Langsung ke konten utama

Makalah Masalah dan Kinerja Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendirisesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari penegertiam tersebut tampak bahwa daerah di beri hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingna sendiri.
Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan harapan bagi perubahan menuju perbaikan di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam bidang pemerintahanan khususnya dari aspek pelayanan oleh pemerintah. Pemerintah disini diartikan sebagai organisasi publik, yakni organisasi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada era reformasi ini merupakan tuntutan perkembangan dan dinamisasi kehidupan masyarakat. Sutiono dan Sulistiyani (2004) mengemukakan tiga alasan penting yang mendorong birokrasi di Indonesia sejak era reformasi pada tahun 1998 harus melakukan pembenahan. Ketiga faktor yang dimaksud adalah faktor reformasi politik, globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.
Khusus otonomi daerah, disamping menimbulkan harapan sekaligus menjadi tantangan bagi birokrasi pemerintahan. Tantangan terberat yang harus dihadapi adalah perubahan perilaku birokrasi itu sendiri, terutama perubahan dari pelaksanaan menjadi pengambil inisiatif. Hal ini menuntut kesiapan SDM di daerah-daerah yang lebih baik.Tuntutan masyarakat saat ini menghendaki birokrasi lebih profesional, netral dan menjadi abdi negara dan abdi masyarakat dengan mengutamakan pada pelayanan umum dan pemberdayaan masyarakat.
Pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi hingga saat ini dirasakan oleh masyarakat umumnya masih belum memuaskan. Penyebab dari keadaan seperti ini disinyalir oleh Ariani (2004) sebagaimana dikemukakan oleh McCormick dan Tiffin dikarenakan dua variable yang mempengaruhi birokrasi. Pertama adalah variabel lingkungan jabatan, termasuk di dalamnya sarana dan prasarana kerja, teknologi dan manajemen. Adapun yang kedua adalah variabel individual, termasuk di dalamnya gaya manajemen, motif prestasi kerja, dan keterampilan. Jika dilihat dari masing-masing variabel tersebut, variabel pertama yang menyangkut sarana dan prasarana kerja kondisinya jauh dari mencukupi, sementara variabel kedua menyangkut individu pegawai negri itu sendiri, maka kualitasnya belumlah memuaskan.
Sementara Sutiono dan Sulistiyani (2004) melihat persoalan kurangnya kinerja aparat dalam memberikan pelayanan, berdasarkan pendapat Darwin (1996) disebabkan masih adanya inefisiensi pada tubuh birokrasi itu sendiri yang ditandai dengan adanya beberapa kecenderungan. Kecenderungan tersebut antara lain (1) tingginya tingkat birokrasi, terutama jika dilihat dari pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur birokrasi; (2) berkembangnya red-tape dalam pelayanan publik; (3) rendahnya kualitas atau profesionalisme aparatur pemerintah; (4) produktivitas dan disiplin kerja pegawai negri yang masih rendah; (5) masih meluasnya berbagai macam praktek maladministrasi dikalangan aparatur pemerintah.
Dalam rangka penataan pemerintahan daerah sekaligus untuk memperbaiki kondisi birokrasi dan kualitas pelayanan, pemerintah telah menerapkan pemberlakuan UU otonomi daerah. Terakhir adalah revisi atas UU Nomor 22 tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penerapan otonomi daerah telah pula membawa perubahan yang cukup mendasar. Otonomi daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan birokrasi pemerintah kepada masyarakat, sehingga tercipta birokrasi yang efektif dan efisien serta dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang di tanggung masyarakat.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menjadi paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari langkah-langkah pemerintah dengan menerbitkan beberapa kebijakan khusus serta perangkat lunak yang mendorong terciptanya kualitas pelayanan yang lebih baik di daerah. Dalam tulisannya, Purbokusumo (2005) menengarai masih tetap berjalannya praktek buruk terhadap jalannya birokrasi pada saat desentralisasi atau otonomi daerah. Ia menyimpulkan bahwa apapun bentuk desentralisasi , pelayanan di sektor publik yang dilakukan oleh birokrasi publik tetap buruk. Kecenderungan sentralisasi menjadikan pelayanan publik berbelit-belit , korup di tingkat pusat pemerintahan, dan boros. Sementara ketika desentralisasi dilakukan secara radikal seperti di era reformasi,pelayanan publik juga tidak semakin baik; korupsi merajalela ke daerah (baik oleh eksekutif maupun legislatif), beban semakin berat dengan variasi pajak dan retribusi daerah yang bertumpuk dan tumpang tindih, serta birokrasi tetap berbelit-belit.
Disamping pendapat diatas, Wursanto ( 2008) menyatakan bahwa apabila birokrasi itu baik maka segala urusan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi dalam prakteknya banyak hal dan urusan tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan sehingga menimbulkan hambatan. Perlu diketahui bahwa hambatan itu tidak disebabkan karena birokrasi, tetapi disebabkan karena birokrasi yang tidak baik. Hambatan dalam birokrasi inilah yang memberikan gambaran negatif terhadap birokrasi sehingga masih banyak orang yang mempunyai pengertian dan pandangan yang keliru tentang birokrasi. Padahal birokrasi mempunyai peran yang penting bagi setiap organisasi , baik organisasi pemerintah maupun swasta.
Selama ini pandangan negatif selalu dilekatkan pada birokrasi organisasi publik. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa mengurus administratif serta perijinan pada instansi penyelenggaraan pelayanan publik berbelit-belit, memakan waktu lama dan mengeluarkan biaya tinggi. Dengan kata lain pelayanan yang diterima tidak sesuai dengan harapan publik yakni cepat,mudah dan murah.
Dengan demikian maka pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk menciptakan sebuah model pelayanan publik yang lebih berkualitas untuk memberikan pelayanan yang lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah secara adil kepada segenap warga masyarakat atau warga negara.
Sejalan dengan di berlakukanya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata,dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antar pemerintah pusat dan pemerintah daerahtersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jaawab penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian di harapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju,mandiri,sejahtera dan kompetetif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pem,bangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataaan tidak aakn selau sejalan. Tujuan atau harapan tentu akan berakhir baik biloa pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ktidaktercapain harapan itu tampak nya mulai terlihat dalam otonomi daerahyang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang mengiring berjalanya otonomi daerah di Indonesia.
Pada makalah ini sengaja penyusun membuat judul “Otonomi daerah dan Permasalahnya di Indonesia” kareana dengan begitu diharapkan para pembaca mengerti tentang masalah-masalah yang di hadapi oleh daerah otonom.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
2.      Apa saja manfaat dari Otonomi Daerah?
3.      Apa saja tujuan dari adanya Otonomi Daerah?
4.      Apa saja permasalahan yang dihadapi daerah otonom?
5.      Apa solusi yang dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut?
6.      Bagaimana Kinerja Birokrasi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah?


C.    Tujuan Penulisan
1.      Agar  mengetahui apa itu otonomi daerah.
2.      Agar mengetahui apa manfaat dari otonomi daerah.
3.      Agar mengetahui apa tujuan dari otonomi daerah.
4.      Agar mengetahui apa saja permasalahan yang dihadapi daerah otonom.
5.      Agar mengetahui solusi apa yang perlu dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut.
6.      Agar mengetahui Kinerja Birokrasi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah.





BAB II
LANDASAN TEORI


A.    Pengertian Otonomi Daerah
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara harafiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri kewenang untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri.
Menurut Philip Mahwood, otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberdayaannya terpsah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasiakn sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda.
Menurut Mariun, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah derah yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatid sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kemudian menurut Vincent Lemius, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupu administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimana otonomi daerah terdapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi.

B.     Manfaat Otonomi Daerah
Adapun manfaat otonomi daerah bagi pemerintah sebagai berikut :
1.      Mengurangi beban pemerintah pusat.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka semua pengambilan keputusan tidak lagi berada di pusat, pemerintah daerah dapat menganalisa, meneliti dan menentukan aturan-aturan tertentu yang benar-benar pas dengan daerahnya sendiri.
2.      Membangun persaingan yang sehat.
Manfaat otonomi daerah selanjutnya adalah mampu membangun persaingan yang sehat antara daerah karena adanya motivasi untuk menampilkan kelebihan yang dimiliki daerahnya masing-masing, ini merupakan suatu persaingan yang sangat positif.
3.      Memberdayakan masyarakat.
Manfaat otonomi daerah yang ketiga adalah meningkatkan pemberdayaan lembaga kemasyarakatan didaerah, otonomi daerah akan melibatkan semua elemen kemasyarakatan didaerah, otonomi daerah akan melibatkan semua elemen masyarakat sehingga daya kreasi dan invasi masyarakat didaerah semakin meningkat dan tentunya hal ini akan berdampak baik bagi pemerintahan.
4.      Kebijkan yang lebih tepat sasaran.
Tentunya masalah setiap daerah berbeda-beda tentunya juga memiliki solusi yang berbeda pula, dimana dengan diterapkannya otonomi daerah akan memberikan ruang yang luas bagi pemerintah setempat untuk membentuk kebijakan yang benar-benar sesuai dan tepat sasaran, sehingga masyarakat akan lebih cepat merasakan dampak dari kebijakan tersbut.
5.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Manfaat otonomi daerah yang terakhir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, aturan yang pas dengan keadaan yang akan membangun perekonomian yang baik.
Manfaat otonomi daerah bagi pemerintah daerah adalah :
1.      Pelaksanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan Masyarakat di Daerah yang bersifat heterogen.
2.      Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
3.      Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik.
4.      Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya "penetrasi" yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
5.      Representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6.      Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7.      Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di Pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat Daerah.
8.      Dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat Daerah dan sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
9.      Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.
10.  Dapat meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11.  Administrasi pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang lainnya.
12.  Memungkinkan pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di Pusat.
13.  Memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di Daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara system politik.
14.  Meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah.




C.    Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan dari otonomi daerah di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan pelayanan umum
Dengan otonomi daerah diharapkan pelayanan umum lembaga pemerintah di masing-masing daerah dapat ditekankan pelayanan yang maksimal. Dengan pelayanan yang maksimal diharapkan masyarakat merasakan secara langsung manfaat otonomi daerah
2.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan pelayanan yang memadai diharapkan kesejahteraan masyarakat pada daerah otonomi bisa dipercepat. Tingkat kesejahteraan masyarakat menunjukkan bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara bijak dan tepat sasaran.




BAB III
PEMBAHASAN

A.    Permasalahan Yang Dihadapi Daerah Otonom
Permasalahan yang sangat mendasar dan tidak habis-habisnya yang ada di Indonesia adalah korupsi. Korupsi sangat jelas telah merugikan keuangan negara. Akibatnya, keuangan negara yang seharusnya lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan rakyat menjadi semakin berkurang. Anggaran keuangan negara melalui APBN, yang dari tahun ke tahun masih sangat terbatas menjadi semakin terbatas kemampuannya saat dana itu banyak dikorupsi.
Hal yang paling dirasakan oleh rakyat adalah kemampuan negara semakin terbatas dalam hal menyediakan anggaran demi kepentingan rakyat, khususnya yang dirasakan secara langsung. Antara lain, adalah  perbaikan infrastruktur, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan transportasi dan pelayanan masalah kesejahteraan rakyat yang lainnya, seperti penanganan bencana, bantuan bagi keluarga miskin dan anak terlantar, dll.
Menurut saya hal ini sebaiknya segera untuk diatasi secara serius dan konsesten karena akan sangat berdampak pada :
1.      Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu
Jika praktek koripsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan hal yang biasa, maka akbitat yang akan timbul akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (egois). Tidak akan ada kerjasama (gotong royong) dan persaudaraan yang tulus.Korupsi juga membahayakan standar moral dan intelektual masyarakat.
2.      Bahaya korupsi terhadap generasi muda.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya mental generasi muda Indonesia. Dalam lingkungan yang beranggapan bahwa korupsi adalah makan sehari-harinya, anak akan tumbuh dengan pribadi yang antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal yang biasa, atau bahkan menganggapnya sebagai budayanya, sehingga perkembangan pribadinya menjadi orang yang terbiasa dengan sifat tidak bertanggungjawab dan tidak jujur. Jika generasi muda suatu bangsa keadaanya seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana nasib masa depan bangsa kita.

B.     Solusi Dari Permasalahan Daerah Otonom
Pada dasarnya korupsi bukan hanya tentang uang, harta, atau pun kekayaan, tetapi juga tentang kedisiplinan dan kejujuran. Orang yang memiliki sikap disiplin dan memiliki sifat jujur pastilah orang tersebut tidak akan melakukan tindakan korupsi. Di Indonesia, uang bukan satu-satunya yang menjadi objek korupsi, tetapi juga mengenai waktu. Waktu adalah hal yang paling dasar dari sebuah tindakan korupsi. Banyak orang yang tidak menyadari akan hal ini. Dari mulai usia anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan orang tua melakukan tindakan korupsi waktu. Korupsi waktu ini dimulai dengan tanda-tanda terlambatnya seseorang menepati janji, kemudian hal yang lebih besar lagi adalah mengingkari janji. Korupsi waktu ini sering dilakukan secara tidak sadar oleh siapapun. Namun korupsi waktu tidak merugikan orang banyak, tidak seperti halnya korupsi uang yang merugikan orang banyak, merugikan bangsa dan negara, serta merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, yaitu:
1.      Adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan partisipasi pengawasan dan pemberantasan korupsi
2.      Mengutamakan kepentingan nasional. Para koruptor lebih mengutamakan kepentingan keluarganya bahkan hanya mendapatkan keuntungan sendiri, tanpa melihat masyarakat yang meronta-ronta meminta kesejahteraan hidup.
3.      Penegak hukum harus berani memberikan sanksi terberat bagi pelaku korupsi. Penegak hukum tidak bertindak memihak hanya untuk kepentingan politik.
4.      Larangan menerima suap dari tersangka koruptor, dimana penegak hukum juga diberi sanksi apabila berani untuk menerima suap.
5.      Meskipun memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia seperti “menegakkan benang basah” namun untuk mewujudkan semua itu berasal dari kesadaran individu masing-masing.

C.    Hubungan Masalah Dengan Dimensi Sosial dalam otonomi daerah
1.      Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah yang dilakukan pemerintah daerah.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak terlepas dari adanya aktifitas dan partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat daerah merupakan bagian yang sangat penting dari sistem pemerintah daerah, karena penyelenggaraan otonomi daerah digunakan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat adalah adanya sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari uraian diatas dapat digambarkan oleh ilmu sosiologi sosial yaitu ilmu yang mempelajari segala aktifitas dari masyarakat. Namun yang terjadi masyarakat kurang berperan aktif dan mendukung dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan hanya mengikuti yang diperintahkan atau hanya berperan pasif.

2.      Kewenangan yang dilaksanakan oleh daerah otonom untuk mengatur keungan daerahnya.
Tujuan utama pembentukan daerah otonom ialah memberikan kemandirian kepada daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran wilayah ternyata memunculkan kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasai sekumpulan elite di daerah. Mayoritas dana yang seharusnya dikelola daerah untuk kesejahteraan masyarakat habis untuk anggaran belanja rutin pegawai. Dengan pendekatan ilmu ekonomi pemerintah dapat mengatur keuangan daerah yang harus digunakan secara efektif dan efisien, agar kehidupan masyarakat menjadi sejahtera.

3.      Perkembangan pelaksanaan otonomi daerah dari awal sampai sekarang.
Awalnya pemerintahan di Indonesia hanya mengatur rumah tangga pada daerahnya saja, kemudian berkembang dalam pemerintahan umum dan sekarang telah berkembang system pemerintahan yang dilaksanakan pada tiap-tiap daerah, sehingga disebut otonomi daerah. Dalam hal ini ilmu sejarah yang berperan dalam menjelaskan ulang kejadian yang masa lalu mengenai otonomi daerah dan membandingkan pelaksanaan kekuasaan yang sudah diterapkan.

D.    Pemecahan Masalah Dengan Menggunakan Pendekatan Multidimensional
1.      Partisipasi masyarakat
Untuk mewujudkan rasa tanggung jawab masyarakat diatas adalah adanya sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang antara lain ditunjukan melalui partisipasi aktif anggota masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi Daerah.
2.      Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembuatan Keputusan
Setiap proses penyelenggaraan, terutama dalam kehidupan bersama masyarakat, pasti melewati tahap penentuan kebujaksanaan. Dalam rumusan yang lain adalah menyangkut pembuatan keputusan politik. Partisipasi masyarakat pada tahap ini sangat mendasar sekali, terutama karena “putusan politik” yang di ambil menyangkut nasib mereka secara keseluruhan.
3.      Partisipasi Dalam Pelaksanaan
Partisipasi ini merupakan tindak lanjut dari tahap pertama di atas. Dalam hal ini Uphoff menegaskan bahwa partisipasi dalam pembangunan ini dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi guna menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang material, ataupun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan.
Hal penting yang perlu diperhatikan di sini, kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan yang dimiliki setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri sudah terkategorikan ke dalam pengertian partisipasi.
4.      Partisipasi Dalam Memanfaatkan Hasil
Setiap usaha bersama manusia-pembangunan, misalnya bagaimanapun ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama anggota masyarakatnya. Oleh sebab itu, anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam menikmati setiap usaha bersama yang ada. Demikian pula halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan Daerah, rakyat/masyarakat Daerah harus dapat menikmati hasilnya secara adil.
Adil dalam pengertian di sini adalah setiap orang mendapatkan bagiannya sesuai dengan pengorbanannya dan menuntut norma-norma yang umum diterima. Sedangkan norma-norma yang dapat dijadikan ukuran, dapat berupa norma hukum (peraturan perundang-undangan), ataupun berupa nilai-nilai etika dan moral keagamaan.
5.      Partisipasi Dalam Evaluasi
Sudah umum disepakati bahwa setiap penyelenggaraan apapun dalam kehidupan bersama, hanya dapat dinilai berhasil apabila dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk mengetahui hal ini, sudah sepantasnya masyarakat diberi kesempatan menilai hasil yang telah dicapai. Demikian pula dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah, masyarakat dapat dijadikan sebagai “hakim” yang adildan jujur dalam menilai hasil yang ada.
Sikap ikut memelihara dan melestarikan hasil yang telah dicapai, dapat dilihat sebagai indikasi adanya dukungan positif anggota masyarakat terhadap apa yang dihasilkan. Karenanya, mudah diperkirakan hal tersebut sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya sikap apatisme dan tak adanya perasaan ikut memiliki, merupakan indikasi bahwa apa yang diselenggarakanbelum sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dan ini tentunya berguna sekali dalam penyusunan kegiatan berikutnya.

E.     Permasalahan Pengaturan Keuangan Daerah
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan Daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, penyelenggaraan urusan rumah tangganya, Daerah membutuhkan dana atau uang.
Sebagai alat pengukur, penukar dan penabung, uang menduduki posisi yang sangat penting dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Daerah. Keadaan keuangan Daerahlah yang sangat menentuksn corak, bentuk, serta kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya Daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini Daerah dapat memperolehnya melalui beberapa cara :
1. Hasil pajak Daerah
2. Hasil retribusi Daerah
3. Hasil perusahaan Daerah
4. Hasil usaha Daerah yang sah
5. Hasil dinas Daerah

F.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
            Rentang birokrasi terlampau panjang dan berbelit-belit yang bersumber dari kalangan birokrat, akan menghambat kinerja birokrasi.
            Birokrasi meruzpakan struktur organisasi di sektor pemerintahan yang memiliki ruang lingkup tugas sangat luas serta memerlukan organisasi besar dengan Sumber Daya Manusia yang besar pula jumlahnya.
            Dalam kenyataan, birokrasi adalah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan pelayanan umum. Birokrasi seringkali diartikan oleh masyarakat dalam konotasi yang berbeda-beda. Birokrasi seolah-olah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan kepada aparatur, kinerja birokrasi dipandang sebagai penghambat.
            Kesan umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala sesuatu yang serba lamban, lambat, dan berbelit-belit serta formalitas. Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatka hambatan yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, kalau kita memahami kinerja birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih teratur, dan lebih tertib, sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan.
            Arus otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi, dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian kesan awal mulai berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang dirasakan mempunyai fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi suatu kenyataan yang bersifat imperatif.
            Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan yang semakin kompleks serta pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin baik pula, dalam pelaksanaan otonomi daerah.
            Birokrasi yang berada ditengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan pelayanan tersebut :
1.      Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2.      Penyempurnaan organisasi, efisiensi, efektif dan profesional.
3.      Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat.
Birokrasi modern tidak lagi berpikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang diperoleh dari hasilnya. Pendekatan ini akan mengubah pola pembiayaan secara lebih efisien serta memungkinkan untuk mengukur produktivitas kerja birokrasi atau kinerja birokrasi.
Birokrasi menurut Prof.Drs.HAW.Widjaja (2005) pada hakikatnya mengandung makna pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam hubungan kerja yang berjenjang serta mempunyai prosedur kerja yang terususun jelas dalam satu tatanan organisasi, seperti halnya organisasi pemerintahan daerah.
Dalam kinerja birokrasi seolah-olah memberikan kesan adanya proses panjang yang berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparatur/birokrat. Atau kinerja birokrasi mendasarkan diri pada “birokrasi kumis” atau “birokrasi belah bambu”.
Tugas utama sebagai  birokrat adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintah, tidak lagi hanya semata-mata  melakukan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi juga memberikan dorongan dan motivator bagi berkembang tumbuhnya peran serta masyarakat. Birokrasi yang berada ditengah-tengah mayarakat dinamis tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan kinerja birokrasi bagi pelayanan masyarakat sesuai dengan kebutuhan.
Otonomi Daerah tidak saja berjalan secara mekanis prosedural, akan tetapi didalamnya terkandung pula nilai-nilai budaya setempat. Dalam kinerja birokrasi budaya setempat juga harus dikembangkan diseluruh jajaran dan tingkatan pemerintah daerah, sehingga budaya setempat ini melayani kepentingan masyarakat.
Kinerja birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah banyak menghadapi tantangan. Para birokrat pada umumnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sering dihadapkan pada benturan-benturan yang kadang-kadang tanpa disadari oleh pertimbangan-pertimbangan yang sering merugikan pihak lain. Kondisi yang seperti ini jelas akan mengakibatkan kinerja birokrasi kurang menguntungkan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Menilik peran penting birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan adanya berbagai masalah kinerja dari birokrasi, itu semua merupakan masalah urgen untuk mendapat perhatian. Berhasil atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah akan dipengaruhi oleh baik atau buruknya kinerja birokrasi. Oleh karena itu, penguatan sistem birokrasi dan pemerintah, khususnya birokrasi dan pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak (avant garde) dalam penyelenggaraan otonomi daerah, menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Menurut Akbar Silo (2005) apabila dikaji secara mendalam, ada banyak faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Perhatianpun tersedot ke program restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera mengadopsi PP tersebut dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.
Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas disertai dana yang cukup, daripada mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.
Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada, pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuan.
Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi, mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.
Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur antara lain dapat diuraikan sebagai berikut,
1.      Human resource planning. Perencanaan sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang efektif dan efisien.
2.      Recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki.
3.      Compensation and benefits. Maksudnya adalah adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi jiwa, dan sebagainya.
4.      Performance evaluation. Fungsi manajemen ini adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya. Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai.
5.      Human resource development. Progam pelatihan dan pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal. Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya akan lebih terbuka.
6.      Career development. Pengembangan karir dapat dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi.
7.      Rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka. Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.
8.      Employee management relations. Fungsi ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi senantiasa terjaga dengan baik.
Prinsip-prinsip utama dalam manajemen sumber daya manusia sebagaimana diuraikan di atas masih selama ini lebih banyak diimplementasikan pada organisasi non pemerintah khususnya yang berorientasi financial profit. Adanya anggapan bahwa aspek kapabilitas, dedikasi, loyalitas, ketaatan, prakarsa, kepatuhan, skill dan sebagainya merupakan sesuatu yang secara otomatis sudah ada dan melekat pada diri pegawai pemerintah, menjadi kendala tersendiri dalam implementasi manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.
Ketika pegawai diambil sumpahnya atau pada saat mengucapkan ikrar-ikrar lainnya seperti Panca Prasetya Korpri seolah-olah diyakini bahwa aspek-aspek tersebut di atas otomatis ada dan melekat pada diri sang pegawai. Padahal realitas menunjukkan bahwa masih banyak pegawai tidak dalam kapasitas ideal. Bisa jadi hal tersebut disebabkan akibat proses seleksi yang dilakukan belum pas, belum didasarkan pada analisa kebutuhan yang tepat.
Atau mungkin juga karena program pendidikan dan pelatihan yang dirancang dan diikuti tidak secara khusus didesain guna meningkatkan dan memperkuat kapasitas mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala serius dalam penerapan prinsip-prinsip utama manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.
Meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan mengadopsi prinsip-prinsip good governance pada birokrasi pemerintah, yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya.
Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebut-sebut telah diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal ditandai dengan penandatanganan kesepakatan tentang good governance. Namun sampai saat ini hal tersebut belum terlalu terlihat outputnya. Good governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua, melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang diuraikan di atas.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor penggerak roda pemerintahan. Keberhasilan atau keagagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya aparatur. Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumber daya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang berkualitas.
Membangun birokrasi yang efisien tetapi sekaligus berorientasi ke pasar merupakan kata kunci dalam konteks otonomi daerah, sehingga daerah bersangkutan memiliki daya saing tinggi. Ini tugas bersama untuk membenahi semua permasalahan di atas, yang antara lain adalah dengan upaya menerapkan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia sebagaimana secara profesional untuk mewujudkan sumber daya manusia birokrasi yang profesional pula.







BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Otonomi daerah sebagaimana mestinya tidak boleh dilakukan praktek kecurangan dalam pelaksanaannya di daerah, karena jika terus-menerus berlanjut yang ada malah daerah tersebut tidak akan bisa maju atau pun bersaing dengan daerah lainnya, karena hak-hak yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak dimanfaatkan dengan baik atau bisa dikatakan ludes ditangan para pejabat yang korup dan licik. Sehingga manfaatnya tidak dirasakan masyarakat otonom dengan maksimal.
Realisasi otonomi daerah memakan waktu yang panjang dan berproses,di dalam proses ini sudah tentu terdapat banyak kendala, hambatan, rintangan, tantangan dan halangan di dalam pelaksanaannya dengan kata lain pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan masih belum optimal.
Belum maksimal atau optimalnya pelaksanaan otonomi daerah itu di landasi beberapa faktor yang menghambat kelancaran proses tersebut mulai dari masalah penyelewengan, pengawasan yang buruk serta kualitas sumber daya manusianya.

B.     Saran
            Melihat dan mencermati kesimpulan yang saya sampaikan di atas  maka dapat saya berikan beberapa saran untuk lebih efektifnya pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah daerah harus lebih bersinergi dengan pemerintah pusat agar lebih terjadi   keseimbangan di dalam pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah dalam segala bidang.
Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan otonomi atau birokrat daerah harus mengetahui peran dan fungsi mereka masing-masing sehingga tidak terjadi  kesalahan tugas dan fungsi masing-masing
Masyarakat dan seluruh stake holder yang terlibat dalam pelaksanaan otonomi daerah harus mengetahui dan lebih memahami maksud dan tujuan diselenggarakannya otonomi daerah di daerahnya masing-masing.
Saran dari penulis sebaiknya ada pengawasan langsung dan konsisten dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, agar tidak adanya penyimpangan yang akan merugikan daerah maupun negara.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Silo, Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam Rangka Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama UNDP dan UNCEN.
Thoha,  Miftah . 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia.  Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Widjaja, A. W . 2005 . Penyelenggaraan Otonomi  daerah di Indonesia.  Palembang : Rajawali Pers.
Widjaja, A.W . 2002 . Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.  Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

Makalah 10 Tantangan Masa Depan (Administrasi Pembangunan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seperti yang apat disaksikan dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan besar menyangkut aktivitas kehidupan manusia. Perkembangan dan perubahan aktivitas manusia dan masyarakat suatu negara menuntut Pemerintah suatu negara untuk memiliki kualitas dan kemampuan mengatur dan melayani kebutuhan, harapan dan tuntutan yang semakin lama semakin kritis dan semakin besar dan kompleks. Sejalan dengan perkembangan tersebut, dimana negara negara di dunia semakin menglobal seolah tanpa batas menyebabkan administrasi negara harus mampu untuk dapat mengimbangi berbagai tuntutan dan kebutuhan untuk mengatasi dan mengantisipasi perubahan yang sangat cepat tersebut. Tidak hanya peningkatan aspek praktis yang perlu diperhatikan, tetapi hal yang berkaitan dengan aspek teoritis dan ilmiah perlu juga mengadaptasi perhatian. Berkaitan dengan persoala...