BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Revolusi
Nasional Indonesia menjadi sebuah titik penting dalam berdirinya negara
Indonesia yang memiliki kedaulatan yang penuh. Pada titik ini terjadi berbagai
konflik bersenjata dimana terjadinya pertentangan antara pihak Republik
Indonesia dengan melawan pihak penjajah Belanda yang dibantu oleh
sekutu-sekutunya.
Segala
bentuk revolusi yang terjadi diawali dengan dilakukannya masa yang
menggembirakan untuk bangsa Indonesia yaitu proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945, hingga akhirnya setelah beberapa lama pihak
Belanda mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949.
Akan tetapi selama empat tahun dari waktu kemerdekaan bangsa Indonesia hingga
pengakuan akan kedaulatan republik Indonesia oleh Belanda tahun 1949.
Telah
terjadi berbagai peristiwa berdarah di waktu-waktu tersebut. Pasukan Belanda
masih berada di wilayah Indonesia walaupun Negara Indonesia, pihak hanya mampu
untuk menguasai kota-kota besar saja di pulau Jawa dan Sumatera, sementara
tidak mampu mengambil alih kendali di wilayah pedesaan dan pinggiran. Hal itu
lantaran usaha perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik dari bangsa
Indonesia. Sehingga membuat pihak Belanda berhasil untuk ditekan, hingga
akhirnya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pergerakan
besar-besaran dengan munculnya berbagai organisasi nasional untuk meraih
kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkaraman penjajah Belanda saat itu, yaitu
organisasi Sarekat Islam, Budi Utomo, Partai nasional Indonesia, dan lainnya,
yang berkembang dengan sangat cepat saat itu. Mereka mengadakan strategi jitu
dengan mengirim wakil mereka ke Volksraad (semacam dewan rakyat) untuk
berdiplomasi agar pihak Belanda memberikan hak otonomi dan kedaulatan kepada
bangsa Indonesia untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Adapun
pendudukan wilayah Indonesia oleh bangsa Jepang dalam kurun waktu tiga setengah
tahun, menjadi titik yang penting dalam lahirnya revolusi nasional Indonesia,
dimana pihak Belanda hanya mampu untuk mempertahankan sedikit daerah dalam
penjajahan di wilayah Hindia Belanda. Tetapi Jepang dalam kurun waktu tiga
bulan berhasil menguasai Sumatera.
Kemudian
pihak Jepang juga membuat strategi jitu dengan mengambil hati rakyat Indonesia
dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, serta mengizinkan penggunaan
bahasa Indonesia di ruang publik. Hal seperti inilah yang menimbulkan munculnya
berbagai organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Bentuk Peristiwa Revolusi Nasional di Indonesia pada awal kemerdekaan?
2. Bagaimana
Bentuk Peristiwa Revolusi Sosial di Indonesia pada awal kemerdekaan ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Memahami dan menguraikan Bentuk Peristiwa
Revolusi Nasional di Indonesia pada awal kemerdekaan.
2. Memahami
dan menguraikan Bentuk Peristiwa Revolusi Sosial di Indonesia pada awal kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Revolusi
Nasional di Indonesia
Revolusi
Nasional adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi
antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Belanda yang
dibantu oleh pihak sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian
peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada
29 Desember 1949.
2.3.2 Pertempuran Surabaya
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal
A W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigade ini
merupakan bagian dari Divisi India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C.
Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan
tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana
perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang
Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa
Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima
kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S.
Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Inggris berjanji
mengikutsertakan Angkatan Perang Belanda.
2. Disetujui kerja sama kedua
belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3. Akan dibentuk kontak biro agar
kerja sama berjalan lancar.
4. Inggris hanya akan melucuti
senjata Jepang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti
melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para
tawanan Belanda di antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan
dengan penyebaran pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan
senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu
dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata mereka. Kontak senjata
antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945.
Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan
berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya
adalah dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris
kemudian melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai
kemenangan yang gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada
tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di
Surabaya.
Dalam perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan
untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak Sekutu.
Dalam salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya
Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada
tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby
mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu
isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan
diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas
kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan
maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum
ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh
karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui
pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah
pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang
dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek
Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan
Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri
sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang
penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu
membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR
maupun TKR laut di bawah Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang
berlangsung sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil
mempertahankan kota Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang
banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 10 November bangsa
Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa
para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari
kekuasaan asing.
1.
Pertempuran Ambarawa
Kedatangan Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan
Brigadir lenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan
mengurus tawanan perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA
dan mempersenjatai para bekas tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah
terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal
2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brig.Jend. Bethel mengadakan perundingan
gencatan senjata.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke
Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letnan Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan
Muda di bawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari
Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang Sekutu di desa Lambu. Dalam
pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen
Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang oleh
Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman
mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan
terhadap musuh. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung
musuh yang bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota
Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa terjepit
maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju
ke Semarang.
2.
Pertempuran Medan Area
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus
1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara
Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi
Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan
Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di
wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera
Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan
NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan.
Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M.
Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya
insiden di beberapa tempat.
Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori
terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR,
di Sumatera Timur terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan
ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror
mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu
memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai
sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan
gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal
10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara
besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946
pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas
Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil
menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar
Rakyat Medan Area.
Selain di
daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat
terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran
berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di
Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu
memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga
pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen.
Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak
rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini
pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera
rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia terjadilah peristiwa-peristiwa
baik di tingkat pusat maupun daerah. Peristiwa-peristiwa tersebut di antaranya
Bandung Lautan Api, Puputan Margarana, Peristiwa Westerling di Makassar, dan
Serangan umum 1 Maret 1949.
3.
Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan
a. Aktivitas Diplomasi Indonesia di Dunia Internasional untuk Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia
Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia
diprakarsai oleh Pang lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada
tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh
Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak
Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan
untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo
mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar
pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di
masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara
persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan
kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda
akan memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan
Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen,
bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia
Belanda (Indonesia).
Untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah
Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark
Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan
Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu itu Van Mook menyampaikan pernyataan
politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut:
1)
Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang
memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
2)
Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh
pemerintah Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan
yang berisi antara lain sebagai berikut:
1)
Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas
wilayah bekas Hindia Belanda.
2)
Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan
luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri
atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
Usul dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan
selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik
Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka
pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27
Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain
sebagai berikut:
1)
Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan
Sumatera.
2)
Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat
(RIS).
3)
RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam
ikatan negara Belanda.
Pada tanggal 14
- 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda) terjadi perundingan antara
pihak Indonesia dengan pihak Belanda, Perundingan yang berlangsung di Hooge
Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan
Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak bersedia memberikan
pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan
Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan
demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi
Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak
RI.Walaupun Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan tetapi dalam
prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan Belanda sudah diterima
dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah pantas. Oleh karena itu
pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar terhadap penyelesaian
pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord Killearn sebagai pengganti
Prof Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil
mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan
yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam
perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan
akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn.
Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
1) Gencatan senjata diadakan atas dasar
kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta
Indonesia.
2) Dibentuk sebuah Komisi bersama
Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Dalam mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan
Belanda diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak
tanggal 10 November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi
Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de
Baer dan H.J. Van Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri
Sjahrir, dengan anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr.
Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah
sebagai berikut:
1)
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah
meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
2)
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara
Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu
negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
3)
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Meskipun isi perundingan Linggajati
masih terdapat perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan
tetapi kedudukan Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris
dan Amerika memberikan pengakuan secara de facto. Perbedaan penafsiran mengenai
isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya Belanda melakukan
Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947.
4.
Agresi Militer Pertama
Tujuan utama agresi
Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang
memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia
internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil,
dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur
Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia
menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati.
Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang,
dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan
oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20 Juli
di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan
tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa
daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke
daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di
tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera
Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah
wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini,
Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale
Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan
Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan
KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian
Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini
ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil
merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan
kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan
simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura,
sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan
tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto,
Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo
Wiryokusumo.
Republik Indonesia secara resmi mengadukan
agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah
melanggar suatu perjanjian Internasional, yaituPersetujuan
Linggarjati.
Belanda ternyata tidak
memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang
tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan
Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan
ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27
tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata
dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui
eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak
tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA,
dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu
resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31
tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta
resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan
konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian
Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB,
pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan
menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan
untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan
membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan
Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices
for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal
sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu
Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan
Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C.
Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr.
Frank Graham.
Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan antara
pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan. Perundingan ini
dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan
Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang
memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.
1)
Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai
pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara
Indonesia Serikat (NIS).
2)
Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di
daerah-daerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung
dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat.
3)
Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan
hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland.
Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik Indonesia yang
meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi. Akan tetapi, RI
bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di antaranya
adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga kalau menolak
berarti belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga tidak adanya
jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa pemungutan
suara akan dimenangkan pihak Indonesia.
5.
Agresi Militer kedua
Ketika Dr. Beel menjabat sebagai
Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia mempunyai pandangan yang berbeda
dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia berpendirian bahwa di Indonesia harus
dilaksanakan pemulihan kekuasaan pemerintah kolonial dengan tindakan militer.
Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak
terikat dengan Perundingan Renville dan dilanjutkan tindakan agresi militernya
yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang
ibu kota Rl yang berkedudukan di Yogyakarta
Setelah mempertimbangkan segala
kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk
tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang
diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman
masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi
Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden
ikut bergerilya. MenteriLaoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang
akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal
dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan,
Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah
dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk diSumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa
yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang
sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin
Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet
dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian
dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa
Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat
untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun
sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri
Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai
Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada
Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi,
dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan
L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi,
India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat
dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh
Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3
orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri
Perhubungan.
Dengan peristiwa agresi militer
belanda kedua ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu melancarkan
perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Mei
1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen selaku
ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan sebagai berikut.
1. Pernyataan Mr. Moh Roem.
a) Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang
bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
b) Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan
menjaga ketertiban dan keamanan.
c) Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag
dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh
dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
2) Pernyataan Dr. Van Royen
a) Menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke
Yogyakarta.
b) Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan
pembebasan semua tahanan politik.
c) Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang
berada di daerah-daerah yang dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan
tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
d) Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian
dari Negara Indonesia Serikat.
e) Berusaha dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja
Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta
6.
Diplomasi-Diplomasi dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan RI
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang
(disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi.
a.
Pertemuan
Hoge Veluwe
Pertemuan Hoge Veluwe yang dilakukan
di Belanda pada bulan April 1946 terlaksana dengan perantaraan seorang diplomat
Inggris, yaitu Sir Archibald Clark Keer. Dalam pertemuan Hoge Veluwe, delegasi
Indonesia terdiri atas Mr. Suwandi, Dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo
sedangkan Belanda diwakili oleh Dr. H.J. van Mook. Walaupun wakil-wakil
Indonesia sudah berusaha keras dalam diplomasi itu, akan tetapi pertemuan ini
tidak memberikan hasil karena Belanda menolak untuk mengakui wilayah RI yang
terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra secara de facto. Belanda menyodorkan
ikatan kenegaraan dengan Republik Indonesia sebagai bagian suatu federasi.
Karena belum memperoleh kesepakatan, kedua negara tersebut kembali merencanakan
perundingan.
b.
Perundingan Linggajati
Perundingan Liggarjadi diinisiasi
oleh seorang diplomat Inggris bernama Lord Killearn, pertemuan tersebut diawali
dengan pertemuan antara wakil Indonesia dan Belanda di Istana Negara dan
Pegangsaan Timur 56. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir sedangkan
Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan kemudian dilanjutkan
sebuah daerah pegunungan di Cirebon yang bernama Linggajati. Dalam
Perundingan Linggajati, disepakati bahwa secara de facto, Belanda mengakui
Republik Indonesia yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra akan dibentuk
negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana RI
menjadi salah satu negara bagiannya dan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai kepala uni.
c.
Perundingan
Renville
Kesepakatan yang dihasilkan pada
perundingan Linggajati ternyata sulit terlaksana. Belanda bahkan melancarkan
Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Akibatnya Dewan Keamanan PBB
kemudian mengirimkan komisi jasa baik yang terdiri atas 3 negara yaitu
Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Mereka bertindak sebagai perantara
perundingan. Perundingan yang diinisiasi komisi tersebut kemudian dilakukan di
sebuah kapal perang milik Amerika Serikat. Perundingan ini dikenal dengan nama
perundingan Renville mengambil nama kapal tersebut : USS Renville. Pada
perundingan tersebut, delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir
Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh seorang Indonesia
bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Hasil perundingan Renville antara lain :
(1) Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, (2) RI sejajar
kedudukannya dengan Belanda, (3) RI menjadi bagian dari RIS, dan (4) akan
diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS. Selain itu, tentara Indonesia
di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI. d.
Perundingan Roem-Royen Hasil perundingan Renville juga akhirnya tidak
dilaksanakan bahkan Belanda melanggar kesepakatan dalam perundingan tersebut
dan melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi ini
dikecam oleh dunia internasional, karena itu Belanda pun menyetujui diadakannya
perundingan kembali dengan mengirimkan van Royen sebagai wakilnya. Indonesia
menugaskan Moh. Roem sebagai utusan. Perundingan tersebut dilaksanakan di Hotel
Des Indes pada tanggal 14 April– 7 Mei 1949.
d.
Perundingan
Roem-Royen
menghasilkan kesepakatan antara lain
(1) penghentian perang gerilya, (2) pemimpin-pemimpin RI dikembalikan ke
Yogyakarta, (3) Belanda akan menyokong RI untuk menjadi negara bagian RIS
dengan memiliki sepertiga suara dalam perwakilan rakyat, dan (3) kedua belah pihak
akan ikut dalam Konferensi Meja Bundar.
e.
Konferensi
Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB)
dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Pada konferensi tersebut, delegasi Belanda
dipimpin oleh van Marseveen, sedangkan delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh.
Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan federal yang terdiri atas
negara-negara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang
berlangsung pada tanggal 23 Agustus–2 November tahun 1949. Kesepakatan yang
dicapai dalam KMB sebagai berikut. Belanda akan menyerahkan kedaulatannya
kepada Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali paling lambat
tanggal 30 Desember 1949. Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan
sebuah uni dengan Belanda. Segala hak dan kewajiban Belanda di Indonesia akan
diterima dan dibebankan kepada Indonesia. Indonesia dengan Belanda akan
mengadakan perjanjian dalam bidang ekonomi, keuangan, dan kebudayaan. Irian
Barat masih merupakan daerah perselisihan dan akan diselesaikan dalam waktu
satu tahun. Konferensi Meja Bundar Meskipun hasil KMB tidak memuaskan banyak
pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada tanggal
27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS dilakukan.
B.
Revolusi Sosial
Revolusi
Sosial adalah pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam
peristiwa ini pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di pulau
Jawa dan Sumatra, namun gagal mengambil alih kendali di desa dan
daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan
diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan
Indonesia. Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial
di Indonesia, di mana kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan.
Revolusi sosial merupakan bentuk
tanggapan dari proklamasi Indonesia dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Pada
setiap daerah di Indonesia terjadi Revolusi Sosial yang dilatarbelakangi
penyebab yang hampir sama yaitu kondisi ketimpangan disegala aspek kehidupan
masyarakat. Ketimpangan ini terlihat sangat mencolok terutama antara rakyat
kelas bawah dengan para pengusaha, bangsawan, dan pejabat pemerintah. Selain
ketimpangan dalam segala aspek juga muncul rasa ketidakadilan di dalam
masyarakat terhadap golongan atas. Keadaan ini juga didukung provokasi dari
pejuang-pejuang gerakan bawah tanah kepada masyarakat akan kondisi
ketidakadilan ini. Momen proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi titik awal
pelampiasan rasa ketidakadilan yang sudah menjadi bibit di dalam masyarakat.
Perihal-perihal di atas menjadi penyebab secara umum terjadinya Revolusi sosial
di setiap daerah di Indonesia.
1.
Peristiwa Tiga Daerah
Revolusi sosial mewarnai hampir
setiap daerah di Indonesia. Salah satu yang terkenal adalah Peristiwa Tiga
Daerah di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang terjadi pada bulan Oktober-Desember
1945. Peristiwa Tiga Daerah adalah salah satu bentuk rasa sakit hati rakyat
terhadap pejabat dan penguasa daerah. Tidak hanya kepada penguasa daerah, rasa
sakit hati juga timbul kepada para perangkat desa dan camat. Rasa ketidakadilan
dan sakit hati dalam diri rakyat Tiga Daerah terjadi karena
monopoli pangreh praja (pejabat pemerintah daerah) dalam birokrasi.
Salah satu kasus yang terjadi adalah
tidak meratanya pengaturan irigasi oleh pangreh praja setempat yaitu
isensitas pengairan lebih ditujukan kepada pengusaha ladang tebu daripada ke
petani padi lokal. Kasus tersebut terjadi ketika Hindia Belanda masih berdiri.
Sementara pada zaman pendudukan Jepang kesenjangan masyarakat semakin menjadi
terutama ketika diterapkan penjatahan kepemilikan barang-barang pokok. Kondisi
ini dimanfaatkan para pejabat untuk mengkorupsi jatah milik rakyat. Kasus-kasus
inilah yang melatarbelakangi kondisi masyarakat yang sudah tidak stabil
menjelang kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, situasi di Tiga
Daerah semakin tidak stabil karena sikap pemimpin daerah yang masih bingung
dalam memilih bergabung dengan pemerintahan Indonesia atau tidak. Sementara di
lain pihak rakyat berkehendak untuk bergabung dengan pemerintah Indonesia.
Tuntutan rakyat Tiga Daerah ini bukan tanpa alasan. Rakyat Tiga Daerah
memandang kemerdekaan sebagai jalan untuk kesetaraan sosial antara rakyat
dengan pangreh praja. Propaganda dan kampanye dari kaum nasionalis
(terutama orang PKI) setempat turut menyulut tuntutan rakyat tadi.
Sikap dari pemerintah daerah yang
lamban dan juga rasa ketidakadilan dalam rakyat Tiga Daerah akhirnya
menimbulkan pecahnya Peristiwa Tiga Daerah. Peristiwa Tiga Daerah diawali
dengan pembunuhan para wedana dan pejabat desa di daerah Tegal. Sementara di
Brebes sasaran amuk masyarakat ditujukan kepada orang China dan Indo-Eropa.
Alasan dari penyerangan orang China dan Indo-Eropa lebih berdasar atas
kesenjangan ekonomi dan posisi orang nonlokal tersebut sebagai saudagar atau
pengusaha yang di mata rakyat sebagai salah satu penindas mereka. Lain halnya
dengan Pemalang, selain menyerang kantor pemerintah setempat, rakyat Pemalang
juga menyerang markas BKR di Pemalang. Pada saat itu rakyat memandang BKR tidak
memperdulikan mereka karena tidak ikut dalam revolusi sosial di Tiga Daerah
tersebut.
2.
Munculnya Laskar-laskar di Ibukota
Revolusi sosial juga melanda ibukota
Indonesia, Jakarta. Pada mulanya tidak ada pergolakan sosial setelah
kemerdekaan negara Indonesia, akan tetapi sejak datangnya Sekutu mulai munculah
pergolakan di dalam masyarakat. Revolusi sosial di Jakarta dimulai dengan
munculnya para laskar-laskar tidak resmi yang terdiri dari para jawara dan
mantan garong. Sasaran dari laskar-laskar tersebut adalah para pedagang dan
orang Indo-Eropa dan Cina. Alasan dari diserangnya orang-orang nonpribumi lebih
didasari atas rasa sakit hati dan kebebasan setelah merdeka. Keberadaan
laskar-skar ini juga menjadi keresahan di warga ibukota, oleh karena sering
kali laskar-laskar tersebut menyerang warga-warga setempat.
Revolusi sosial di Jakarta juga melebar ke daerah Depok.
Depok adalah salah satu daerah yang diisi oleh mayoritas orang nonpribumi dan
mantan pejabat Belanda dari pribumi, bahkan ketika pendudukan Jepang kondisi
tersebut masih bertahan. Hal ini menjadikan Depok sebagai daerah eksklusif
daripada daerah lain disekitarnya sehingga setelah proklamasi terjadi ‘invansi’
laskar-laskar lokal ke daerah Depok. Terjadi begitu banyak penjarahan dan
pembunuhan di daerah Depok sebagai bentuk rasa sakit hati orang sekitar Depok.
3.
Revolusi di Sumatra Timur
Revolusi sosial terjadi di Sumatra
khususnya di Sumatra Timur pada waktu yang hampir bersamaan dengan Peristiwa
Tiga Daerah. Sebagai salah satu daerah perkebunan penting, pada era penerapan
sistem ekonomi liberal Sumatra Timur menjadi salah satu daerah sasaran
transmigrasi pekerja kasar dari Jawa untuk diperkejakan di perkebunan Sumatra
Timur. Banyaknya pekerja nonpribumi Sumatra menjadikan pergesekan antarsuku di
Sumatra Timur. Pergesekan antarsuku di Sumatra Timur dikarenakan rasa iri
antara suku non-Melayu kepada orang Melayu yang memiliki hak istimewa di dalam
dinamika sosial.
Ketimpangan sosial juga menjadi salah
satu munculnya revolusi sosial di Sumatra Timur. Ketimpangan ini terjadi antara
para pekerja perkebunan dengan para pengusaha, penguasa kolonial, dan bangsawan
kerajaan setempat. Para pekerja perkebunan di Sumatra Timur merasa haknya
dirampas karena tanah mereka bertani dialihfungsikan secara paksa untuk
perkebunan swasta. Hal ini kian diperparah dengan sikap para raja setempat yang
tidak berani membela rakyatnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi
sosial di Sumatra Timur kian tegang. Oleh karena belum adanya kekuasaan yang
jelas, terjadi konflik fisik antarsuku terutama suku Melayu dengan suku
non-Melayu dan konflik antara si miskin dengan si kaya. Selain itu muncul
penjarahan dan pembakaran kediaman para bangswan setempat. Banyaknya
konflik-konflik di Sumatra Timur dan kasus penjarahan menjadikan kondisi sosial
di sana tidak menentu.
4.
Revolusi Sosial di Indonesia
Munculnya berbagai pergolakan sosial
di Indonesia tidak hanya tiga contoh tersebut, akan tetapi hampir di setiap
daerah di Indonesia. Timbulnya pergolakan sosial di berbagai daerah di
Indonesia merupakan bentuk dari dampak perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat tepat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perubahan dari
sistem masyarakat yang dahulu terikat kuat dengan masyarakat ke kondisi
masyarakat yang telah merdeka dan berada di bawah pemerintah baru yang
demokratis menimbulkan berbagai pergolakan sosial dan konflik dalam masyarakat.
Pergolakan sosial setelah proklamasi lebih sering terjadi antara mereka rakyat
yang dahulu terjajah dalam segala aspek dengan penguasa daerah yang dahulu
berkolaborasi dengan para penjajah. Rasa balas dendam dan ketidakadilan menjadi
hal yang mendorong mereka yang dahulu terjajah untuk melakukan revolusi sosial
melawan mereka yang dianggap menindas kaum lemah.
Faktor semangat kemerdekaan juga
menjadi pendorong terjadinya revolusi sosial di berbagai daerah. Lamban dan
enggannya para pejabat daerah dan pemerintah daerah dalam mendukung proklamasi
menjadikan rakyat pendukung proklamasi kehabisan kesabaran dan melakukan
pergerakan secara fisik dalam mendorong para pejabat dan pemerintah daerah
mendukung kemerdekaan. Selain itu sentimen masyarakat daerah terhadap ras dan
golongan tertentu juga mendorong masyarakat melakukan perlawanan dalam rangka
merubah pranata sosial yang sudah ada sejak dahulu. Akan tetapi perlawanan
tersebut lebih sering terjadi dengan menggunakan jalan radikal (kekerasan).
Revolusi sosial dipandang sebagai
bentuk dari citra buruk dari bangsa Indonesia oleh para pemimpin bangsa pada
saat itu. Karena pada saat setelah proklamasi para tokoh bangsa seperti
Soekarno, Muhammad Hatta, dan H. Agus Salim sedang mengupayakan diplomasi
dengan pihak Barat agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Tepat pada saat Perang
Dunia II berakhir Sekutu, yang diwakili Inggris, datang ke Indonesia untuk
mengambil tawanan Jepang dan tentara Jepang. Oleh karena itu para pemimpin
bangsa pada saat itu berupaya membuat Sekutu memandang baik citra orang
Indonesia. Akan tetapi kedatangan Sekutu kian memperparah situasi sosial dalam
masyarakat karena kedatangan Sekutu juga diikuti oleh NICA yang berusaha
mengambil alih kendali di Hindia Belanda. Hal ini menjadikan kondisi sosial di
Indonesia kian memanas dan kacau
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Revolusi Nasional
Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi
antara Republik
Indonesia yang
baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak
Sekutu, diwakili
oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi
mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949.
Pemerintah Belanda masih tetap ingin menguasai wilayah Indonesia. Namun, kali
ini kedatangan pasukan Belanda ke wilayah Indonesia bersama-sama dengan pasukan
Sekutu-Inggris. Kedatangannya disambut dengan berbagai bentuk perlawanan oleh
bangsa Indonesia. Sejak 1945 hingga tahun 1950 telah terjadi berbagai macam
pertempuran antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda yang dibantu oleh
pasukan Sekutu-Inggris.
Revolusi Sosial sudah menjadi salah
satu aspek historis dalam sejarah kemerdekaan yang memiliki pengaruh sampai
sekarang. Tanpa adanya revolusi sosial mungkin tidak akan tercipta negara yang
satu suara dalam mendukung kemerdekaan. Selain itu revolusi sosial juga menjadi
contoh bagaimana masyarakat Indonesia pada saat itu begitu semangat menyambut
kemerdekaan. Namun revolusi sosial juga menjadi intrepertasi bagaimana
masyarakat Indonesia sangat mudah terprovokasi dan bertindak liar di luar
komando. Sehingga revolusi sosial merupakan salah satu bukti bagaimana proses
dinamika yang telah membudidaya dalam masyarakat.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh
dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak
yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau
saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari
bahasan makalah yang telah di jelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
http://arspendar.blogspot.com/2015/02/sejarah-revolusi-nasional-indonesia.html
Nugroho, Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia
IV. Jakarta; Balai Pustaka
Pour, Julius. 2013. Djakarta 1945 Awalak Revolusi
Kemerdekaan. Jakarta; Bhuana Ilmu Populer
Indra, Muhammad Ridwan. 1989. Peristiwa-Peristiwa
Sekitar Proklamasi 17-8-1945. Jakarta; Sinar Grafika
Samani, P.R. 1989. Jejak Revolusi 1945 Sebuah Kesaksian
Sejarah. Jakarta; Temprint
https://www.kompasiana.com/nurama/54f3a21a745513a12b6c7be3/revolusi-sosial-pascaproklamasi
Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak
Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni.
diterjemahkan oleh: Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kahin, Audrey R.. 1990. Pergolakan
Daerah pada Awal Kemerdekaan.diterjemahkan oleh: Satyagraha Hoerip.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme
dan Revolusi di Indonesia.diterjemahkan oleh: Nin Bakdi Soemanto. Surakarta:
Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan.
Lucas, Anton E.. 1989. Peristiwa
Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Promo Fans^^poker :
BalasHapus- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis