SEJARAH TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Pengertian Majlis Tarjih
Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”,
yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha
yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua
dalil ) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat
dari yang lainnya
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana
terdapat uraian singkat mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup
Muhamadiyah” adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih,
sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antara beberapa pendapat
yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi,
dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang
dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan tentunya jawabannya tidak selalu
di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami
perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-masalah
baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya.
Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama
ijtihad.
Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang
mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun
karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika
Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu
sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
B. Sejarah Majlis Tarjih Muhammadiyah
1. Awal Mula Terbentuknya Majlis Tarjih
Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil
keputusan Kongres ke-16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun
1927 pada periode kepengurusan KH. Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua
Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923)[1].
Dalam kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam
persyarikatan itu diadakan Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy.
Usul yang diajukan Pimpinan Pusat tersebut semula berasal dari dan atas
inisiatif seseorang tokoh ulama Muhammadiyah terkemuka, KH. Mas Mansur
(1896-1946) yang waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah
Surabaya. Ide tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres
ke-15 tahun 1928.
Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan
ketiga majlis tersebut di atas diterima secara aklamasi oleh para peserta,
dengan mengganti istilah Majlis Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan “sejak
itulah berdirinya Majlis Tajrih”[2].
Untuk melengkapi kepengurusan dan pembuatan
rancangan qaidahnya, dibentuk sebuah komisi yang beranggotakan tujuh orang
ulama, yaitu :
a.
KH. Mas Mansur, Surabaya
b.
A. R.
Sultan Mansur, Maninjau (Sumatra Barat)
c.
H. Mochtar, Yogyakarta.
d.
H. A. Mukti, Kudus
e.
Kartosudharmo, Betawi
f.
M. Kusni
g.
M. Junus Anis, Yogyakarta
Hasil pekerjaan komisi ini dibawa ke dalam
kongres berikutnya, yaitu kongres ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta. Kongres
tersebut mengesahkan Qaidah Majlis Tarjih dan membentuk susunan pengurusnya
yang pertama dengan :
a.
KH. Mas Mansur, sebagai Ketua.
b.
KH. R. Hajid, sebagai Wakil Ketua
c.
H. M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris;
d.
H. Jazari Hisyam sebagai Wakil Sekretaris;
e.
K.H. Badawi, KH. Hanad, KH. Washil, KH. Fadlil dan lain-lain, kesemuanya
sebagai anggota.
Pengurus ini, setelah terbentuknya segera bekerja
dan membuat persiapan bahan-bahan dari masalah yang akan ditarjih. Pada kongres
ke-18 di Solo, yang berlangsung dari tanggal 30 Januari sampai dengan tanggal 5
Februari 1929, Majlis Tarjih pertama kalinya mengadakan sidang khusus di luar
sidang-sidang Kongres Muhammadiyah, dan berhasil mengambil keputusan tentang
“Kitab Iman” dan “Kitab Shalat”[3].
Kitab Iman berisi keputusan tentang pokok-pokok akidah yang benar, yaitu
mengenai rukun iman yang enam, ialah : percaya kepada Allah, percaya
kepada Malaikat, percaya kepada Kitab-kitab Suci, percaya kepada Rasul-rasul,
percaya kepada Hari Kemudian, dan percaya kepada Qadla dan Qadar yang baik dan
buruk. Di samping itu juga ada keputusan tentang masalah mengimani kenabian
sesudah Muhammad Saw. Sedangkan “Kitab Shalat” berisi keputusan tentang tata
cara mengerjakan shalat.
Kebanyakan penulis-penulis Muhammadiyah
berpendapat dan menyatakan bahwa sejak kongres ke-16 tahun 1927 itulah mulai
berdirinya Majlis Tarjih, seperti di atas tadi sudah dikutip sebagai salah satu
contoh. Pada hal dari apa yang sudah dipaparkan terdahulu, jelas bahwa pada
tahun 1927 dalam kongres ke-16 itu, harus ada berupa keputusan pembentukan
majlis-majlis, salah satunya Majlis Tarjih dan pembentukan komisi perumus
qaidah dan pembentukan pengurus. Baru pada tahun 1928 di Jogjakarta, dalam
kongers ke-17, Pengurus dan Qaidah Majlis Tarjih itu dibentuk. Jadi atas dasar
ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara formal, Majlis Tarjih itu terbentuk
pada tahun 1928 di Jogjakarta.
Dalam muktamar Muhammadiyah ke-XVII tahun 1928 di
yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat. Sebagai ketuanya
adalah KH. Mas. Mansur dan KH. Aslam Z sebagai sekretaris. Pada masa ini juga
dibuat anggaran dasar yang antara lain menetapkan bahwa tugas Majlis Tarjih
adalah:
a.
Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan dengan
hukum-hukum agama.
b.
Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum masalah
khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang penting dalam perjalanan
Muhammadiyah.
c.
Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan Al-Quran dan
Al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqih yang dipandang mu’tabar, dan
mementingkan riwayat dan maknanya, tidak menggunakan aql di atas naql.[4]
Muktamar tarjih yang pertama kali di adakan pada
tahun 1929 bersama-sama dengan kongres Muhammadiyah ke-XVIII di Solo.
Masalah-masalah yang teridentifikasi di bahas dalam muktamar yang pertama ini.
Masalah pertama yang di putuskan kemudian di susun menjadi kitab, yaitu kitab
iman dan sembahyang. Setelah itu di bahas pula masalah gambar, musik, lotre,
api unggun, arak-arakan aisyiyah dan sebagainya. Keputusan-keputusan Muktamar
Tarjih yang kemudian di ubah menjadi Musyawarah Nasional. Dikodifikasikan dalam
Himpunan Utusan Tarjih dan Koedah-koedahnya, termasuk Kaidah Pengembangan
Pemikiran Islam.
Fungsi majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau
memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah tidak hanya pada
bidang agama dalam arti sempit, tetapi juga menyangkut masalah sosial
kemasyarakatan. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu pesoalan kepada
sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, baik masalah itu sudah ada hukumnya
tetapi masih di perselisihkan, atau masalah-masalah baru yang sejak semula
memang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah Keluarga Berencana (KB),
bayi tabung, Bank dan lain-lanin.[5]
Dalam muktamar Muhammadiyah ke 43 tahun 1995 di
Aceh, majelis ini disempurnakan menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam (PTPPI). Sturktur majelis tersebut mengalami beberapakali
perubahan. Sekarang ini MTPPI secara struktural terdiri dari PTPPI
Pusat, Wilayah dan Daerah. Masing-masing berfungsi sebagai pembantu dan oleh
karena itu berada dibawah pimpinan Muhammadiyah. Sesuai dengan tingkatannya.
2.
Ketarjihan Sebelum Terbentuknya Majlis Tarjih
Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa
pembentukan Majlis Tarjih terlambat 15 tahun dari Muhammadiyah sendiri, yang
didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, atau 18 November 1912, oleh
KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) seperti telah diuraikan terdahulu. Ini boleh jadi
menimbulkan pertanyaan, bagaimana soal-soal ketarjihan dalam Muhammadiyah
sebelum adanya Majlis Tarjih, dan apakah hal ini tidak merupakan suatu hal yang
aneh dalam hubungannya dengan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, yang tiada
henti-hentinya menyerukan ijtihad dan melarang taklid?
Perlu ditegaskan, bahwa terlambatnya pembentukan
Majlis Tarjih dalam riwayat Muhammadiyah sebenarnya tidak merupakan suatu
keganjilan dan juga bukan karena dari semula Muhammadiyah kurang memperhatikan
bidang hukum-hukum agama. Justru sebaliknya, Muhammadiyah dari mulai didirikan
adalah gerakan agama dan berasal dari agama pula. Walaupun Majlis Tarjih belum
ada secara resmi pada 15 tahun pertama perkembangannya, hal itu tidaklah berarti
bahwa pada masa-masa tersebut persyarikatan ini sepi dari aktivitas ketarjihan,
sebagai “gerakan modernis Islam yang didedikasikan untuk melakukan pembaharuan
kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat muslim”. Muhammadiyah terus-menerus
dituntut untuk memberi pemecahan terhadap masalah-masalah agama, guna
dikembalikan kepada tuntunan sebenarnya dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw,
serta masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang harus digerakkan dengan
berlandaskan agama.
Semenjak Muhammadiyah didirikan, dasar dan
haluannya penuh diletakkan pada ajaran Islam. Hingga segala usaha dan
pekerjaannya sepenuhnya djuga dipandang dari hukum Islam. Malah lebih dari itu,
dasar pokok dari gerakan kita ialah gerakan tajdid Islam, sehingga dengan
sendirinya yang mula-mula dipelajari dan diperhatikan adalah hukum-hukum Islam
pula, maka bukan hanya merupakan kebenaran saja, apabila pendiri dan pemimpin
Muhammadiyah yang mula-mula adalah seorang ulama, seorang ulama dalam arti yang
sebenarnya.
Oleh karena itu tugas bertarjih senantiasa
dilakukan oleh ulama-ulama Muhammadiyah yang kompeten dan telah menghasilkan
keputusan-keputusan pada waktu dimana belum dibentuk suatu lembaga khusus yang
membidangi masalah agama dalam organisasi Muhammadiyah ini[6].
KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) sendiri terlibat dalam pemecahan masalah-masalah
agama tersebut sebagian tampak dalam keputusannya tentang pembetulan arah
kiblat dan cara penentuan waktu hari raya. Selama periode kepemimpinannya,
pendapatnya mewakili dan diidentikkan dengan pendirian resmi organisasi
Barangkali menarik untuk dikemukakan di sini,
guna menambah kejelasan uraian di atas, beberapa contoh keputusan yang diambil
oleh Muhammadiyah tentang masalah agama, pada periode sebelum adanya Majlis
Tarjih. Antara lain adalah sembahyang hari raya di tanah lapang, sesuai dengan
tuntunan Rasulullah yang selalu mengerjakannya di tanah lapang selama tidak ada
halangan seperti hujan. Sebelumnya, umat Islam bukan hanya di Indonesia tetapi
juga di negeri-negeri Islam lainnya, mengerjakan shalat ‘Id di dalam masjid,
dengan alasan pendapat Imam Madzhab Empat. Tetapi setelah diselidiki ternyata
bahwa Imam Syafi’iy mengutamakan dalam masjid karena kemuliaan masjid itu, dan
selagi dapat menampung jama’ah sebanyak mungkin, dan beliau mengutamakan di
lapangan jika masjid tidak mampu menampung jumlah jama’ah. Sedangkan kenyataan
menunjukkan bahwa masjid selalu tidak cukup luas untuk menampung pengunjungnya,
apalagi pada hari raya di mana seluruh kaum muslimin, tua-muda,
lelaki-perempuan, semuanya melakukan shalat ‘Id.
Shalat ‘Id di lapangan, pertama kali dilakukan
oleh Muhammadiyah adalah di lapangan ASRI sekarang, di Jogjakarta pada
hari raya ‘Idul Fitri tahun 1343 H, atau 1925 M dan ‘Idul Adha pada tahun yang
sama. Peristiwa ini sangat menggemparkan dan mendapat reaksi dari “kaum kolot”
sebagaimana juga dari pihak pemerintahan kolonial Hindia Belanda atas dasar
alasan ketertiban dan keamanan.
Reaksi ini malah disambut oleh Muhammadiyah
dengan keputusan harus “Mengadakan shalat Hari Raja di tanah lapang, di
mana-mana Muhammadiyah ada”. Keputusan ini diambil dalam kongres ke-15 di
Surabaya – sebuah kongres yang pertama dilakukan di luar Jogjakarta – pada
tahun 1926, yaitu setahun sebelum terbentuknya Majlis Tarjih.
Kongres yang sama juga mengambil keputusan
tentang :
a.
Mengusahakan agar dana masjid sebagian dapat digunakan untuk membiayai
panti asuhan dan menyekolahkan anak-anaknya.
b.
Minta agar reglement yang mengharuskan
diperiksanaya calon temanten, dicabut.
c.
Mengusahakan
perbaikan cara pembagian zakat fitrah dengan memberikan tuntunan.
Sedang kongres berikutnya, yaitu kongres ke-16
yang melahirkan keputusan pembentukan Majlis Tarjih, di antara keputusannya
ialah mengusahakan agar supaya khutbah Jum’at disampaikan dalam bahasa
bumiputera.[7]
Mengenai zakat fitrah sebelum perubahan yang
dilakukan oleh Muhammadiyah, pembagiannya tidak menurut tuntunan yang diajarkan
melalui Al-Qur’an dan Sunnah, yang menghendaki disalurkannya zakat tersebut
kepada asnaf yang delapan, yaitu fakir, miskin, petugas pengumpulnya, muallaf,
untuk penebusan tawanan, orang berhutang, jalan Allah dan musafir (ibnu sabil).
Pada waktu itu zakat fitrah diberikan kepada kaum, modin, naib dan penghulu.
Penerimaan zakat oleh mereka itu sangat berpengaruh terhadap status ekonomi
mereka. Bahkan ada diantara mereka menerima beras yang diberikan kepada
tiap-tiap akhir bulan puasa itu cukup menyangga biaya hidup rumah tangga selama
6 bulan.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil
kesimpulan, bahwa pada hakekatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan
merupakan titik mula kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan hanya
sebagai pelembagaan secara resmi terhadap yang sudah ada sebelumnya. Tarjih
sebagai kegiatan intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya
untuk kemudian diproyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak dari mula
berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan, Tarjih lahir
bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu sendiri.
3.
Faktor-faktor Yang Melatar Belakangi Lahirnya Majlis Tarjih.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi latar
belakang lahirnya Majlis Tarjih, barangkali pidato KH Fakih Usman berikut ini
mengandung isyarat akan hal itu. Pidato ini disampaikan sebagai Khutbah Iftitah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah di depan Sidang Khususi Tarjih tahun 1960.
Kemudian tersiarlah Muhammadiyah dengan cepat
sekali, memenuhi seluruh pelosok tanah air kita. Luasnya dan banyaknya usaha
atau pekerjaan yang dilakukan, mereka ke semua cabang yang diperlukan oleh
masyarakat.
Banyaknya tenaga-tenaga yang memasuki terdiri
dari bermacam-macam pembawaan, pendidikan dan kedudukan. Semua ini menyebabkan
pemerasan tenaga pimpinan yang harus mengurus dan memperhatikan banyak
persoalan, yang hakekatnya bagi tenaga pimpinan untuk menguasai keseluruhan
persoalan. Malah sulit juga untuk mengetahui hubungan sesuatu persoalan dengan
persoalan lainnya. Dan juga lebih dari itu tidak lagi dapat dikuasai dengan
sepenuhnya hubungan sesuatu dengan tujuan, dengan asas dasar gerakan sendiri,
dengan ajaran dan hukum Islam.
Memang sebagai yang terjadi dalam kelanjutan
sejarah Islam, diduga terjadi dalam kalangan Muhammadiyah mengadakan
bermacam-macam pendidikan atau perguruan yang khusus untuk memperdalam dan
mempertinggi ilmu-ilmu agama. juga perhatian kita pada ilmu agama itu tidak
sebagai yang seharusnya. Banyak dimakan oleh keperluan-keperluan lain yang
bermacam-macam dari usaha-usaha Muhammadiyah.
Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba ada
terdjadi peristiwa yang mengancam timbulnya perpecahan dalam kalangan
Muhammadiyah ialah peristiwa timbulnya perdebatan dan perselisihan mengenai
Ahmadiyah, ketika beberapa mubalighnya datang mengunjungi tempat pusat gerakan
Muhammadiyah.
Kejadian itulah yang akibatnya langsung
menimbulkan kesadaran kita betapa jauhnya sudah tempat berdiri kita dari garis
semula ditentukan. Dan kejadian itulah yang langsung menyebabkan didirikannya
Majlis Tarjih.
Dari pidato KH Fakih Usman (1904-1968) di atas dapatlah
disimpulkan adanya dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya majlis Tarjih,
pertama adalah faktor yang bersifat intern, dan kedua faktor yang bersifat
ekstern.
a.
Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan
yang berkembang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal yang timbul
sebagai akibat dari perluasan dan kemanjuran yang dicapai oleh persyarikatan
ini.
Sebagian telah diketahui, perkembangan
Muhammadiyah begitu pesat dan cepat, baik di bidang perluasan organisasi kurang
dari 15 tahun Muhammadiyah telah berkembang di berbagai tempat di luar Jawa.
Haji Rasul yang berkunjung di tanah Jawa pada tahun 1925 dan menemui
pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di Yogyakarta, sekembalinya ke kampung
halamannya pada tahun yang sama, memperkenalkan Muhammadiyah kepada masyarakat
Minangkabau dengan jalan merubah organisasi lokal. Sandi Aman yang didirikannya
di kampung halamannya menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Dari tanah Minang ini
Muhammadiyah kemudian berkembang ke Bengkulu dan tempat-tempat lain di
Sumatera, dan di Pulau Borneo, yaitu di Banjarmasin dan Amuntai.
Seiring dengan perluasan organisasi yang menyedot
banyak anggota itu, aktivitas sosial dan amal usaha Muhammadiyah juga meningkat
secara hebat dan berhasil, terutama di bidang pendidikan, penyantunan dan
pelayanan sosial, dakwah dan lain-lain aktivitas. Sekolah-sekolahnya, baik yang
memakai bahasa Indonesia maupun yang memakai bahasa Belanda sebagai pengantar-
memperkenalkan sistem pendidikan modern dengan perpaduan antara silabus yang
berisikan pendidikan umum dengan pengajaran agama, melalui pelajaran bahasa
Arab dan Tafsir Al-Qur’an. Klinik-klinik, organisasi wanita dan dan pemuda
serta rumah-rumah wakaf berkembang dan bertambah maju, sedang dalam bidang
dakwah, misalnya khutbah-khutbah Jum’at diberikan dalam bahasa daerah dan
pesan-pesan Nabi disampaikan kepada masyarakat Kaum Muslimin dalam bahasa yang
dapat dimengerti dan disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia modern.
Pengelolaan anggota yang banyak dan amal usaha
yang besar ini, seperti dinyatakan dalam pidato KH. Faqih Usman di atas,
menguras energi pimpinan sedemikian rupa, sehingga akibatnya adalah melemahnya
kemampuan kontrol pimpinan terhadap sinkronisasi penyelenggaraan amal usaha itu
dengan asas yang melandasi perjuangan Muhammadiyah, yaitu Islam, dalam
kemurniannya sebagai yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Sahihah.
Keadaan seperti ini menuntut adanya pembidangan pembangunan risalah. Untuk
membidangi masalah agama yang memberi haluan bagi perjuangan Muhammadiyah, diciptakanlah
Majlis Tarjih.
Selain dari itu, Muhammadiyah adalah suatu
gerakan tajdid (pembaharuan) yang lahir di tengah-tengah suasana di mana dunia
Islam sebagai respon terhadap gagasan reformasi Al-Afghani dan Muhammad Abduh
sedang bergerak menuju suatu keadaan baru, bahwa mereka hanya dapat bertahan
apabila bisa melepaskan isolasionisme yang kaku dan sebaliknya mampu
menumbuhkan kekuatan adaptasi terhadap dunia modern yang urban, rasional,
individualistik dan bahkan sekuler. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah
beruaha melakukan kombinasi antara diterimanya dunia modern dan metode-metode
organisasi Barat yang modern dengan suatu organisasi Islam yang jelas
berdasarkan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Al-Hadits. Usaha-usaha
pengkombinasian ini dalam Muhammadiyah berarti penggalian hukum-hukum agama
untuk mendapatkan landasan yang Islami bagi kehidupan modern yang tidak dapat
terhindarkan itu. Dalam susunan demikian kehadiran Majlis Tarjih sebagai
lembaga yang khusus menangani persoalan-persoalan ideologis keagamaan itu
memang sangat diperlukan.
b. Faktor Ekstern
Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat Islam umumnya di luar
Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah perselisihan paham mengenai
masalah-masalah furu’ fiqhiyah, yang biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di
samping itu juga masalah ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia
pada akhir perempat pertama abad 20. Perselisihan dan pertentangan-pertentangan
itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis
Tarjih yang ditugasi antara lain untuk menyelidiki berbagai macam pendapat itu,
untuk diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota-anggota
Muhammadiyah, dan dengan demikian perselisihan-perselisihan karena masalah
khilafiyah yang telah memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat
dihindarkan dalam Muhammadiyah.
Dalam buah kongres 26 yang diterbitkan
oleh Hoofdcomite Congres Muhammadiyah pada halaman 31 dijelaskan sebagai
berikut :
Bahwa perselisihan faham dalam masalah agama
sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnya Muhammadiyah, sebab-sebabnya
banyak, diantaranya karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama
atau yang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannya
itu dengan musyawarah dan beralasan kepada Al-Qur’an, perintah Tuhan Allah dan
kepada Hadist, sunnah Rasulullah Saw. Oleh karena kita khawatir, adanya
percekcokkan dan perselisihan dalam Muhammadiyah tentang masalah agama itu,
maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tarjih untuk menimbang dan memilih dari
segala masalah yang diperselisihkan itu yang masuk dalam kalangan Muhammadiyah,
manakah yang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al-Qur’an dan Hadist.
Sebagai kita ketahui, memasuki abad ke-20 terjadi
dichotomy dalam tradisi santri menjadi kaum reformis dan tradisionalis. Kaum
reformis memperkenalkan gagasan-gagasan pembaharuan yang dicetuskan di Timur
Tengah, yang pada intinya berusaha merombak cara berfikir lama kaum Muslimin,
yang bertaklid kepada madzhab dengan jalan membuka kembali pintu ijtihad.
Gagasan ini tidak begitu mudah diterima oleh kaum tradisionalis. Bagi mereka,
pemahaman Islam mutlak melalui taklid kepada madzhab. Oleh karena itu ketika
kaum tradisionalis ini merasa terdesak dan mereka membentuk organisasi, maka
orientasi kepada madzhab empat, khususnya madzhab Syafi’i, menjadi dasar
ideologi organisasi. Pertentangan antara pendukung-pendukung gerakan modernis
Muhammadiyah adalah salah satu komponennya di satu pihak, dengan
pendukung-pendukung tradisi di pihak lain, mengambil bentuk
perselisihan-perselisihan dalam furu’ fiqhiyah. Shalat hari raya di tanah
lapang seperti telah digambarkan di muka adalah contoh yang paling jelas di
samping masalah-masalah lainnya, seperti jumlah raka’at shalat tarawih, qunut
shalat shubuh, dan lain-lain. Perselisihan-perselisihan tentang detail-detail
ajaran Islam ini perlu mendapat kepastian dalam pengamalannya, bagi
anggota-anggota Muhammadiyah melalui usaha-usaha pentarjihan yang ditangani oleh
sebuah lembaga resmi.
Adalah teramat penting untuk diketahui, bahwa
perselisihan-perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam pada tahun-tahun
pergantian perempat pertama dengan perempat kedua abad ke-20, bukan hanya dalam
detail-detail masalah agama, tetapi merembet kepada masalah-masalah pokok. Ini
disebabkan oleh masuknya aliran Ahmadiyah ke Indonesia dan melakukan propaganda
di pusat organisasi Muhammadiyah. Ahmadiyah adalah sebuah aliran agama yang
muncul di India, yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) yang
meng-claim dirinya sebagai Nabi mulai sekitar tahun 1900.[8]
Aliran ini terbagi kepada dua bagian, Qadiyan dan
Lahore. Cabang Qadian dianggap keluar dari Islam, karena mengakui adanya Nabi
sepeninggal Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Sedang cabang Lahore tidak
seekstrim yang pertama. Cabang Lahore ini memandang Mirza Ghulam Ahmad itu
hanya sebagai pembaharu belaka.
4.
Manhaj Al-Istimmbat Majelis Tarjih
Majelis Terjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Muhammadiyah telah merumuskan secara dinamis aspek metodolokis tersebut dalam
Manhaj Al-Istimbatnya. Perumusannya dikatakan dinamis, karena senantiasa
berkembang sejalan dengan perjalanan masa. Perumusan aspek metodologis
terakhirkali dilakukan dalam Munas Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam tahun 2000 di Jakarta. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan
sebagai berikut :
a.
Mengubah istilah Al-Sunah Al-Sholehah menjadi As-Sunah
Al-Maqbullah. Sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an. Hal ini
dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara ebjektif, majelis hanya menggunakan
kata kategori shoheh, tetapi juga hasan. Muhammadiyah membolehkan
Talfiq, yaitu menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan Syar’i
sepanjang telah dibagi lewat proses tarjih.
b.
Posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, yang fungsinya adalah
sebagai metode untuk merumusakan ketetapan-ketetapan hukum yang belum
terumuskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, ruang lingkup
ijtihad meliputi maslah-maslah yang terdapat dalam dalil yang dhanniy dan
maslah-masalah yang secaara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau
As-Suunah.
c.
Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan), metode
taqlili (menggunakan pendekatan illat hukum), dan metode istislahi (menggunakan
pendekatan kemaslahatan). Dalam hal ini manhaj tidak menjelaskan jika terjadi
perbedaan hasil penetapan hukum terhadap satu masalah karena adanya penngunaan
metode yang berbeda. Mana diantara ketiga metode tersebut yang di prioritaskan.
Dalam hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal mansia tidak dapat menjangkau
illat dan kemaslahatannya, metode bayani harus di prioritaskan.
d.
Manhaj menetukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapakan hukum,
yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis dan antropologis.
e.
Ijma’, qiyas, maslahah mursalah, serta ‘urf,
berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum. Meskipun istihsan dan saad
al-dzari’ah tidak di sebutkan, tidak berarti keduanya tidak dipakai.
Hal ini di dasarkan adanya kenyataan bahwa keduanya juga di dasarkan atas
prinsip kemaslahatan yang di pandang sebagai salah satu metode penetapan hukum.
f.
Ta’arudul Adillah di selesaikan secara hirarkis melelui al-jam’u waa
al-taufiq, al-tarjih, al-nasikh danal-tawaqquf. Majlis
tarjih secara tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh. Mengenai
urutan prioritas di atas, tampaknya perlu di pertimbangkan untuk mendahulukan
nasikh sebelum menyelesaikan ta’arrud melalui tarjih, karena jika di ketahui
batas waktu berlakunya suatu hukum, maka dengan lewatnya waktu tersebut,
berlakulah hukum sebaliknya secara otomatis. Dengan demikian tidak perlu lagi
kepada tarjih.
g.
Tarjih terdapat nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi sanad
(kualitas dan kuantitas rowi, bentuk dan sifat periwayatan, shigot tahammul
wa al-ada’), segi matan (mendahulukan shigot nahy daripada amr; shigot khas daripada ’am),
segi materi hukum, dan segi eksternal.
h.
Hal-hal yang tidak di ubah masih tetap berlaku, seperti: mendasarkan
akidah hanya kepada dalil mutawatir, pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah
di lakukan secara komprehensip dan integral, peran akal dalam memahami teks
Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat di terima, qiyas tidak berlaku dalam masalah
ibadah mahdhah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari Al-Qur’an atau
As-Sunnah. Untuk memahami nashsh yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
Mendahulukan makna zhohir daripada ta’wil dalam bidang akidah. Takhshish
Al-Kitab bi Al-Sunnah dapat di terima, Hadis mauquf tidak dapat di jadikan
hujjah, kecuali yang di hukumi marfu’, Hadis mursal shohabi dapat dijadikan
hujjah, Hadis mursal tabi’i, Hadis mudallas, semata tidak
dijadikan hujjah, kecuali jika terdapat petunjuk adanya kebersambungan sanad.
Hadis dho’if yang kuat lagi menguatkan tidak dapat di jadikan hujjah, kecuali
jika banyak jalannya dan terdapat qorinah yang menunjukkan bahwa Hadis itu
berasal dari Nabi Saw. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis shohih.
Jika terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil, di dahulukan jarh dengan
dasar keterangan yang jelas dan shohih menurut syara’.[9]
C. Metode Ijtihad Muhammadiyah
Dalam metode ini akan dikemukakan beberapa sumber
hukum dalam Islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan
secara singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh
Muhammadiyah. Uraian ini lebih bersifat pengantar terhadap pembasan inti
berikutnya. Oleh karena itu, pembahasannya masih bersifat umum. Kajian ini
difokuskan pada apa yang tertulis dalam Manhaj Istinbath Majlis Tarjih dan
Himpunan Putusan Tarjih. Uraian awal ini di perlukan untuk melihat lebih lanjut,
sejauh mana konsitensi Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum
yang telah di gariskannya.
Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum
dalam Islam adalah Al-quran dan Al-sunnat Al-Shahihat.[10] Kemudian
untuk menghadapi persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak terdapat nash sharih.
Dalam Al-quran dan Hadis, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada
melalui persamaan illat. Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah
ijtihad bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum
dalam islam. Dalam hal ini Muhammadiyah sejalan dengan faham kelompok
mukhaththi’at yang menyatakan bahwa ijtihad adalah metode penemuan hukum, bukan
sumber hukum dalam islam.
Al-quran dan Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam
tidak hanya diyakini oleh Muhammadiyah saja, tetapi diyakini oleh seluruh umat
Islam dalam berbagai mazhab dan aliran. Diantara dua sumber itu, Al-quran
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Artiya, Al-quran merupakan rujukan
utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan Hadis berfungsi sebagai penjelas
terhadap Al-Quran. Tentu penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan dengan
apa yang dijelaskannya. Salah satu tolak ukur untuk menyeleksi Hadis
adalah harus di uji dengan Al-Quran, kalau Hadis itu sejalan dengan Al-Quran,
maka Hadis itu dapat diterima. Tetapi jika Hadis itu tidak sejalan maka Hadis
itu tidak dapat diterima. Tolok ukur seperti ini dimasukkan kedalam kritik
matan Hadis.
Muhammadiyah menyatakan secara tegas bahwa
ijtihad hanyalah metode penetapan hukum. Muhammadiyah pada dasarnya menerima
metode ijithad yang telah ditetapkan para ahli ushul fiqh terdahulu, namun
masih terdapat modifikasi atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya.
Ijma’ yang dibahas oleh ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode
diterima oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima ijma’ yang terjadi
dikalangan Nabi. Hal ini mengisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, ijma’ tidak
mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya
ijma’, karena umat Islam masih sedikit jumlahnya.
Muhammadiyah juga menggunakan metode qiyas dalam
penetapan hukum. Pada dasarnya diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak
mengenai masalah ibadah mahdah. Menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat
merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang
berhubungan dengan muamalah peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan itu.
Metode lain yang lain digunakan oleh Muhammadiyah
dalam berijtihad adalah saddu al-zaari’at.[11]
Adapun tujuannya digunakan metode ini adalah untuk menghindari
terjadinya fitnah dan mafsadah. Jika diambil pengertian sebaliknya, maka tujuan
digunakan metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia. Metode ini sering
digunnakan oeh imam Malik dan Ahmad bin Hambal.
Dari uraian tersebut dapat di pahami bahwa
Muhammadiyah menempuh tiga jalur:
1.
Al-ijtihad Al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah
terdapat dalam nash Al-Quran dan Hadis.
Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam
mendapatkan hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan
nash-nash al-Qur’an dan al-hadits, agar nash itu menjadi lebih
jelas dipahami maknanya.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan
dalam lima macam, yaitu :
a.
Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka
mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah
jelasnya yang dimaksud, baik makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau
dalil. Contohnya kata-kata dalam surat Shad ayat 73:
Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu
bersujud semuanya”.Kata “malaikat” mengandung kata umum
“seluruh malaikat” yaitu ditegaskan dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b.
Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata,
sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan
kata-kata yang mujmal menjadi mufshal,
kata-kata khafi yang tersembunyi makna dan maksudnya, sehingga
menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil,
yaitu lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang
dimaksud. Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari
penjelasan lafazh yang mengandung makna ganda (musytarak), sehingga
dapat ditentukan makna yang dapat diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan
Tafsir juga dapat dilakukan pada kata-kata yang termasuk kualifikasidallat-u
‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail
terhadap makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43. Kata-kata dalam ayat itumujmal,
perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW: “Shalatlah engkau sekalian,
seperti engkau melihat aku shalat”. Maka kata-kata itu
dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.
c.
Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir menjadi makna yang dituju, seperti
kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam
hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari
makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam thuruq-u
‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan
bukan kata-kata.
1)
Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata
yang berdiri sendiri dan bersambung, yang disebutmustaqil dan muttashil dan
juga ghairu muttashil. Artinya, kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung, seperti:
a)
Istitsna’, contohnya ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan
murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap
beriman.
b)
Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah mewajibkan
setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang yang
mempunyai kemampuan.
c)
Sifat, contohnya ayat
25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak wanita yang beriman,
bukan semua budak beriman.
d)
Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang
telah mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang
maksud baik.
e)
Ghayah, contohnya ayat
15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang berbuat bertentangan dengan
agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat dakwah ajakan Rasul.
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam
hal seperti ini, perlu ijtihaddengan bayan taghyir,
seperti dalam surat al-Nur ayat 4, bahwa orang yang menuduh orang lain tanpa
bukti dicambuk 80 kali. Dalam ayat 6-9, suami istri yang dituduh menuduh
berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk dengan sistem hukum “li’an”
2)
Ghairu Kalam (tidak berupa kata-kata)
Ghairu kalam takhsis kata-kata umum yang tidak berupa kata-kata. Itu bisa
berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Pada bayan taghyir ini juga bisa berupa penjelasan tentang kata-kata yang
mutlaq menjadimuqayyad. Dalam hal ini usaha mencari muqayyid dari
lafazh mutlag, sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Seperti dalam ayat 2 surat
al-Maidah, bahwa allah mengharamkan darah dan dalam ayat 145 surat al-an’am,
Allah menyebutkanyang di haramkan itu darah yang mengalir (dam masfuhan),
yang disebut lafazh muqayyad. Mencari keterangan apakah satu
lafazh iyu muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad
bayani dengan bayan taghyir
Dari segi mencari hukum yang lebih mashlahah untuk
dilakukan, makna bayan taghyir, atau dengan menerapakan
prinsip sadd-u ‘l-dzari’ah.
d.
Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan
jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam
hukum masalah yang dicari oleh seoranh mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu,
terutama diperlukan dalam dalil sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini
berkembang lagi pendapat yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu
adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Nasikh-mansukh dalam
al-Qur’an bukanlah menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsisikan
ayat yang bermaksud umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang jelas,
ada nasikh mansukh pada sunnah/al-Hadits. Seperti contoh nabi
SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudian membolehkannya, yang terkenal
dalam sabdanya yang berbunyi:”Dahulu saya melarang engkau sekalian untuk
ziarah kubur, berziarah kuburlah kamu sekarang” (HR. Ibnu Majah)
e.
Bayan Dlarurah
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak
harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. Bayan
Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
1)
Sesuatu yang didiamkan
tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti firman Allah dalam surat
an-Nisa ayat 11: Artinya :”Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak,
jika yang meninggal tidak mempunyai dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga”
2)
Dalam ayat itu tidak
disebutkan ketentuan sisa yang diambil dari sepertiga untuk ibunya. Padahal
dalam ayat tersebut disebutkan pewarisnya adlah ayah dan ibunya. Tidak
menyebutkan yang mendapat sisa bagian sesudah diiambil ibu sepertiga mengandung
pengertian bahwa disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan setelah diambil
sepertiga oleh ibu, maka sisanya yaitu dua pertiga menjadi bagian ayah.
3)
Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi penjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi SAW
waaktu menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan
Nabi terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi SAW tentang diamnya
seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya
anak itu dianggap setuju.
4)
Penjelasan tentang
diamnya seseorang dianggap untuk menghindari adanya tipuan. Seperti diamnya
wali atau pengampu atas anak yang diampunya melakukan akad jual beli. Untuk
menghindari kerugian bagi orang lain, didasarkan sabda Nabi SAW.
Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak
disebutkan, tetapi mengandung sesuatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan
orang arab menghitungnya.
2.
Al-ijtihad Al-Qiyasi, yakni menyelasaikan kasus baru dengan cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam Al-quran dan
Hadis.
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum
suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja.
Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukan keharaman zat
sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari
hukumnya,menghisap ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah,
yang ada kesaaman adalah larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum
keharaman ganja dengan hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut
menetapkan hukum berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu
logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan namaIjtihad
Qiyasi
3.
Al-ijtihad Al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa
kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum diatas,
dengan menggunnakan penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatan
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak
ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan
masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini
dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
a.
Metode Istihsan
1)
Mengecualikan
dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas
khafi.
2)
Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena
adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari
kesempitan.
b.
Metode Sadd-u
‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan
sesuatu itu. Tetapi kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi
tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan) maka patut
dilarang, dengan dasar sad-u ‘l-dzari’ah. Artinya menutup
sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
c.
Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak
ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah
(menyuruh), dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang
ingin dicari itu disebut mashlahah mursalah. Ijtihad dalam
halini adalah melakukan penelitian sejauh mana maslahah yang
akan dicapai dan mafsadahyang akan terdapat, apabila ada juga
penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan
untuk dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang
harus dihindari.
d.
Menetapakan hukum sesuatu, didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang
telah ada, berlaku mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta
tidak mendatangkan mafsadah yang lebih besar.
e.
Ijtihad dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini
menafsirkan ayat yang mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam
yang disebut kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Seperti dalam memahami
ayat 12 Saba’, yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman as diberi kemampuan (oleh
Allah) mengendalikan angin. Itu merupakan mukjizat yang diberikan Allah kepada
nabi Sulaiman as. Kita bukan berfikir, bagaimana cara untuk mendapatkan
kemampuan mengendalikan angin yang bersifat mukjizat itu. Tetapi hendaknya kita
berfikir dan meneliti, apakah angin itu? Bagaimana dapat terjadinya angin? Apa
yang dapat diketahui tentang sebab musabab terjadinya angin? Apa mudlarat dan
manfaat yang ditimbulkan oleh adanya angin?
Dengan melihat pada ayat-ayat yang menyebutkan tentang pada surat ar-Rum
aytat 48, bahwa hakikat terjadinya angin adlah kehendak Allah, yang fenomenanya
angin itu menyebabkan awan yang merata sesuai dengan kehendakNya dan membawa
hujan, yang hujan itu dapat menyuburkantanah/bumi, yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia.
Dalam ayat selanjutnya, Allah memerintahkan kita
agar berfikir tentang rahmat Allah yang ditimbulkan oleh angin yang meratakan
awan, meratakan/menurunkan hujan dan menyuburkan tanah. Sebaliknya angin juga
dapat membuat bencana fenomena lain, angin dapaat menjadi perkawinan bunga,
sehingga menjadi buah, seperti tersebut dalam surat al-Hijr ayat 22
Memahami ayat-ayat tersebut tidaklah berarti kita
berfikir secara tekstual, bahwa untuk mengkawinkan bunga-bunga agar
menghasilkan buah hanya yang ditimbulkan oleh angin belaka, tetapi juga
menggunakan nalar berdasarkan tajribiyah (percobaan-percobaan),
sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad SAW tatkala menjumpai orang-orang
Madinah melakukan memindahkan sari bunga, dengan cara yang telah dilakukan
sejak lama dan berhasil yang kemudian Nabi pun menyerahkan kepada ummat dan
sekaligus membolehkan cara-cara tersebut (cara-cara itu merupakan embrio
teknologi tepat guna dalam Islam), dengan sabdanya:”Kamu lebih mengetahui
urusan-urusan dunia mu”
Penutup
Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”,
yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah: Usaha
yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua
dalil ) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat
dari yang lainnya.
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana
terdapat uraian singkat mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup
Muhamadiyah” adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil
keputusan Kongres ke-16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun
1927 pada periode kepengurusan KH. Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua
Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923). Dalam
kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar dalam
persyarikatan itu diadakan Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis
Taftisy . Usul yang diajukan Pimpinan Pusat tersebut semula berasal dari
dan atas inisiatif seseorang tokoh ulama Muhammadiyah terkemuka, KH. Mas Mansur
(1896-1946) yang waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah
Surabaya. Ide tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres
ke-15 tahun 1928.
Daftar Pustaka
Djamil,
Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:
Logos Publishing House, 1995.
Shodiqin,
Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqih, Buku Materi Pembelajaran Fakultas
Syari’an dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014.
Sujarwanto
Dkk, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog Intelektual, Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya, 1990.
Ali mukti,
“Majlis tarjih muhammadiyah kini dan masa yang
akan datang”,
makalah 1989
http :
//yuliastusi90.blogspot.co.id/2012/11/metode-ijtihad-dalam-manhaj-tarjih.html
Https://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/09/majlis-tarjih-muhammadiyah.com
SEJARAH SINGKAT
MAJLIS TARJIH

[1] AR Yogyakarta, Menuju Muhammadiyah, cet. Ke-1 (Yogyakarta;PP
Muhammadiyah Majlis Tabligh, 1984) hal. 32.
[2] KHM.
Wardan, “Fungsi Ulama dan Tugas Madjlis Tardjih”, Suara
Muhammadiyah, No. 15-16, tahun ke-48 (Agustus I dan II, 1968/Djumadil Awal
1388), hal. 24. KH Mas Mansur ini kemudian menjadi Ketua Hoofdbestuur
Moehammadijah ke empat periode 1936-1942.
[4] M. Sa’ad
Ibrahim, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran islam: Manhaj dan
Aplikasinya, dalam http:/miklotof.wordpress.com.
[7] H. Djarnawi Hadikusumo, Dari Jamaluddin al-Afghani sampai Kh. A
Dahlan, cetakan ke-2 (Yogyakata:Penerbit Persatuan, t.t.).hlm. 80.
[8] Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. ke-3 (Yogyakarta:PP
Muhammadiyah, tt.) hal. 280.
[10] Lihat putusan muktamar tarjih tahun 1995 tentang masalah lima. Dimuat
dalam himpunan putusan tarjih. Hlm. 278
Promo Fans^^poker :
BalasHapus- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis