BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendirisesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dari penegertiam tersebut tampak bahwa daerah di beri hak otonom
oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingna sendiri.
Seiring dengan dimulainya era reformasi pada tahun 1998, telah memberikan
harapan bagi perubahan menuju perbaikan di segala bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara, termasuk dalam hal ini adalah perubahan dalam bidang
pemerintahanan khususnya dari aspek pelayanan oleh pemerintah. Pemerintah
disini diartikan sebagai organisasi publik, yakni organisasi yang fungsi
utamanya adalah memberikan pelayanan kepada warga masyarakat.
Perubahan yang
terjadi pada era reformasi ini merupakan tuntutan perkembangan dan dinamisasi
kehidupan masyarakat. Sutiono dan Sulistiyani (2004) mengemukakan tiga alasan
penting yang mendorong birokrasi di Indonesia sejak era reformasi pada tahun
1998 harus melakukan pembenahan. Ketiga faktor yang dimaksud adalah faktor
reformasi politik, globalisasi ekonomi dan otonomi daerah.
Khusus otonomi daerah, disamping menimbulkan harapan sekaligus menjadi
tantangan bagi birokrasi pemerintahan. Tantangan terberat yang harus dihadapi
adalah perubahan perilaku birokrasi itu sendiri, terutama perubahan dari
pelaksanaan menjadi pengambil inisiatif. Hal ini menuntut kesiapan SDM di
daerah-daerah yang lebih baik.Tuntutan masyarakat saat ini menghendaki
birokrasi lebih profesional, netral dan menjadi abdi negara dan abdi masyarakat
dengan mengutamakan pada pelayanan umum dan pemberdayaan masyarakat.
Pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi hingga saat ini dirasakan
oleh masyarakat umumnya masih belum memuaskan. Penyebab dari keadaan seperti
ini disinyalir oleh Ariani (2004) sebagaimana dikemukakan oleh McCormick dan
Tiffin dikarenakan dua variable yang mempengaruhi birokrasi. Pertama adalah
variabel lingkungan jabatan, termasuk di dalamnya sarana dan prasarana kerja, teknologi
dan manajemen. Adapun yang kedua adalah variabel individual, termasuk di
dalamnya gaya manajemen, motif prestasi kerja, dan keterampilan. Jika dilihat
dari masing-masing variabel tersebut, variabel pertama yang menyangkut sarana
dan prasarana kerja kondisinya jauh dari mencukupi, sementara variabel kedua
menyangkut individu pegawai negri itu sendiri, maka kualitasnya belumlah
memuaskan.
Sementara Sutiono dan Sulistiyani (2004) melihat persoalan kurangnya
kinerja aparat dalam memberikan pelayanan, berdasarkan pendapat Darwin (1996)
disebabkan masih adanya inefisiensi pada tubuh birokrasi itu sendiri
yang ditandai dengan adanya beberapa kecenderungan. Kecenderungan tersebut
antara lain (1) tingginya tingkat birokrasi, terutama jika dilihat dari
pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur birokrasi; (2)
berkembangnya red-tape dalam pelayanan publik; (3) rendahnya kualitas
atau profesionalisme aparatur pemerintah; (4) produktivitas dan disiplin kerja
pegawai negri yang masih rendah; (5) masih meluasnya berbagai macam praktek
maladministrasi dikalangan aparatur pemerintah.
Dalam rangka penataan pemerintahan daerah sekaligus untuk memperbaiki
kondisi birokrasi dan kualitas pelayanan, pemerintah telah menerapkan
pemberlakuan UU otonomi daerah. Terakhir adalah revisi atas UU Nomor 22 tahun
1999 menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penerapan otonomi daerah telah pula
membawa perubahan yang cukup mendasar. Otonomi daerah dimaksudkan untuk
mendekatkan pelayanan birokrasi pemerintah kepada masyarakat, sehingga tercipta
birokrasi yang efektif dan efisien serta dapat menekan ekonomi biaya tinggi
yang di tanggung masyarakat.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menjadi
paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir. Hal
ini terlihat dari langkah-langkah pemerintah dengan menerbitkan beberapa
kebijakan khusus serta perangkat lunak yang mendorong terciptanya kualitas
pelayanan yang lebih baik di daerah. Dalam tulisannya, Purbokusumo (2005)
menengarai masih tetap berjalannya praktek buruk terhadap jalannya birokrasi
pada saat desentralisasi atau otonomi daerah. Ia menyimpulkan bahwa apapun
bentuk desentralisasi , pelayanan di sektor publik yang dilakukan oleh
birokrasi publik tetap buruk. Kecenderungan sentralisasi menjadikan pelayanan
publik berbelit-belit , korup di tingkat pusat pemerintahan, dan boros.
Sementara ketika desentralisasi dilakukan secara radikal seperti di era
reformasi,pelayanan publik juga tidak semakin baik; korupsi merajalela ke
daerah (baik oleh eksekutif maupun legislatif), beban semakin berat dengan
variasi pajak dan retribusi daerah yang bertumpuk dan tumpang tindih, serta
birokrasi tetap berbelit-belit.
Disamping pendapat diatas, Wursanto ( 2008) menyatakan bahwa apabila
birokrasi itu baik maka segala urusan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi
dalam prakteknya banyak hal dan urusan tidak dapat berjalan seperti yang
diharapkan sehingga menimbulkan hambatan. Perlu diketahui bahwa hambatan itu
tidak disebabkan karena birokrasi, tetapi disebabkan karena birokrasi yang
tidak baik. Hambatan dalam birokrasi inilah yang memberikan gambaran negatif
terhadap birokrasi sehingga masih banyak orang yang mempunyai pengertian dan
pandangan yang keliru tentang birokrasi. Padahal birokrasi mempunyai peran yang
penting bagi setiap organisasi , baik organisasi pemerintah maupun swasta.
Selama ini pandangan negatif selalu dilekatkan pada birokrasi organisasi
publik. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa mengurus administratif serta
perijinan pada instansi penyelenggaraan pelayanan publik berbelit-belit,
memakan waktu lama dan mengeluarkan biaya tinggi. Dengan kata lain pelayanan
yang diterima tidak sesuai dengan harapan publik yakni cepat,mudah dan murah.
Dengan demikian maka pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban
untuk menciptakan sebuah model pelayanan publik yang lebih berkualitas untuk
memberikan pelayanan yang lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah secara adil
kepada segenap warga masyarakat atau warga negara.
Sejalan dengan di berlakukanya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata,dan bertanggung
jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antar pemerintah pusat dan
pemerintah daerahtersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki
penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai
untuk memikul tanggung jaawab penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan
demikian di harapkan masing-masing daerah akan dapat lebih
maju,mandiri,sejahtera dan kompetetif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun
pem,bangunan daerahnya masing-masing.
Memang harapan dan kenyataaan tidak aakn selau sejalan. Tujuan atau
harapan tentu akan berakhir baik biloa pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan juga berjalan baik. Namun ktidaktercapain harapan itu tampak nya
mulai terlihat dalam otonomi daerahyang ada di Indonesia. Masih banyak
permasalahan yang mengiring berjalanya otonomi daerah di Indonesia.
Pada makalah ini
sengaja penyusun membuat judul “Otonomi daerah dan Permasalahnya di Indonesia”
kareana dengan begitu diharapkan para pembaca mengerti tentang
masalah-masalah yang di hadapi oleh daerah otonom.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?
2.
Apa saja manfaat dari Otonomi Daerah?
3.
Apa saja tujuan dari adanya Otonomi Daerah?
4.
Apa saja permasalahan yang dihadapi daerah
otonom?
5.
Apa solusi yang dilakukan untuk menjawab
permasalahan tersebut?
6.
Bagaimana Kinerja Birokrasi dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah?
C. Tujuan Penulisan
1.
Agar mengetahui apa itu otonomi
daerah.
2.
Agar mengetahui apa manfaat dari otonomi daerah.
3.
Agar mengetahui apa tujuan dari otonomi daerah.
4.
Agar mengetahui apa saja permasalahan yang
dihadapi daerah otonom.
5.
Agar mengetahui solusi apa yang perlu dilakukan
untuk menjawab permasalahan tersebut.
6.
Agar mengetahui Kinerja Birokrasi dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Otonomi Daerah
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Secara harafiah, otonomi daerah berasal dari kata otonomi
dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari
kata autos dan namos. Autos berarti sendiri
dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri kewenang untuk mengatur sendiri atau
kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri.
Menurut Philip Mahwood, otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah
yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberdayaannya terpsah dengan otoritas
yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasiakn sumber material yang
bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda.
Menurut Mariun, otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) yang
dimiliki oleh pemerintah derah yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatid
sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki
oleh daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kemudian menurut Vincent Lemius, otonomi daerah adalah kebebasan
(kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupu
administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimana otonomi daerah
terdapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa
yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut
senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah
diatur dalam perundang-undangan yang lebih tinggi.
B. Manfaat Otonomi Daerah
Adapun manfaat
otonomi daerah bagi pemerintah sebagai berikut :
1.
Mengurangi beban pemerintah pusat.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka semua pengambilan keputusan
tidak lagi berada di pusat, pemerintah daerah dapat menganalisa, meneliti dan
menentukan aturan-aturan tertentu yang benar-benar pas dengan daerahnya
sendiri.
2.
Membangun persaingan yang sehat.
Manfaat otonomi daerah selanjutnya adalah mampu membangun persaingan yang
sehat antara daerah karena adanya motivasi untuk menampilkan kelebihan yang
dimiliki daerahnya masing-masing, ini merupakan suatu persaingan yang sangat
positif.
3.
Memberdayakan masyarakat.
Manfaat otonomi daerah yang ketiga adalah meningkatkan pemberdayaan
lembaga kemasyarakatan didaerah, otonomi daerah akan melibatkan semua elemen
kemasyarakatan didaerah, otonomi daerah akan melibatkan semua elemen masyarakat
sehingga daya kreasi dan invasi masyarakat didaerah semakin meningkat dan
tentunya hal ini akan berdampak baik bagi pemerintahan.
4.
Kebijkan yang lebih tepat sasaran.
Tentunya masalah setiap daerah berbeda-beda tentunya juga memiliki solusi
yang berbeda pula, dimana dengan diterapkannya otonomi daerah akan memberikan
ruang yang luas bagi pemerintah setempat untuk membentuk kebijakan yang
benar-benar sesuai dan tepat sasaran, sehingga masyarakat akan lebih cepat
merasakan dampak dari kebijakan tersbut.
5.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Manfaat otonomi daerah yang terakhir adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, aturan yang pas dengan
keadaan yang akan membangun perekonomian yang baik.
Manfaat otonomi daerah bagi pemerintah daerah adalah :
1.
Pelaksanaan dapat dilakukan sesuai dengan
kepentingan Masyarakat di Daerah yang bersifat heterogen.
2.
Memotong jalur birokrasi yang rumit serta
prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
3.
Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan
lebih realistik.
4.
Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya
"penetrasi" yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi Daerah-Daerah
yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana
pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite
lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
5.
Representasi yang lebih luas dari berbagai
kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang
kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan
investasi pemerintah.
6.
Peluang bagi pemerintahan serta lembaga privat
dan masyarakat di Daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7.
Dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di
Pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di Pusat menjalankan tugas rutin karena
hal itu dapat diserahkan kepada pejabat Daerah.
8.
Dapat menyediakan struktur di mana berbagai
departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat
Daerah dan sejumlah NGOs di berbagai Daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota
dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
9.
Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan
diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
implementasi program.
10. Dapat
meningkatkan pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite
lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan
tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11. Administrasi
pemerintahan menjadi mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Kalau mereka
berhasil maka dapat dicontoh oleh Daerah yang lainnya.
12. Memungkinkan
pemimpin di Daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif, mengintegrasikan
daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi
proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di
Pusat.
13. Memantapkan
stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada
berbagai kelompok masyarakat di Daerah untuk berpartisipasi secara langsung
dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan
kepentingan mereka di dalam memelihara system politik.
14. Meningkatkan
penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah,
karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah Pusat karena sudah
diserahkan kepada Daerah.
C. Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan dari otonomi daerah di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Meningkatkan pelayanan umum
Dengan otonomi daerah diharapkan pelayanan umum lembaga pemerintah di
masing-masing daerah dapat ditekankan pelayanan yang maksimal. Dengan pelayanan
yang maksimal diharapkan masyarakat merasakan secara langsung manfaat otonomi
daerah
2.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan pelayanan yang memadai diharapkan kesejahteraan masyarakat pada
daerah otonomi bisa dipercepat. Tingkat kesejahteraan masyarakat menunjukkan
bagaimana daerah otonom bisa menggunakan hak dan wewenangnya secara bijak dan
tepat sasaran.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Yang Dihadapi Daerah Otonom
Permasalahan yang sangat mendasar dan tidak habis-habisnya yang ada di
Indonesia adalah korupsi. Korupsi sangat jelas telah merugikan keuangan negara.
Akibatnya, keuangan negara yang seharusnya lebih banyak dipergunakan untuk
kepentingan rakyat menjadi semakin berkurang. Anggaran keuangan negara melalui
APBN, yang dari tahun ke tahun masih sangat terbatas menjadi semakin terbatas
kemampuannya saat dana itu banyak dikorupsi.
Hal yang paling dirasakan oleh rakyat adalah kemampuan negara semakin
terbatas dalam hal menyediakan anggaran demi kepentingan rakyat, khususnya yang
dirasakan secara langsung. Antara lain, adalah perbaikan infrastruktur,
pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan transportasi dan pelayanan
masalah kesejahteraan rakyat yang lainnya, seperti penanganan bencana, bantuan
bagi keluarga miskin dan anak terlantar, dll.
Menurut saya hal ini sebaiknya segera untuk diatasi secara serius dan
konsesten karena akan sangat berdampak pada :
1.
Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu
Jika praktek koripsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan hal yang
biasa, maka akbitat yang akan timbul akan menjadikan masyarakat tersebut
sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku
dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri
sendiri (egois). Tidak akan ada kerjasama (gotong royong) dan persaudaraan yang
tulus.Korupsi juga membahayakan standar moral dan intelektual masyarakat.
2.
Bahaya korupsi terhadap generasi muda.
Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka
panjang adalah rusaknya mental generasi muda Indonesia. Dalam lingkungan yang
beranggapan bahwa korupsi adalah makan sehari-harinya, anak akan tumbuh dengan
pribadi yang antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa
korupsi sebagai hal yang biasa, atau bahkan menganggapnya sebagai budayanya,
sehingga perkembangan pribadinya menjadi orang yang terbiasa dengan sifat tidak
bertanggungjawab dan tidak jujur. Jika generasi muda suatu bangsa keadaanya
seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana nasib masa depan bangsa kita.
B. Solusi Dari Permasalahan Daerah Otonom
Pada dasarnya korupsi bukan hanya tentang uang, harta, atau pun kekayaan,
tetapi juga tentang kedisiplinan dan kejujuran. Orang yang memiliki sikap
disiplin dan memiliki sifat jujur pastilah orang tersebut tidak akan melakukan
tindakan korupsi. Di Indonesia, uang bukan satu-satunya yang menjadi objek
korupsi, tetapi juga mengenai waktu. Waktu adalah hal yang paling dasar dari
sebuah tindakan korupsi. Banyak orang yang tidak menyadari akan hal ini. Dari
mulai usia anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan orang tua melakukan tindakan
korupsi waktu. Korupsi waktu ini dimulai dengan tanda-tanda terlambatnya
seseorang menepati janji, kemudian hal yang lebih besar lagi adalah mengingkari
janji. Korupsi waktu ini sering dilakukan secara tidak sadar oleh siapapun.
Namun korupsi waktu tidak merugikan orang banyak, tidak seperti halnya korupsi
uang yang merugikan orang banyak, merugikan bangsa dan negara, serta merusak
sendi-sendi kebersamaan bangsa.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah korupsi di
Indonesia, yaitu:
1.
Adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan
partisipasi pengawasan dan pemberantasan korupsi
2.
Mengutamakan kepentingan nasional. Para koruptor
lebih mengutamakan kepentingan keluarganya bahkan hanya mendapatkan keuntungan
sendiri, tanpa melihat masyarakat yang meronta-ronta meminta kesejahteraan
hidup.
3.
Penegak hukum harus berani memberikan sanksi
terberat bagi pelaku korupsi. Penegak hukum tidak bertindak memihak hanya untuk
kepentingan politik.
4.
Larangan menerima suap dari tersangka koruptor,
dimana penegak hukum juga diberi sanksi apabila berani untuk menerima suap.
5.
Meskipun memberantas korupsi yang sudah
merajalela di Indonesia seperti “menegakkan benang basah” namun untuk
mewujudkan semua itu berasal dari kesadaran individu masing-masing.
C. Hubungan Masalah Dengan Dimensi Sosial dalam
otonomi daerah
1.
Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah yang dilakukan pemerintah daerah.
Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tidak terlepas dari adanya
aktifitas dan partisipasi aktif dari masyarakat. Masyarakat daerah merupakan
bagian yang sangat penting dari sistem pemerintah daerah, karena
penyelenggaraan otonomi daerah digunakan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih
sejahtera. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat adalah adanya
sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari uraian
diatas dapat digambarkan oleh ilmu sosiologi sosial yaitu ilmu yang mempelajari
segala aktifitas dari masyarakat. Namun yang terjadi masyarakat kurang berperan
aktif dan mendukung dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan hanya mengikuti
yang diperintahkan atau hanya berperan pasif.
2.
Kewenangan yang dilaksanakan oleh daerah otonom
untuk mengatur keungan daerahnya.
Tujuan utama pembentukan daerah otonom ialah memberikan kemandirian
kepada daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri dan mampu membangun
pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Proses pemekaran
wilayah ternyata memunculkan kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasai sekumpulan
elite di daerah. Mayoritas dana yang seharusnya dikelola daerah untuk
kesejahteraan masyarakat habis untuk anggaran belanja rutin pegawai. Dengan
pendekatan ilmu ekonomi pemerintah dapat mengatur keuangan daerah yang harus
digunakan secara efektif dan efisien, agar kehidupan masyarakat menjadi
sejahtera.
3.
Perkembangan pelaksanaan otonomi daerah dari
awal sampai sekarang.
Awalnya pemerintahan di Indonesia hanya mengatur rumah tangga pada
daerahnya saja, kemudian berkembang dalam pemerintahan umum dan sekarang telah
berkembang system pemerintahan yang dilaksanakan pada tiap-tiap daerah,
sehingga disebut otonomi daerah. Dalam hal ini ilmu sejarah yang berperan dalam
menjelaskan ulang kejadian yang masa lalu mengenai otonomi daerah dan
membandingkan pelaksanaan kekuasaan yang sudah diterapkan.
D. Pemecahan Masalah Dengan Menggunakan
Pendekatan Multidimensional
1.
Partisipasi masyarakat
Untuk mewujudkan rasa tanggung jawab masyarakat diatas adalah adanya
sikap mendukung terhadap penyelenggaraan pemerintahan Daerah yang antara lain
ditunjukan melalui partisipasi aktif anggota masyarakat dalam penyelenggaraan
otonomi Daerah.
2.
Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembuatan
Keputusan
Setiap proses penyelenggaraan, terutama dalam kehidupan bersama
masyarakat, pasti melewati tahap penentuan kebujaksanaan. Dalam rumusan yang
lain adalah menyangkut pembuatan keputusan politik. Partisipasi masyarakat pada
tahap ini sangat mendasar sekali, terutama karena “putusan politik” yang di
ambil menyangkut nasib mereka secara keseluruhan.
3.
Partisipasi Dalam Pelaksanaan
Partisipasi ini merupakan tindak lanjut dari tahap pertama di atas. Dalam
hal ini Uphoff menegaskan bahwa partisipasi dalam pembangunan ini dapat
dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberikan kontribusi guna
menunjang pelaksanaan pembangunan yang berwujud tenaga, uang, barang material,
ataupun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan.
Hal penting yang perlu diperhatikan di sini, kesediaan untuk membantu
berhasilnya setiap program sesuai kemampuan yang dimiliki setiap orang tanpa
berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri sudah terkategorikan ke dalam
pengertian partisipasi.
4.
Partisipasi Dalam Memanfaatkan Hasil
Setiap usaha bersama manusia-pembangunan, misalnya bagaimanapun ditujukan
untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama anggota masyarakatnya. Oleh sebab
itu, anggota masyarakat berhak untuk berpartisipasi dalam menikmati setiap
usaha bersama yang ada. Demikian pula halnya dengan penyelenggaraan
pemerintahan Daerah, rakyat/masyarakat Daerah harus dapat menikmati hasilnya
secara adil.
Adil dalam pengertian di sini adalah setiap orang mendapatkan bagiannya
sesuai dengan pengorbanannya dan menuntut norma-norma yang umum diterima.
Sedangkan norma-norma yang dapat dijadikan ukuran, dapat berupa norma hukum
(peraturan perundang-undangan), ataupun berupa nilai-nilai etika dan moral
keagamaan.
5.
Partisipasi Dalam Evaluasi
Sudah umum disepakati bahwa setiap penyelenggaraan apapun dalam kehidupan
bersama, hanya dapat dinilai berhasil apabila dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Untuk mengetahui hal ini, sudah sepantasnya masyarakat diberi
kesempatan menilai hasil yang telah dicapai. Demikian pula dalam
penyelenggaraan pemerintahan Daerah, masyarakat dapat dijadikan sebagai “hakim”
yang adildan jujur dalam menilai hasil yang ada.
Sikap ikut memelihara dan melestarikan hasil yang telah dicapai, dapat
dilihat sebagai indikasi adanya dukungan positif anggota masyarakat terhadap apa
yang dihasilkan. Karenanya, mudah diperkirakan hal tersebut sesuai dengan
kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya sikap apatisme dan tak adanya
perasaan ikut memiliki, merupakan indikasi bahwa apa yang diselenggarakanbelum
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dan ini tentunya berguna sekali dalam
penyusunan kegiatan berikutnya.
E. Permasalahan Pengaturan Keuangan Daerah
Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan
Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan
self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan
merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan Daerah dalam
melaksanakan otonominya. Ini berarti, penyelenggaraan urusan rumah tangganya,
Daerah membutuhkan dana atau uang.
Sebagai alat pengukur, penukar dan penabung, uang menduduki posisi yang
sangat penting dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Daerah. Keadaan
keuangan Daerahlah yang sangat menentuksn corak, bentuk, serta
kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya Daerah
membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini Daerah dapat
memperolehnya melalui beberapa cara :
1. Hasil pajak
Daerah
2. Hasil retribusi
Daerah
3. Hasil
perusahaan Daerah
4. Hasil usaha
Daerah yang sah
5. Hasil dinas
Daerah
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Rentang
birokrasi terlampau panjang dan berbelit-belit yang bersumber dari kalangan
birokrat, akan menghambat kinerja birokrasi.
Birokrasi
meruzpakan struktur organisasi di sektor pemerintahan yang memiliki ruang
lingkup tugas sangat luas serta memerlukan organisasi besar dengan Sumber Daya
Manusia yang besar pula jumlahnya.
Dalam
kenyataan, birokrasi adalah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dan pelayanan umum. Birokrasi seringkali diartikan oleh masyarakat
dalam konotasi yang berbeda-beda. Birokrasi seolah-olah memberi kesan adanya
suatu proses panjang yang berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan
suatu urusan kepada aparatur, kinerja birokrasi dipandang sebagai penghambat.
Kesan
umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan
segala sesuatu yang serba lamban, lambat, dan berbelit-belit serta formalitas.
Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatka hambatan yang
memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, kalau kita
memahami kinerja birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih teratur, dan
lebih tertib, sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan.
Arus
otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi, dalam rangka
mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian kesan awal mulai
berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang dirasakan mempunyai
fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi suatu kenyataan yang
bersifat imperatif.
Masyarakat
yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan
tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakat dan
perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan yang semakin kompleks serta pelayanan
yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin
baik pula, dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Birokrasi
yang berada ditengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal
diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai kebutuhan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
Dalam hal ini
perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan
pelayanan tersebut :
1.
Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada
pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2.
Penyempurnaan organisasi, efisiensi, efektif dan
profesional.
3.
Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan
akurat.
Birokrasi modern tidak lagi berpikir bagaimana membelanjakan dana yang
tersedia dalam anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa
yang diperoleh dari hasilnya. Pendekatan ini akan mengubah pola pembiayaan
secara lebih efisien serta memungkinkan untuk mengukur produktivitas kerja
birokrasi atau kinerja birokrasi.
Birokrasi
menurut Prof.Drs.HAW.Widjaja (2005) pada hakikatnya mengandung makna
pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam hubungan kerja yang
berjenjang serta mempunyai prosedur kerja yang terususun jelas dalam satu
tatanan organisasi, seperti halnya organisasi pemerintahan daerah.
Dalam kinerja birokrasi seolah-olah memberikan kesan adanya proses
panjang yang berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan
dengan aparatur/birokrat. Atau kinerja birokrasi mendasarkan diri pada
“birokrasi kumis” atau “birokrasi belah bambu”.
Tugas utama sebagai birokrat adalah memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi
pemerintah, tidak lagi hanya semata-mata melakukan kebutuhan
pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi juga memberikan dorongan dan motivator
bagi berkembang tumbuhnya peran serta masyarakat. Birokrasi yang berada
ditengah-tengah mayarakat dinamis tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu
memberikan kinerja birokrasi bagi pelayanan masyarakat sesuai dengan kebutuhan.
Otonomi Daerah tidak saja berjalan secara mekanis prosedural, akan tetapi
didalamnya terkandung pula nilai-nilai budaya setempat. Dalam kinerja birokrasi
budaya setempat juga harus dikembangkan diseluruh jajaran dan tingkatan
pemerintah daerah, sehingga budaya setempat ini melayani kepentingan
masyarakat.
Kinerja birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah banyak menghadapi
tantangan. Para birokrat pada umumnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sering
dihadapkan pada benturan-benturan yang kadang-kadang tanpa disadari oleh
pertimbangan-pertimbangan yang sering merugikan pihak lain. Kondisi yang
seperti ini jelas akan mengakibatkan kinerja birokrasi kurang menguntungkan,
khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Menilik peran penting birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan
adanya berbagai masalah kinerja dari birokrasi, itu semua merupakan masalah
urgen untuk mendapat perhatian. Berhasil atau gagalnya pelaksanaan otonomi
daerah akan dipengaruhi oleh baik atau buruknya kinerja birokrasi. Oleh karena
itu, penguatan sistem birokrasi dan pemerintah, khususnya birokrasi dan
pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak (avant garde) dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, menjadi suatu keharusan yang tidak dapat
dihindarkan lagi.
Menurut Akbar Silo (2005) apabila dikaji secara mendalam, ada banyak
faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung
pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai
daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No.
8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah
untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya
kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan
para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan
adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan
alasan efektifitas dan efisiensi. Perhatianpun tersedot ke program
restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang
telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi
lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk
memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah
daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera mengadopsi PP tersebut
dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam
pembangunan sumber daya manusia di daerah.
Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan
struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya
kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah
pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang
sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan
juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi yang
membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan
dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di
daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas
disertai dana yang cukup, daripada mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini
tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber
daya manusia di daerah.
Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk
melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa
dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada,
pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan
pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini
penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting.
Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang
melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat
mencapai tujuan.
Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah
rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian
balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja.
Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002) mengemukakan bahwa manajemen
sumber daya manusia adalah serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya
memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi,
mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu
ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.
Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur
antara lain dapat diuraikan sebagai berikut,
1.
Human resource planning. Perencanaan sumber daya
manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia.
Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya
manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang
efektif dan efisien.
2.
Recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah
organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan
refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam
pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya
manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang
pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok
dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki.
3.
Compensation and benefits. Maksudnya adalah
adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk
organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin
mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola
sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional
atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di
luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya
juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi
jiwa, dan sebagainya.
4.
Performance evaluation. Fungsi manajemen ini
adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan
tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya.
Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu
mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai.
5.
Human resource development. Progam pelatihan dan
pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan
karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam
mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal.
Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan
memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya
akan lebih terbuka.
6.
Career development. Pengembangan karir dapat
dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking
yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program
pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping
cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti
kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih
sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu
mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki
kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi.
7.
Rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini
adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial
kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka.
Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai
terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka
terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan
Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.
8.
Employee management relations. Fungsi ini
merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para
pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan
kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak
bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi
menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi
senantiasa terjaga dengan baik.
Prinsip-prinsip utama dalam manajemen sumber daya manusia sebagaimana
diuraikan di atas masih selama ini lebih banyak diimplementasikan pada
organisasi non pemerintah khususnya yang berorientasi financial profit. Adanya
anggapan bahwa aspek kapabilitas, dedikasi, loyalitas, ketaatan, prakarsa,
kepatuhan, skill dan sebagainya merupakan sesuatu yang secara otomatis sudah
ada dan melekat pada diri pegawai pemerintah, menjadi kendala tersendiri dalam
implementasi manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.
Ketika pegawai diambil sumpahnya atau pada saat mengucapkan ikrar-ikrar
lainnya seperti Panca Prasetya Korpri seolah-olah diyakini bahwa aspek-aspek
tersebut di atas otomatis ada dan melekat pada diri sang pegawai. Padahal
realitas menunjukkan bahwa masih banyak pegawai tidak dalam kapasitas ideal.
Bisa jadi hal tersebut disebabkan akibat proses seleksi yang dilakukan belum
pas, belum didasarkan pada analisa kebutuhan yang tepat.
Atau mungkin juga karena program pendidikan dan pelatihan yang dirancang
dan diikuti tidak secara khusus didesain guna meningkatkan dan memperkuat
kapasitas mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala serius dalam penerapan
prinsip-prinsip utama manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.
Meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh
dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan
mengadopsi prinsip-prinsip good governance pada birokrasi pemerintah,
yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya.
Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebut-sebut telah
diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal
ditandai dengan penandatanganan kesepakatan tentang good governance. Namun
sampai saat ini hal tersebut belum terlalu terlihat outputnya. Good
governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua,
melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia
mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan
disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi
dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang
diuraikan di atas.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang
peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor
penggerak roda pemerintahan. Keberhasilan atau keagagalan dalam penyelenggaraan
pemerintahan akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya aparatur.
Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan
ekonomi daerah, karena potensi sumber daya ekonomi tidak dapat dikelola secara
maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang
berkualitas.
Membangun birokrasi yang efisien tetapi sekaligus berorientasi ke pasar
merupakan kata kunci dalam konteks otonomi daerah, sehingga daerah bersangkutan
memiliki daya saing tinggi. Ini tugas bersama untuk membenahi semua
permasalahan di atas, yang antara lain adalah dengan upaya menerapkan
fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia sebagaimana secara profesional
untuk mewujudkan sumber daya manusia birokrasi yang profesional pula.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi
daerah sebagaimana mestinya tidak boleh dilakukan praktek kecurangan dalam pelaksanaannya
di daerah, karena jika terus-menerus berlanjut yang ada malah daerah tersebut
tidak akan bisa maju atau pun bersaing dengan daerah lainnya, karena hak-hak
yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak dimanfaatkan dengan baik atau bisa
dikatakan ludes ditangan para pejabat yang korup dan licik. Sehingga manfaatnya
tidak dirasakan masyarakat otonom dengan maksimal.
Realisasi otonomi daerah memakan waktu yang panjang dan berproses,di
dalam proses ini sudah tentu terdapat banyak kendala, hambatan, rintangan,
tantangan dan halangan di dalam pelaksanaannya dengan kata lain pelaksanaan
otonomi daerah secara keseluruhan masih belum optimal.
Belum maksimal atau optimalnya pelaksanaan otonomi daerah itu di landasi
beberapa faktor yang menghambat kelancaran proses tersebut mulai dari masalah
penyelewengan, pengawasan yang buruk serta kualitas sumber daya manusianya.
B. Saran
Melihat
dan mencermati kesimpulan yang saya sampaikan di atas maka dapat saya
berikan beberapa saran untuk lebih efektifnya pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah
daerah harus lebih bersinergi dengan pemerintah pusat agar lebih
terjadi keseimbangan di dalam pembangunan dan pelaksanaan otonomi
daerah dalam segala bidang.
Pihak-pihak yang
terkait dalam pelaksanaan otonomi atau birokrat daerah harus mengetahui peran
dan fungsi mereka masing-masing sehingga tidak terjadi kesalahan tugas
dan fungsi masing-masing
Masyarakat dan seluruh stake holder yang terlibat dalam pelaksanaan
otonomi daerah harus mengetahui dan lebih memahami maksud dan tujuan diselenggarakannya
otonomi daerah di daerahnya masing-masing.
Saran dari penulis sebaiknya ada pengawasan langsung dan konsisten dari
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah, agar tidak adanya penyimpangan yang akan
merugikan daerah maupun negara.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Silo, Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam Rangka
Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama UNDP dan
UNCEN.
Thoha, Miftah . 2007. Birokrasi dan
Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Widjaja, A.
W . 2005 . Penyelenggaraan Otonomi daerah
di Indonesia. Palembang : Rajawali Pers.
Widjaja, A.W . 2002 . Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar