Langsung ke konten utama

Makalah Kebenaran Ilmiah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi atas segala sesuatu, sehingga secara alamiah manusia berpikir untuk mencari kebenaran. Dimana dengan pemikiran itu maka terciptalah pengetahuan. Pengetahuan tidak hanya tercipta dari suatu pemikiran manusia saja, pengetahuan juga ada yang berasal dari pengalaman hidup manusia.
Mencintai pengetahuan adalah awal proses manusia mau menggunakan daya pikirnya, sehingga mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhayul. Seiring dengan perkembangan zaman, kemudian berubahlah pola pikir orang-orang terdahulu menjadi pola pikir yang berdasar pada pengalaman, rasio dan dibuktikan kebenarannya dengan penelitian.
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan makalah ini, sebagai muslim/ muslimah, maka perlu kita perhatikan dan perlu kita ingat bahwa sumber pengetahuan adalah dari Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Memiliki Ilmu. Seluruh Ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah SWT.
“Ia-lah yang menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, tetapi sedikit saja kamu bersyukur!”(Q.S. Al-Mukminuun ayat 78)”. Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan Rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran.
Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Terkadang hanya dapat di benarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran.


B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.      Apakah Pengertian kebenaran ilmiah?
2.      Apa saja teori kebenaran?
3.      Bagaimana sifat dan kriteria kebenaran?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui serta memahami kebenaran ilmiah.
2.      Mengetahui serta memahami saja teori kebenaran.
3.      Mengetahui serta memahami sifat dan kriteria kebenaran.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pengetahuan dan Kebenaran Ilmiah
1.      Pengetahuan
Dalam buku The Encyclopedia of Philosophy, Paul Edwards mengemukakan definisi pengetahuan bahwa “secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified tru blief).
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam perstiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki objek didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[1]
Jadi, dapat kami simpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil dari pemikiran yang benar oleh suatu subjek terhadap suatu objek sehingga mampu membedakan yang riil dengan yang ilusi dan untuk mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.[2]
Pengetahuan dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu:
a.       Pengetahuan non ilmiah
Pengetahuan non ilmiah disebut juga dengan pengetahuan prailmiah, yaitu segenap hasil pemahaman manusia terhadap sesuatu objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari sebagai produk dari panca indera, termasuk pemahaman yang diperoleh secara gaib dan secara intuisi.


b.      Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Ilmu tentang metode disebut dengan metodologi, yaitu suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.
2.      Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif, di dalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[3]
Kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap- tahap metode ilmiah.[4]Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut: merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, membuat kesimpulan.

B.     Teori Pengetahuan
Bakhtiar mengemukakan ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan itu, yaitu realisme dan idealisme.
1.      Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.[5]
2.      Idealisme
Teori idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologi yang bersifat subjektif. Oleh karena itu pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek).[6]
Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Idealisme lebih menekankan pengetahuan dengan sudut pandang subjek tentang objeknya tersebut.

C.    Kategori Pengetahuan
Russel membagi kategori pengetahuan menjadi 2 kategori, yaitu: Pengetahuan melalui pengalaman dan pengetahuan melalui deskripsi.
1.      Pengetahuan melalui pengalaman adalah pengetahuan yang didapatkan dari: data indrawi, benda-benda memori, keadaan internal, diri kita sendiri.
2.      Pengetahuan melalui deskripsi yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui: orang lain, benda-benda fisik (merupakan suatu konstruksi bukan data indrawi).
Burhanuddin Salam membedakan pengetahuan dan kebenaran dalam empat kategori, yaitu: Pengetahuan biasa, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.
1.      Pengetahuan biasa yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui indera dan akal, seperti: Es rasanya dingin, pelangi terlihat indah, bunga mawar baunya harum, dan sebagainya.
2.      Pengetahuan ilmu yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan metode tertentu (ilmiah). Ilmu adalah pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Hanyalah pengetahuan yang memiliki kaidah keilmuan yang dapat disebut sebagai ilmu. Jadi, hanyalah suatu objek yang diketahui melalui pengkajian secara ilmiah yang dapat disebut sebagai ilmu.
3.      Pengetahuan filsafat yaitu pengetahuan umum yang merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan (induk ilmu pengetahuan). Diperoleh dengan perenungan/ pemikiran atas ketakjuban dari sesuatu untuk mengetahuinya secara mendalam.
4.      Pengetahuan agama yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan melalui utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.

D.    Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dari dua sumber, yaitu:
1.      Pengetahuan berasal dari perenungan manusia itu sendiri.
2.      Pengetahuan berasal dari pencipta manusia dan alam semesta yaitu wahyu Tuhan.
Pengetahuan yang diperoleh dari dua sumber yang disebutkan diatas, dengan itu manusia memperoleh pengetahuan yang benar, didasarkan atas: rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu.
Bagi manusia yang tidak mempercayai adanya Tuhan seperti materialisme dan komunisme tidak mempercayai jenis pengetahuan ini (berasal dari pencipta manusia). Filsafat sebagai ilmu pengetahuan termasuk jenis pengetahuan yang disebut pertama karena manusialah yang berfilsafat sehingga timbullah pengetahuan.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antara lain:
1.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kebenaran pengetahuan. Pengetahuan yang benar dapat diperoleh dan diukur dengan akal/ rasio. Manusia memperoleh pengetahuan melalui aktivitas menangkap objek.
2.      Empirisme
Aliran ini menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman konkret, yaitu pengalaman inderawi. Misalnya, manusia tahu es dingin dan api panas karena ia menyentuhnya. Jadi menurut aliran ini, pengalaman inderalah sumber pengetahuan yang benar, dan metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode ekperimen.
3.      Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Kemampuan ini hampir sama dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.
4.      Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada utusan-Nya. Kemudian pengikutnya menerima dengan keyakinan. Berdasarkan keyakinan inilah yang menjadi titik tolak dalam agama dan melalui pengkajian selanjutnya dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Disinilah letak perbedaan agama dengan ilmu pengetahuan, agama dimulai dengan rasa percaya dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain umpamanya ilmu yang dimulai dari rasa tidak percaya dan mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai kepada kebenaran yang konkret.

E.     Sifat Dan Teori Kebenaran
1.      Sifat Kebenaran menurut perspektif ilmu, Agama dan Filsafat.
Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif agama adalah kebenaran yang bersifat mutlak dan tidak perlu diasingkan kebenarannya karena merupakan kebenaran wahyu yang diterima melalui proses imaniah dan logika sebagai proses pikir penunjang. Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif sains (ilmu) adalah kebenaran yang bersifat relatif dan masih perlu disangsikan kebenarannya, melalui penelitian ilmiah hanya sekitar 95 sampai 99% atau sifatnya tidak mutlak. Sedangkan kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif filsafat juga merupakan kebenaran yang tidak bersifat mutlak dan masih perlu disangsikan kebenarannya melalui proses logika yang lebih radikal. [7]
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanudin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik, dan dengan common sense, semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya yang diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Common sense diperoleh oleh pengalaman sehari-hari seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga,makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah tadah hujan.[8]
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam ,yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistemasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun,dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode,melalui observasi,eksperimen, klasifikasi, dimana analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi,pemikiran logika diutamakan,netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif),karena dimulai dengan fakta. Ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati pancaindera manusia.
Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan ke dalam kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid,filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflekif dan kritis,sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.[9]
Keempat, pengetahuan agama yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan,yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal.
Sifat dasar kebenaran ilmiah dibutuhkan bukan hanya kebenaran logis melainkan juga kebenaran empiris. Juga bukan hanya kebenaran empiris melainkan juga kebenaran logis. Diharapkan pula bahwa kebenaran ilmiah yang logis dan empiris itu pada akhirnya dapat diterapkan dan digunakan bagi kehidupan manusia.[10]
Atas dasar ini, kita dapat mengatakan bahwa kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling kurang tiga sifat dasar sebagai berikut : struktur yang rasional-logis, isi empiris, dan dapat diterapkan (pragmatis).
Pertama, yang dimaksudkan dengan struktur kebenaran ilmiah yang rasional-logis, adalah bahwa kebenaran ilmiah selalu dicapai berdasarkan kesimpulan yang logis dan rasional dari proposisi atau premis-premis tertentu. Proposisi-proposisi ini dapat saja berupa teori atau hukum ilmiah yang sudah terbukti benar dan diterima sebagai benar atau dapat pula mengungkapkan data atau fakta baru tertentu. Dengan demikian, proposisi yang menjadi kesimpulan yang dianggap benar dapat diperoleh melalui deduksi atau melalui induksi. Kalau dicapai melalui deduksi, itu berarti kesimpulan tersebut diperoleh sebagai konsekuensi logis dari proposisi tertentu yang dianggap benar.
Proposisi yang dianggap benar ini dipakai sebagai asumsi teoretis. Kalau dicapai melalui proses induksi, berarti yang dilakukan adalah suatu proses generalisasi yang mengungkapkan hubungan tertentu di antara berbagai fakta yang telah ditemukan.
Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, bias memahami kebenaran ilmiah ini. Atas dasar ini kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang berlaku universal. Artinya, proposisi, kesimpulan, atau teori yang diterima sebagai benar, tidak hanya benar bagi orang tertentu tetapi benar bagi semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara baik.
Salah satu catatan yang perlu diberikan di sini adalah bahwa sifat rasional perlu dibedakan dari sifat “masuk akal”(reasonable).Sifat rasional terutama berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup ilmu pengetahuan. Contohnya, tindakan marah, menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak rasional. Atau,”Banyak anak,banyak rezeki.” Pernyataan ini bias dianggap tidak rasional karena banyak anak. Sering kali dikaitkan dengan kemiskinan. Tetapi, dalam lingkungan social ekonomi tertentu, pernyataan ini dapat sangat “masuk akal” karena dalam pola keluarga luas semakin banyak anak semakin banyak tenaga kerja yang bisa menopang seluruh keluarga .[11]
Kedua, Sifat empiris dari kebenaran ilmiah mau mengatakan bahwa bagaimanapun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam dunia. Ini tidak berarti bahwa tidak ada spekulasi dalam ilmu pengetahuan, spekulasi tetap ada. Tetapi, sampai tingkat tertentu, spekulasi bisa dibayangkan sebagai real atau tidak karena kendati suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu pula dicek apakah pertanyaan tersebut juga benar secara empiris.
Ketiga, Sifat pragmatis terutama mau menggabungkan kedua sifat kebenaran diatas. Dalam arti sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris, pernyataan tersebut juga harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu berguna untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.[12]
Sifat kebenaran ilmu pengetahuan adalah positif ( sampai saat ini ) dan nisbi (relatif). Ilmu pengetahuan dimulai dengan kerauan atau bertanya (?),sesudah meyakini kebenarannya lalu menyetujuinya (!) dan sesudah menyetujuinya lantas bertanya lagi yang dimanifestasikan dalam bentuk riset (research),pengalaman (empiri) dan percobaan (experiment) (?).Jadi kode rumus ilmu pengetahuan ialah: “? ! ?”.Itulah sebabnya ilmu pengetahuan itu berkembang terus sebagai hasil dinamika penelitian itu.[13]
2.      Teori Kebenaran
Secara tradisional dikenal dua teori kebenaran, yaitu: teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran korespondensi. Michael Williams (Muhajir, 1998:13) mengenalkan 5 teori kebenaran, yaitu: kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi. Muhajir (ibid) menambahkannya dengan kebenaran paradigmatik, dan Bakhtiar (2004:121) mengemukakan bahwa agama juga sebagai teori kebenaran.
a.       Kebenaran Koherensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheren atau konsisten.[14] Sebagai contoh, kita beranggapan bahwa setiap tumbuhan pasti akan mati. Jika bunga adalah tumbuhan, maka pernyataan bahwa bunga akan mati merupakan pernyataan yang benar. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b.      Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondensi yaitu sesuatu dikatakan benar apabila ada kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri. Ukuran dari teori ini bisa dikatakan benar apabila pernyataan sesuai dengan kenyataan. Misalnya: Banjarmasin adalah Ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan (benar) – pernyataan dan kenyataan sesuai. Kalau Pontianak adalah ibu kota provinsi Kalimantan Selatan (salah) – pernyataan tidak sesuai dengan kenyataan, karena Pontianak bukan ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.
c.       Kebenaran performatif
Kebenaran performatif yaitu sesuatu dikatakan benar apabila memang dapat diaktualkan dalam tindakan. Apa bila sesuatu yang tidak mungkin dapat dikerjakan, maka teori performatif menyatakan hal yang tidak benar (salah). Misalnya: Menyediakan komputer untuk proses pembelajaran di Daerah yang tidak tersedia tenaga listrik. Hal ini tidak benar (salah) karena komputer tersebut tidak dapat dioperasikan.
d.      Kebenaran pragmatik
Kebenaran pragmatis, sesuatu dikatakan benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu bersifat fungsional. Artinya: mempunyai kegunaan praktis atau mendatangkan manfaat (utility) bagi kehidupan manusia. Sebaliknya dikatakan salah jika pernyataan itu tidak mendatangkan manfaat.
e.       Kebenaran proposisi
Kebenaran proposisi yaitu suatu kebenaran yang dilihat dari segi persyaratan formal suatu proposisi. bukan materialnya.
f.       Kebenaran paradigmatik
Kebenaran Struktural Paradigmatik adalah perkembangan dari kebenaran korespondensi sebagai akibat dari rekonstruksi rasional menjadi suatu paradigma yaitu suatu kebenaran jika ada hubungan struktural antar berbagai sesuatu yang konstan.
g.      Kebenaran Agama
Kebenaran Agama, berbeda dengan teori kebenaran lainnya yang mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia. Kebenaran agama lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sesuatu yang benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

F.     Kriteria Kebenaran
1.      Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dimaksud oleh pernyataan tersebut. Dengan demikian ada lima unsur yang diperlukan, yaitu: statemaent (pernyataan), persesuaian (agreemant), situasi (situation), kenyataan (realitas), putusan (judgements).
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel.
2.      Teori Konsistensi atau Koherensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori konsistensi untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesan dan comprehension-nya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin berbeda dengan apa yang di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3.      Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : sesuai dengan keinginan dan tujuan, sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filosuf Amerika tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).





G.    Tingkat Kebenaran
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1.      Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia
2.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
3.      Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, di samping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indera.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara baik, bias memahami kebenaran ilmiah ini. Atas dasar ini kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang berlaku universal. Artinya, proposisi, kesimpulan, atau teori yang diterima sebagai benar, tidak hanya benar bagi orang tertentu tetapi benar bagi semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara baik.
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam  pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus.
Dengan sifat kebenaran ilmiah, adalah positif (sampai saat ini) dan nisbi (relatif) itulah sebabnya ilmu pengetahuan itu berkembang terus sebagai hasil dinamika penelitian itu.

B.     Saran
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa dipahami, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat berterimakasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai penyempurna makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Adib, H.Mohammad. 2011, Filsafat Ilmu, cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Hasan, Erliana. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Keraf. A. Sonny, Dua Mikhael. 2011.Ilmu Pengetahuan : sebuah tinjauan filosofis.Jakarata: Kansius
Salam, Burhanudin. 2009, Pengantar Filsafat, cet.VIII, Jakarta: Bumi aksara.
Susanto, Ahmad. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wiramihardja A. Sutardjo. 2009, Pengantar Filsafat, Cet. III, Bandung: Refika aditama


[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 86.
[2] Adib, H.Mohammad. 2011, Filsafat Ilmu, cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 67

[3] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011) hlm. 85
[4] Wiramihardja A. Sutardjo. 2009, Pengantar Filsafat, Cet. III, Bandung: Refika aditama Hal 47
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 94.
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 96.
[7] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011) hlm. 69
[8] Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta, Rajawali Pers, 2011) Hal. 87
               
[9]  Ibid
[10] Keraf & Dua, Ilmu Pengetahuan:Sebuah Tinjauan Folosofis, (Jakarta, Kanisius, 2011). Hal. 75
[11] Ibid
[12] Ibid. Hal. 76
[13] Salam, Burhanudin. 2009, Pengantar Filsafat, cet.VIII, Jakarta: Bumi aksara.
Hal 105
[14] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011) hlm. 86

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

Makalah 10 Tantangan Masa Depan (Administrasi Pembangunan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seperti yang apat disaksikan dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan besar menyangkut aktivitas kehidupan manusia. Perkembangan dan perubahan aktivitas manusia dan masyarakat suatu negara menuntut Pemerintah suatu negara untuk memiliki kualitas dan kemampuan mengatur dan melayani kebutuhan, harapan dan tuntutan yang semakin lama semakin kritis dan semakin besar dan kompleks. Sejalan dengan perkembangan tersebut, dimana negara negara di dunia semakin menglobal seolah tanpa batas menyebabkan administrasi negara harus mampu untuk dapat mengimbangi berbagai tuntutan dan kebutuhan untuk mengatasi dan mengantisipasi perubahan yang sangat cepat tersebut. Tidak hanya peningkatan aspek praktis yang perlu diperhatikan, tetapi hal yang berkaitan dengan aspek teoritis dan ilmiah perlu juga mengadaptasi perhatian. Berkaitan dengan persoala...