnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka
diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran pengajaran ),yang tidak
mungkin keseluruhan tertampung dalam ruang masjid. Di samping itu terdapat
faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi para penguasa dan pemegang
pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan
yang terpisah dari masjid antara lain:
a) Pada masa Turki
mulai berpengaruh dalam pemerintahan bani Abbasiyah, dan untuk mempertahankan
kedudukan mereka dan pemerintahan, mereka berusaha menarik hati kaum muslimin
pada umumnya dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat
umum.
b) Mereka
mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat dan dilengkapi dengan segala
sarana dan fasilitas yang diperlukan. Mereka mendirikannya di samping dengan
harapan untuk mendapatkan simpati dari umumnya dan juga berharap mendapat
ampunan pahala dari tuhan.
c) Para pembesar
Negara pada masa itu dengan kekuasaannya telah berhasil mengumpulkan harta
kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan tersebut tidak
bisa diwariskan kepada anak-anaknya karena diambil oleh sultan, anak-anak
mereka hidup terlantar dan hidup dalam kemiskinan. Di samping itu, didirikannya
madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha untuk mempertahankan
dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar Negara yang bersangkutan.
Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran
agama tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang
dalam masyarakat. Adapun lembaga pendidikan formal :
(1) Madrasah
Nizamiah didirikan oleh Nizam Al Mulk, perdana menteri saljuk pada madrasah
besar, diantaranya Baghdad, Balkh, Naidabur, Harat, Asfahan, Basran, Marw, dan
Masul. Tetapi madrasah Nizamiah Baghdad adalah madrasah terbesar dan
terpenting. Tujuan Nizam Al Mulk mendirikan madrasah-madrasah itu adalah
memperkuat pemerintahan Turki Saljuk dan untuk menyiarkan madzhab keagamaan
pemerintahan. Guru-guru madrasah ini di antaranya Abu Ishaq As Syiraji (guru
tetap), Abu Nasr As Sabagh, Abu Qasim Al’alawi, Abu Abdullah Al-thabari, Abu
Hamid Al Ghazali, Radliyudin Al Kazwaeni dan Al Fairuz Abadi. Rencana
pengajaran adalah ilmu syari’ah dan ilmu fiqh dalam4 madzhab.
(2) Madrasah
nuruddin zinki, didirikan oleh nuruddin zinki di damaskus. Madrasah yang
didirikan yaitu madrasah An Nuriyah Al Qubra di Damaskus (563 H). Gedung
madrasah terdiri dari diwan (aula tempat kuliah), masjid, tempat istirahat
untuk guru, asrama, tempat tinggal pesuruh madrasah, kamar kecil dan lapangan.
Ilmu-ilmu yang di ajarkan yaitu ilmu al qur’an, syari’ah, bahasa arab,
kedokteran, dan ilmu pasti.
(3) Perguruan
Tinggi
(a) Baitul Hikmah
di Baghdad, didirikan pada masa harun Al-Rasyid (170-193 H). kemudian di
perbesar oleh khalifah Al-ma’mun (198-218). Pada Baitul Hikmah bukan saja di
ajarkan ilmu-ilmu agama islam, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu
alam, kimia, falaq, dan lain-lain. Guru besar Baitul Hikmah adalah salam, yang
menguraikan teori-teori ilmu pasti dalam al Maj’sthi (almageste) kitab karangan
bathlimus (ptolemee). Kemudian guru besar al khawarizmi, ahli ilmu pasti, ahli
falaq, dan pencipta ilmu aljabar. Guru besar Muhammad bin musa bin syakir,
seorang ahli ilmu ukur, ilmu bintang dan falaq. Di Baitul Hikmah dikumpulkan
buku-buku ilmu pengetahuan dalam bermacam-macam bahasa seperti bahasa Arab,
Yunani, Suryani, Persia, India, dan Qibtia.
(b) Darul Ilmi di
Kairo. Didirikan oleh al Hakim Biamrillah Al Fathimi di pinggir sungai nil
untuk menyaingi Baitul Hikmah di Baghdad.ilmu yang di ajarkan diantaranya: ilmu
agama, falaq, kedokteran, dan berhitung.
b.
Terjadinya
asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan
bani abbas bangsa-bangsa non arab banyak yang masuk islam.
c.
Pengaruh
Persia: bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan
sastra.
d.
Pengaruh
India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan ekonomi.
e.
Pengaruh
yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu terutama
filsafat,dan juga tidak bisa dilupakan gerakan raksasa untuk menerjemahkan
ilmu-ilmu yunani dan buku-bukunya kedalam bahasa arab.[5]
Gerakan terjemahan berlangsung dalam 3 fase: fase
Pertama: khalifah al mansur hingga harun arsyid pada fase ini yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bifang astronomi, dan manriq pada fase
kedua: mulai berlangsung pada masa khalifah al ma’mun hingga tahun 300 H.
Pengaruh dari kebudayaan yang sudah maju terutama melalui gerakan terjemahan,
membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, dan juga ilmu pengetahuan agama,
pengaruh gerakan terjemah terlihat dari perkembangan ilmu pengetahuan umum
terutama di bidang astronomi kedokteran filsafat, kimia dan sejarah dalam bidang
astronomi terkenal nama al fazari sebagai astronomi islam yang pertama kali
menyusun astrolob.
Al Fargani dari Eropa yang dikenal dengan nama
Al-Faragnus menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan dalam bahasa
latin oleh Gerard Cremona dan Johannes hispalensis. Dalam kedokteran dikenal
nama Al Razi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optikal Abu Ali Al Hasan Ibnu
Al-Haythami yang di Eropa dikenal dengan Al Hazem. Dalam bidang kimia terkenal
nama Jabir Ibnu Hayan di matematika terkenal nama Muhammad Ibnu Musa Al
Khawarizmi. [6]
Di dalam bidang sejarah terkenal nama Al Mas’ud.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain Al Farabi, Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd. Sehingga pada masa 150 tahun hampir semua ilmu yang pernah wujud di
dunia pada waktu itu sudah ada dalam bahasa Arab. Sehigga bahasa Arab menjadi
satu-satunya bahasa dunia yang harus kita ketahui kalau kita ingin bergerak
pada bidang apapun, pada waktu itu.
C.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa Daulah Abbasiyah
Kemajuan yang dicapai oleh Daulah Abbasiyah, khususnya
dalam bidang ilmu merupakan puncak kejayaan Islam sepanjang sejarah. Hal ini
disebabkan karena : (1) situasi dan kondisi yang sangat menunjang, (2)
keterlibatan semua pihak secara ikhlas dan sungguh-sungguh, (3) adanya kemerdekaan
dan kebebasan berpikir membuat umat Islam menjadi sangat dinamis dan kreatif,
jauh dari sikap fatalis dan taklid. Perkembangan ini juga membawa Daulah
Abbasiyah ke tempat utama dan terhormat dalam kebudayaan, peradaban serta dunia
pemikiran atau filsafat.[7]
Pada masa ini telah dilahirkan ulama-ulama besar
seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Iman Syafe’i, dan Imam Ibn Hambal dalam
bidang hukum, Imam al Asy ‘ari, Imam al Maturidi, pemuka-pemuka Mu’tazilah
seperti Wasil ibn Atha, Abu al Huzail, al Nazzam dan al Jubba’i dalam bidang
teologi, Zunnun al Misri, Abu Yazid al Bustami, dan al Hallaj dalam bidang
mistisisme atau al tasawwuf, al Kindi, al Farabi, ibn Sina, dan ibn Maskawaih
dalam bidang filsafat, dan ibn Al Hazam, ibn Hayyan, al Khawarizmi, al Mas’udi
dan al Razi dalam bidang ilmu pengetahuan.
1. Ilmu-ilmu Agama
a. Ilmu Tafsir
Tumbuh dan berkembangnya ilmu tafsir dalam abad ke
tiga Hijriah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar yang mendesak, untuk
memahami arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an, sebagai akibat semakin bertambah
banyaknya pemeluk Islam yang bukan Arab.
b.
Ilmu Hadist
Pembukuan Hadist secara lebih sempurna, baru mulai
dilakukan pada masa ini. Beberapa karya besar yang terkenal seperti Shahih al
Bukhari, Shahih al-Muslim, Sunan Ibn Majah, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi,
Sunan al-Nasai dan al Muwatha’ oleh Imam Malik.
Karya-karya yang datang kemudian lebih banyak
bersumber dari kitab-kitab tersebut. Kalaupun ada yang mengadakan pengumpulan
atau penulisan langsung, sedikit sekali jumlahnya.
c.
Ilmu Qira’a
Lahirnya ilmu ini karena adanya perbedaan lahjat di
dalam membaca al-Qur’an antara orang-orang Arab dengan orang Islam yang bukan
Arab, perbedaan huruf al-Qur’an pada mushaf Usman yang tidak bertitik dan
berbaris. Dalam keanekaragaman itulah, tampil Harun Ibn Musa al-Bashini (w. 170
H) sebagai orang pertama yang membahas bacaan dari segi dasar dan sanad yang
dianut masing-masing.
d.
Ilmu Kalam
Ilmu ini secara praktis, sesungguhnya telah ada
sebelumnya, namun barulah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri dengan
pembahasan yang sistematis dan mendalam pada masa Daulah Abbasiyah ini.
Munculnya ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan
masuknya bangsa-bangsa yang telah berperadaban ke dalam Islam, yang menuntut
menjelaskan aqidah Islamiah, tidak cukup dengan dasar-dasar logika dan
pemikiran filsafat saja.
Selain itu, dimaksudkan pula untuk mempertahankan
Islam dari serangan luar dan sekaligus membawa perubahan besar dalam sejarah
pemikiran aqidah Islam.
Mutakallim yang terkenal pada masa itu, antara lain
seperti : Washil ibn Atha’, Amr ibn Ubaid pelopor aliran Mu’tazilah, Abu Hasan
al-Asy’ari, Al Juwaini pemuka aliran Asy’ariyah dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Suatu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kaum
mutakallim, khususnya Mu’tazilah, telah berhasil mempertahankan Islam dari
serangan orang-orang Masehi, dengan menggunakan ilmu kalam ini. Turut pula
mempengaruhi perkembangan ilmu kalam karena khalifah al-Ma’mun yang sangat
tertarik pada kemerdekaan berpikir. Hal inilah antara lain mendorong hidup
suburnya Ilmu Kalam dan Ilmu Filsafat di dalam Islam.[9]
e.
Ilmu Fiqh
Munculnya ilmu ini sehubungan dengan timbulnya
berbagai masalah di kalangan umat Islam pada abad kedua Hijriah. Jarak antara
lahirnya Islam dengan Daulah Abbasiyah cukup jauh. Dalam hal semacam ini
diperlukan adanya kepastian syara’ sehubungan dengan masalah-masalah yang timbul
dikalangan umat Islam tersebut. Maka muncullah beberapa aliran seperti Al
Auziah dan Al Sauriyah, namun aliran ini tidak bertahan lama, karena
ajaran-ajarannya tidak dibukukan dengan baik.
f.
Ilmu Tasawwuf
Orang pertama yang memakai kata sufi (tasawwuf) adalah
Abu Hasyim al-Kufi (w.150H). Imam al-Gazali (w. 502 H) kemudian
mengembangkannya melalui karya-karyanya, antara lain Ihya Ulum al-Din dan masih
banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Mereka para ahli tasawwuf ini, menyampingkan
kehidupan duniawi, hidup dalam kesederhanaan, karena dengan demikian, mereka
akan merasa lebih dekat dengan Tuhan.
g.
Ilmu Tarikh
Muhammad ibn Ishak (w. 152 H) yang mula-mula menulis
tarikh Nabi Muhammad SAW, kemudian diringkaskan oleh Ibn Hisyam (w.218 H)
dengan bukunya Syarh Ibn Hisyam. Penulis-penulis tarikh lainnya pada masa ini
ialah Ibn Abi Mahruf, Al Waqidi, Ibn Al Kilbi, Ibn Sa’ad ibn al-Hikam, Ibn
Qutaibah dan Nubkhiti.
h.
Ilmu Nahwu
Abu Al Aswad al Duali yang hidup pada masa Daulah
Umayyah, dikenal sebagai peletak dasar ilmu ini, yang diperolehnya dari Ali ibn
Abi Thalib.
Setelah pemerintahan dipegang oleh Daulah Abbasiyah,
perkembangannya semakin pesat lagi. Di Bashrah dibangun madrasah yang
khusus medalami ilmu ini.
2.
Ilmu-ilmu Umum
a.
Ilmu Filsafat
Ilmu ini muncul dan berkembang pada masa Daulah
Abbasiyah. Ilmu ini diperoleh melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani
yang terdapat di berbagai negeri, seperti Mesir, Syiria, Mesopotamia, dan
Persia, dan bahkan dari Yunani sendiri.
Para cendekiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu
pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dan buku-buka Yunani tersebut,
tetapi menambah ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan
sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam
lapangan filsafat.
Filosof-filosof muslim, sebagaimana halnya dengan
filosof Yunani, bukan hanya mempunyai sifat filosof, tetapi juga sifat ahli
ilmu pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan
filsafat saja tetapi juga meliputi berbagai ilmu pengetahuan.
b.
Ilmu Falak
Orang pertama menelaah ilmu ini, ialah muhammad ibn
ibrahim al-farazi. Diawali dengan lahirnya buku al-sindu hindu pada masa
khalifa al-mansur, kemudian berkembang pada masa al-ma’mun dengan dibangunnya
teropong bintang dan terjemahkannya buku yunandi al-magiste, karya potelemeus
oleh husain ibn ishak.
Pada masa ini pula dikemukakan teori tentang
terjadinya gerhana, dan tidak tampaknya matahari di daerah kutub. Teori ini
telah disempurnakan dengan alat pengukur dan kecepatan perjalanan bintang atau
astrologi.
c.
Ilmu Kedokteran
Ilmu ini mulai dikenal pada masa Daulah Abbasiyah
dengan hadirnya hadirnya George Bakhtisyu ke istana, atas permintaannya
al-Mansur untuk mengobati dirinya. Banyak sumbangan yang telah diberikan para
ilmuawan Muslim dalam bidang ini, baik dalam aspek ilmu kedokteran maupun seni
penyembuhan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
d.
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu ini dipakai secara praktis, ketika membuat
perencanaan pembangunan kota baghdad pada masa al-manshur. Pada masa al-mahdi,
jabir ibn hayyam (721-815 M) telah menulis ilmu kimia, pertambangan dan
batu-batuan yang dimanfaatkan oleh barat dikemudian hari.
Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh muhammad
ibn-ibrahim al-farazi, dengan menterjemahkan buku matematika sinhind dari
india.
Al-khawarizmi, terkenal pula sebagai ahli matematika
yang amat luas pengaruhnya dimasa pemerintahakan al mu’tasim. Karyanya
al-mukhtasar fi hisab al-jabr wa al-muqabalah (buku padat ringkas tentang
perhitungan retorasi dan ekuasi). Karya tersebut telah mengabdikan nama beliau
sendiri dalam istilah al-qharitma (sistem notasi aritmatika dengan angka arab 1
dan seterusnya yang dalam konsep modem disebut logarisma (kaedah untuk
pemecahan masalah berhitung tertentu seperti mencari persekutuan terbesar).
Sistema al-gharitma tersebut, baru dikenal dieropa,
pada abad ke-12M, sebelumnya hanya dikenal sistem rumawi.
Pada matematis lainnya yang terkenal yakni, umar
al-khayyam, nasir al-din a-tusi dan lain-lain.
e.
Fisika
Ada suatu hal yang merupakan ciri khas dari karya ahli
fisika muslim pada masa itu, yakni terpadunya kepekaan terhadap azas-azas teori
dasar yang mencerminkan kekaguman dan kehormatan terhadap ciptaan tuhan dengan
pendekatan praktis.
Ahli fisika muslim yang terkenal, antara lain seperti
al-birunidan ibn sinayang bekerja sama dalam menganalisa konsep-konsep fisika
pada masa itu, ibn al-haytham (al-hazam) yang memplopori study tentang gerak
dan refraksi atau pembiasaan cahaya dan pendekatan terhadap hukumnya, dalam
karyanya al-munazir (buku optika).
Demikianlah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan
pada masa daulah abbasiyah yang telah mencapai puncaknya, namun menurut badri
yatim, kemajuan yang dicapai abbasiyah tidak terlepas dari usaha bani umayyah
sebagai perintis kemajuan, namun usaha tersebut tidak terfokus, karena pada
masa ini pusat perhatian terfokus kepada pengembangan wilayah islam. Walaupun
kemajuan islam mencapai puncak keemasannya pada daulah abbasiyah, namun
kemunduran juga terjadi pada masa khalifah terakhir. Hal ini disebabkan beberapa
hal, antara lain:[10]
1)
Wilayah kekuasaan yang semakin luas.
2)
Heterogenitas.
3)
Merajalelanya budaya KKN.
4)
Pemberontakan tentara jenissari.
5)
Merosotnya ekonomi dan.
6)
Terjadinya stagnasi dalam lapangan
ilmu pengetahuan.
E. Bentuk-bentuk
Kemajuan Pendidikan Islam di Masa Lalu
Harun Nasution
mengklasifikasikan sejarah Islam pada tiga masa yang mana periode pertama
disebut dengan periode klasik dimulai tahun 650 hingga 1250 M.,sejak lahirnya
islam sampai hancurnya pemerintahan Baghdad, sedangkan pada periode kedua
disebut dengan periode pertengahan yaitu dari hancurnya baghdad sampai
timbulnya ide-ide baru di Mesir yaitu sejak tahun 1250 hingga 1800 M. Dan
terakhir periode modern yaitu mulai tahun 1800 M. hingga sekarang. Dan adapun
bentuk-bentuk pendidikan islam masa klasik atau masa lalu yaitu antara lain:[11]
1. Kurikulum
Kurikulum dalam lembaga pendidikan islam dimasa klasik
pada mulanya berkisar pada bidang study tertentu. Namun seiring perkembangan
social dan cultural, materi kurikulum semakin luas. Pada masa Nabi di Madinah,
materi pelajaran berkisar pada belajar menulis, membaca Al-Quran, keimanan,
ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik, dan kesatuan. Setelah wilayah
Islam semakin luas, Islam harus bersentuhan dengan budaya masyarakat non Islam
yang menyebabkan permasalahan social semakin kompleks.
Problem social tersebut pada akhirnya berpengaruh
besar terhadap kehidupan keagamaan dan intelektual Islam, termasuk ilmu
helenistik yang terjalin kontak dengan Islam. Perkembangan kehidupan
inteleketual dan kehidupan keagamaan dalam Islam membawa situasi lain bagi kurikulum
pendidikan Islam.
Maka, diajarkanlah ilmu-ilmu baru seperti tafsir,
hadist, fikih, tata bahasa, sastra, matematika, teologi, filsafat, astronomi,
dan kedokteran Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah
tingkat rendah adalah al-Quran dan agama, membaca, menulis, dan syair.
Dalam berbagai kasus-kasus lain dikhususkan untuk
membaca al-Quran dan mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama.
Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulum tingkat rendah sedikit
berbeda. Di istana-istana bisanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah,
ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok
seperti al-Quran, syair, dan fikih.
2.
Metode Pengajaran
Metode pengajaran merupakan salah satu aspek yang
penting dalam proses belajar mengajar untuk mentransfer pengetahuan atau
kebudayaan dari seorang guru kepada anak didiknya. Melalui metode pengajaran
terjadi proses internalisasi dan pemilihan ilmu oleh murid, sehingga murid
dapat menyerap apa yang disampaikan gurunya. Metode pengajaran yang dipakai
pada masa Masa Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu :
a.
Metode lisan
Metode ini dapat berupa dikte, ceramah, qira`ah, dan
dapat berupa diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan
yang dianggap baik dan aman sehingga pelajar mempunyai catatan yang dapat
membantunya terutama bagi yang daya ingatnya tidak kuat. Metode ceramah (al
asma`), yaitu guru membacakan bukunya atau menjelaskan isi buku dengan hafalan,
sedangkan murid mendengarkannya. Pada saat tertentu guru memberi kesempatan
kepada murid untuk menulis dan bertanya. Metode qira`ah (membaca) biasanya
digunakan untuk membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode pengajaran dalam
pendidikan Islam dengan cara perdebatan.
b.
Metode hafalan
Metode ini dilakukan oleh murid dengan cara membaca
berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Dalam proses
selanjutnya, murid mengeluarkan kembali pelajaran yang dihafalnya sehingga
dalam suatu diskusi dia dapat merespon, mematahkan lawan, atau memunculkan ide
baru.
c.
Metode tulisan
Metode ini merupakan metode pengkopian karya-karya
ulama. Metode ini di samping bermanfaat bagi proses penguasaan pengetahuan juga
sangat besar artinya bagi penggandaan jumlah buku karena pada masa itu belum
ada mesin cetak.
3.
Kehidupan Murid
Ciri utama kehidupan murid dalam pendidikan tingkat
dasar adalah :
a. Diharuskannya belajar membaca dan menulis.
b. Bahan
pengajarannya menggunakan syair-syair dan bukan al Qur`an karena dikhawatirkan
mereka membuat kesalahan yang akan menodai al Qur`an.
c. Murid-murid
diajarkan membaca dan menghafalkan al Qur`an.
d. Pada sekolah
dasar tidak ditentukan lamanya belajar dan tergantung pada kemampuan anak-anak.
e. Hubungan guru
dan murid sebagai hubungan orang tua dan anak.
Pada pendidikan tingkat tinggi murid-murid bebas
memilih guru yang mereka sukai yang dianggapnya paling baik. Di antara ciri
khas pendidikan di masa Masa Abbasiyah adalah teacher oriented , yaitu kualitas
suatu pendidikan tergantung pada guru. Pelajar bebas mengikuti suatu pelajaran
yang dikehendaki dan bisa belajar dimana saja, misdalnya di perpustakaan, toko
buku, rumah ulama atau tempat terbuka.
Pelajar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pelajar
tidak tetap, yang terdiri dari para pekerja yang mengikuti pelajaran untuk
menunjang profesi dan pelajar tetap, yaitu pelajar yang mempunyai tujuan utama
untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk belajar. Setiap pelajar
membuat daftar guru-guru yang mengajar yang disebut Mu`jam al Masyakhah. Daftar
tersebut digunakan sebagi bukti bahwa mereka telah belajar kepada guru-guru
yang terkenal dan dapat mengetahui kualitas hadits yang mereka terima dari
seorang guru.
4.
Rihlah Ilmiyah
Yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari
ilmu. Dengan adanya sistem ini pendidikan di masa Masa Abbasiyah tidak hanya di
batasi dengan dinding kelas (school without wall) tetapi memberikan kebebasan
kepada murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki. Guru-guru
juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk
mengajar sekaligus belajar, sehingga sistem rihlah ilmiyah disebut dengan
learning society (masyarakat belajar).
Kebebasan perjalanan di berbagai daerah Islam
menyebabkan pertukaran pemikiran (culture contact) terus berlangsung antar
masyarakat Islam sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus
berlangsung. Syalabi, mengutip dari Nicholson menjelaskan bahwa melakukan
perjalanan ilmiah laksana lebah mencari bunga ke tempat yang jauh kemudian
mereka kembali ke kota kelahirannya dengan membawa madu yang manis.
5.
Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber keuangan bagi lembaga
pendidikan Islam. adanya sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh sistem
ekonomi Islam yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan
syari`ah Islam sehingga aktifitas ekonomi mempunyai tujuan ibadah dan
kemaslahatan bersama. Oleh karena itu di saat ekonomi Islam mencapai kemajuan,
umat Islam tidak segan-segan membelanjakan uangnya untuk kepentingan dan
kesejahteraan umat Islam seperti halnya untuk pelaksanaan pendidikan Islam.
Dengan dipelopori penguasa Islam yang cinta ilmu seperti Harun al Rasyid dan al
Ma`mun maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan untuk keilmuan. Menurut
Syalabi, bahwa khalifah al Ma`mun adalah orang yang pertama kali memberikan
pendapatnya tentang pembentukan badan wakaf.
F.
Masa Kemunduran Pendidikan Islam
Sepanjang sejarah sejak awal dalam pemikiran terlibat
dua pola yang saling berlomba mengembangkan diri dan mempunyai pengaruh besar
dalam pengembangan pola pendidikan umat Islam. Kedua pola tersebut adalah: Pola
pemikiran tradisional dan Pola pemikiran rasional. Pada pola pemikiran
tradisional ini selalu mendasarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang
menjadi pola pemikiran sufistis dan mengembangkan pola pendidikan sufi yang
sangat memperhatikan aspek-aspek batiniyah dan akhlak atau budi pekerti
manusia. Sedangkan pada pola pemikiran rasional, mementingkan akal pikiran yang
menimbulkan pola pendidikan empiris rasional yang sangat memperhatikan
pendidikan intelektual dan penguasaan material.[12]
Pada masa jayanya pendidikan Islam, kedua pola
pendidikan tersebut menghiasi dunia Islam, sebagai dua pola yang berpadu dan
saling melengkapi. Akan tetapi ketika pola pemikiran rasional diambil alih oleh
Eropa dan dunia Islam pun meninggalkan pola berfikir tersebut. Sehingga tinggal
pemikiran sufistis yang sifatnya memang sangat memperhatikan kehidupan batin
yang akhirnya mengabaikan dunia material. Dari aspek inilah dikatakan bahwa
pendidikan dan kebudayaan Islam mengalami kemunduran.
Setelah kita mengetahui asas kebangkitan peradaban
Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan
begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan,
kemungkinan dan tantangan. Kemunduran suatu peradaban tidak bisa dikaitkan
dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang
sistematik, maka jatuh bangunnya suatu peradaban juga bersifat sistematik.
Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada
organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya, yang secara
umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal berkaitan erat sekali.[13]
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat
Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hasan, faktor-faktor tersebut
adalah:[14]
1.
Faktor ekologi dan alami, yaitu
kondisi tanah dimana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi
gersang. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar.
Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di
Mesir, Syiria dan Iraq. Karena faktor ini penduduk tidak terkonsentrasi pada
suatu kawasan tertentu dan kepada pendidikan.
2.
Perang salib yang terjadi dari
1096-1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. ”Perang Salib” menurut
Bernand Lewis,” pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat
yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama
sebagai medium psikologisnya.
3.
Hilangnya perdagangan islam
internasional dan munculnya kekuatan barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan
secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam mencari rute ke India ia
menempuh jalur yang melewati negara-negara islam. Pada saat yang sama Portugis
juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Disaat itu
kekuatan umat Islam baik di laut maupun di Barat dalam sudah memudar. Akhirnya
pos-pos perdagangan itu dengan mudah dikuasai mereka.
Meskipun barat muncul sebagai kekuatan baru, umat
muslim bukanlah peradaban yang seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit
lagi. Peradaban Islam terus dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan
bahkan dianggap sebagai ancaman barat. Akan tetapi kolonialis melihat bahwa
kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik,
ras, dan bangsa dapat dilemahkan yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide
et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya
negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
Menurut Ibnu Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya
sebuah peradaban lebih bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban
dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan
masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah.
Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi
moral.
M. M. Sharif dalam bukunya Muslim Thougt,
mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut
sebagai berikut : “...... kita saksikan bahwa pikiran islam telah melaksanakan
satu kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak diantaraabad ke VII
dan abad ke XIII M. Selanjutkan diungkapkan juga bahwa sebab-sebab pikiran
Islam menurun dan melemah antara lain sebagai berikut:[15]
1.
Telah berkelebihan filsafat Islam
(yang bercorak sufistis) Al-Ghazali di Timur dan berkelebihannya pula Ibnu
Rusyd dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia
Islam barat. Sehingga Al-Ghazali dengan filsafat islamnya menuju
kerohanian hingga menghilang ke dalam maga tasawuf mendapat sukses di timur,
dan Ibnu Rusd dengan filsafatnya yang bertentangan dengan Al-Ghazali dengan
menuju ke jurang materialisme mendapat sukses di Barat.
2.
Umat Islam, terutama pada
pemerintahannya (khalifah, sultan, amir-amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan yang mana pada mulanya mereka memberi kesempatan untuk berkembang
dan memperhatikan ilmu pengetahuan dengan memberikan penghargaan yang tinggi
kepada para ahli ilmu pengetahuan. Namun pada masa ini mereka lebih
mementingkan pemerintahan, begitu juga dengan para ahli ilmunya yang terlibat
dalam urusan-urusan pemerintahan.
3.
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang dibarengi dengan serangan dari luar, sehingga menimbulkan
kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan pengembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam.
G.
Dampak dari Faktor-Faktor Kemunduran
Pendidikan Islam
Dari beberapa faktor yang telah dipaparkan diatas yang
pasti ada dampak yang terjadi baik terhadap umat Islam itu sendiri dan terutama
pada pendidikan yang mana dengan semakin ditinggalkannya pendidikan
intelektual, maka semakin statis perkembangan kebudayaan Islam, karena daya
intelektual generasi penerus sudah tidak mampu lagi untuk mengadakan
kreasi-kreasi baru, bahkan telah menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi
persoalan-persoalan baru.
Dalam bidang fiqh, yang terjadi adalah berkembangnya
taqlid buta dikalangan umat. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fiqh lama
dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah baku, mantap, benar, dan harus diikuti
serta dilaksanakan sebagaimana adanya. Dengan sikap hidup yang fatalistis
tersebut, kehidupan mereka sangat statis.
Ketika umat Islam mengalami kehancuran dan kemunduran
dalam pendidikan terutama dalam bidang intelektual, maka pada waktu itu
kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Karena keadaan frustasi yang merata
dikalangan umat sehingga menyebabkan orang kembali kepada Tuhan (bersatu dengan
Tuhan) sebagaimana diajarkan oleh para ahli sufi.
Kemunduran dan kemerosotan mutu pendidikan dan
pengajaran juga nampak jelas pada sangat sedikitnya materi kurikulum dan mata
pelajaran serta menyempitnya bidang-bidang ilmu pengetahuan umum di
madrasah-madrasah. Sehingga kurikulum pada umumnya madrasah-madrasah terbatas
hanya pada ilmu-ilmu keagamaan murni seperti : Tafsir, Al-Qur’an, hadits, fiqh
(termasuk ushul fiqh) dan ilmu kalam atau teologi bahkan dalam ilmu kalam pun
masih ada madrasah-madrasah yang mencurigai. Dengan materi yang sangat
sederhana ternyata total buku yang harus dipelajari pun sangat sedikit.
Begitupun dengan sistem pengajaran pada masa itu yang sangat beroritentasi pada
buku pelajaran sehingga sering terjadi pelajaran hanya memberikan
komentar-komentar atau syarah terhadap buku-buku pelajaran yang dijadikan
pegangan oleh guru tanpa ada pasokan pendapat sendiri dari guru tersebut.
Oleh karena itu perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa ini dapat dikatakan macet total. Keadaan yang demikian berlangsung selama
masa kemunduran kebudayaan dan pendidikan Islam, sampai abad ke 12 H/18 M.
H.
Masa Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam
diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi
maka secara berangsur-angsur telah membangkitkan kekuatan di Eropa dan
menimbulkan kelemahan di kalangan umat Islam. Secara berangsur-angsur tetapi
pasti, kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa.
Sebenarnya kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan
kaum muslimin dari bangsa-bangsa Eropa dalam berbagai bidang kehidupan ini,
telah timbul mulai abad ke 11 H/17 M dengan kekalahan-kekalahan yang diderita
oleh kerajaan Turki Usamani dalam peperangan dengan negara-negara Eropa.
Kekalahan-kekalahan tersebut mendorong raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan
untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan.
Mereka mulai memperhatikan kemajuan kebudayaan Eropa, terutama Perancis yang
merupakan pusat kemajuan kebudayaan Eropa pada masa itu dan mengirim duta-duta
untuk mempelajari kemajuan Eropa, terutama di bidang militer dan kemajuan Ilmu
pengetahuan.[16]
Dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan modern dari
Barat, untuk pertama kali dalam dunia Islam dibuka suatu percetakan di Istambul
pada tahun 1727 M. Guna mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang
diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan barat, Al-Qu’ran dan ilmu-ilmu
pengetahuan agama lainnya.
Penduduk Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M,
adalah merupakan tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kembali
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan mereka. Ekspedisi Napoleon
tersebut bukan hanya menunjukkan akan kelemahan umat Islam, tetapi juga
sekaligus menunjukkan kebodohan mereka. Ekspedisi Napoleon tersebut disamping
membawa pasukan tentara yang kuat, juga membawa pasukan ilmuwan dengan
seperangkat peralatan ilmiah, untuk mengadakan penelitian di Mesir. Inilah yang
memuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga
akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan,
untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan mereka, termasuk usaha-usaha
di bidang pendidikan.
1. Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan Islam
Dalam diri kaum muslimin pada masa itu terjadi tiga
pola pemikiran pembaharuan Pendidikan Islam yaitu :[17]
a. Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan
modern di Barat.
Pada dasarnya mereka berpendapat bahwa sumber kekuatan
dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh Barat adalah sebagai hasil dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka
juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang,
tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan
yang pernah berkembang di dunia Islam. Oleh karena itu, mereka bertekad untuk
mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan
kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.
Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya
timbul di Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H / 17 M setelah mengalami kalah perang
dengan berbagai negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi
timbulnya usaha sekularisasi Turki yag berkembang kemudian dan membentuk Turki
Modern. Sultan Mahmud II (yang memerintah di Turki Usmani 1807-1839), adalah
pelopor pembaharuan pendidikan di Turki.[18]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II
diantaranya:
1)
Mengadakan perubahan dalam kurikulum
madrasah dengan menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum kedalamnya yang semula
hanya mengajarkan pengetahuan agama.
2)
Mengeluarkan perintah supaya anak
sampai umur dewasa jangan dihalangi masuk madrasah.
3)
Mendirikan sekolah militer, sekolah
teknik, sekolah kedokteran dan sekolah pembedahan.
4)
Mengirim siswa-siswi ke Eropa, untuk
memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi langsung dari sumber pengembangan.
Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke barat
ini, juga nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir yang berkuasa pada
tahun (1805-1848) yaitu dengan mengadakan pembaharuan dengan jalan mendirikan
sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat, mendatangkan
guru-guru dari Barat (terutama dari Perancis), mengirimkan pelajar ke Barat
untuk belajar, menterjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab.
b.
Gerakan pembaharuan pendidikan Islam
yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri
merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan
modern. Menurut analisis mereka, diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam
adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agma Islam secara
semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatannya
ditinggalkan, dan menerima ajaran-ajaran Islam yang sudah tidak murni lagi.
Pola pembaharuan ini telah dirintis oleh Muhammad bin
Abdal-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afgani dan
Muhammad Abduh (akhir abad 19 M).
c.
Usaha pembaharuan pendidikan yang
berorientasi pada nasionalisme.
Rasa nasionalisme timbul bersama dengan berkembangnya
pola kehidupan modern, dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami
kemajuan rasa Nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik
yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa
Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme
masing-masing.
Disamping itu, adanya keyakinan di kalangan
pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya
ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh
karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme ini pun
bersesuaian dengan ajaran Islam.[19]
2.
Dualisme
Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan modern, pada umumnya dilaksanakan
oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga
ahli untuk kepentingan pemerintah, dengan mengguanakan kurikulum dan
mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan
tradisional yang merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat
atau pondok pesantren dan madrasah yang telah ada di kalangan masyarakat, pada
umumnya tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan
pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah
yang selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat
Islam.
Pada umumnya usaha pendidikan untuk memadukan antara
kedua sistem telah diadakan, dengan jalan memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan
modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama
ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Dengan demikian diharapkan sistem
pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke
sistem pendidikan modern. Dan inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh para
pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam yang
murni.[20]
I.
Analisis Fakta Sejarah
Pemikiran pembaharuan Islam terjadi sekitar pada abad
ke 17 M. Pemikiran pembaharuan di dalam tubuh Islam sendiri didasari atas
kesadaran kaum muslimin akan ketertinggalan mereka dalam berbagai bidang
terutama dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan orang-orang Barat.[21]
Para pemikir Islam salah satunya adalah Sultan Mahmud
II berusaha untuk mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan
menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum kedalamnya yang semula hanya
mengajarkan pengetahuan agama. Yang inspirasinya seolah-olah mengadopsi
pemikiran-pemikiran dari Barat, akan tetapi sebenarnya merupakan ajaran Islam
yang murni yang menghendaki keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Adapun pemikir-pemikir muslim yang lain mengemukakan
tema pembaharuan dengan opini/ide dasar yaitu :
1.
Mengembalikan ajaran Islam kepada
unsur aslinya, dengan bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan membuang segala
bid’ah, khurafat, tahayul dan mistik.
2.
Menyatakan dan membuka kembali pintu
ijtihad.
Menurut golongan berfikir usaha pembaharuan pendidikan
yang berorientasi pada nasionalisme berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam
dengan memperhatikan situasi dan kondisi objektif umat Islam yang bersangkutan.
Dalam usaha mereka bukan semata mengambil unsur-unsur budaya Barat yang sudah
maju, tetapi juga mengambil unsur dari budaya warisan bangsa yang bersangkutan.
Ide kebangsaan inilah yang akhirnya menimbulkan timbulnya usaha merebut
kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan pemeluk Islam.
Sebagai akibat dari pembaharuan dan kebangkitan
kembali pendidikan Islam ini, terdapat kecenderungan dualisme sistem pendidikan
Islam di kebanyakan negara muslim, yaitu perpaduan antara sistem pendidikan
modern dan sistem pendidikan tradisional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa:
1.
Kejayaan pendidikan Islam dimulai dengan
perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal diantaranya; kuttab,
pendidikan rendah di istana, toko-toko kitab, rumah para ulama, majelis atau
salon kesusastraan, badiah (padang pasir,dusun tempat tinggal badwi), rumah
sakit, perpustakaan, masjid, dan ribath. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
kejayaan pendidikan Islam; adanya lembaga-lembaga formal seperti
sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah, terjadinya asimilasi antara bangsa arab
dengan bangsa lain yang lebih dahulu maju, dan pengaruhpengaruh dari Persia,
India dan pengaruh Hellenisme di masa Abbasiyah.
2.
Kemunduran pendidikan Islam di mulai
dengan runtuhnya daulah Bani Abbasiyah yang disebabkan oleh berlebihannya
sufisme, sedikitnya kurikulum Islam, tertutupnya pintu ijtihad, adanya
pemberontakan serta serangan dari luar yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi
pendidikan dan kebudayaan Islam.
3.
Pendidikan Islam mengalami fase
kebangkitan kembali yang dinamakan fase pembaharuan. Pada fase ini pendidikan
Islam mulai naik dengan beberapa tokoh yang menjadi pelopor. Kebangkitan
kembali umat Islam khususnya bidang pendidikan adalah dalam rangka untuk pemurnian
kembali ajaran-ajaran Islam dengan pelopor di berbagai daerah seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Pembaharuan di Turki, dan
Muhammad Iqbal di India. Terjadinya tiga pola pembaharuan pemikiran pendidikan
Islam. Ketiga pola tersebut yaitu : Pola pembaharuan yang berorientasi pada
pola pendidikan Barat. Golongan yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
Usaha yang berorientasi pada Nasionalisme.
B.
Saran
Demikianlah makalah
ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Agama Islam. Apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat kekurangan penulis meminta kepada pembaca
umumnya dan khususnya kepada dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan ini untuk
memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan
Allah Swt senantiasa memberkahi kita semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin
.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mufrodi,1997.Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta,
Armstrong, Karen,
2003, “Islam Sejarah Singkat” Yogyakarta:
Jendela
Asrohah, Hanun.
2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Badri
Yatim, 2014. Sejarah Peradaban Islam, PT Grafindo Persada, Jakarta,
Harun,
Maidir, dan Firdaus, 2001.Sejarah Peradaban Islam, Padang:
IAIN-IB Press
Hasan,
Hasan Ibrahim, 2009. Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta:
Kalam Mulia, Cet. III
Nata, Abudin,
2004, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta; PT Raja Grafindo Persada,
Nizar, Samsul. editor. 2009.” Sejarah Pendidikan Islam”. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Cet: Ke-3.
Ramayulis.
2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam mulia.
Samsul Munir
Amin, 2013. Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta,
Samsul
Nizar, 2007.Sejarah Pendidikan
Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Era Rosullullah Sampai Indonesia,
Jakarta:Kencana Prenada Media Group, Vol. 1 Agustus
Sunanto,
Musrifah, 2003, Sejarah Islam Klasik.Jakarta
Timur; Prenata Media
Suwendi. 2004.
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam.Jakata: PT Raja Grafindo Persada.
Syarif, Muslim
Thought Diponegoro, Bandung,
Tafsir, Ahmad,
1990, “Filsafat Umum”,
Bandung, PT Remaja Rosyda Karya,
Zuhairini. 2011.
Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
[2]
Ibid Hal 48
[7]
Ibid 130
[10] Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
kalam mulia,hal.109
[12] Samsul Nizar. editor. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. Cet: Ke-3. Hlm 183.
[13] Samsul Nizar. editor. 2009.
Hlm 190.
[14] Samsul Nizar. editor. 2009.
Hlm 191.
[15] M.M. Syarif, Muslim Thought Diponegoro, Bandung,
hal. 161-164
[16] Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam.Jakata: PT Raja Grafindo Persada. Hal 140
[17] Musrifah Sunanto, 2003, “Sejarah Islam Klasik” Jakarta
Timur; Prenata Media, hal: 223-228
[18] Ahmad Tafsir, 1990, “Filsafat Umum”, Bandung, PT
Remaja Rosyda Karya, hal: 125
[19] Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Bumi
Aksara. Jakarta,2011. Hal.111
[20] Abudin Nata, 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada, hal 283-286
Komentar
Posting Komentar