BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur desentralisasi
di Negara Republik Indonesia, dimana UU ini telah member kewenangan kepada
daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Pemberian otonomi daerah
seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskreksi) kepada
daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar
tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan
keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat.
Otonomi daerah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah daerah ditingkat
provinsi/kabupaten dan kota. Akan tetapi esensi dari pembangunan daerah itu
dimulai dari pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintah desa. Akan tetapi
dalam pelaksanaan pembangunan desa sangatlah tergantung dengan pendapatan asli
desa dan swadaya, oleh karena itu jika pembangunan desa hanya mengandalakan
dari sumber dana yang ada maka sulit rasanya realisasi untuk pembangunan desa.
Setelah
berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur
tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal
sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa
sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah
desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan
pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat
antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana
desa yang akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN.
Dengan
disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung
maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang
tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada
kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bias
saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan
pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh
kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana
sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang
seyogyanya pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan
dan kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu
daerah akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi,
dimana daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan
pembangunan daerahnya sendiri.
.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas
setidaknya ada 3 hal yang dapat dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah hubungan antara Desa dan otonomi daerah ?
2. Bagaimanakah pengaturan keuangan daerah dan alokasi
dana Desa ?
3. Bagaimanakah pendapat para pihak terhadap adanya
alokasi dana Desa ?
4. Bagaimanakah mengimplementasikan dana Desa untuk
kemandirian daerah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Memahami hubungan antara Desa dan otonomi daerah.
2. Memahami pengaturan keuangan daerah dan alokasi dana
Desa.
3. Memahami pendapat para pihak terhadap adanya alokasi
dana Desa ?
4. Memahami mengimplementasikan dana Desa untuk
kemandirian daerah.
5.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Berikut ini adalah pengertian regional
otonomi menurut para ahli:
1. Benyamin Hoesein
Menurut Benyamin Hoesein, pengertian otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional Negara
secara informal berada diluar pemerintah pusat.
2. Ateng Syarifuddin
Menurut Ateng Syarifuddin, pengertian otonomi daerah
adalah kebebasan atau kemandirian yang terbatas dimana kemandirian itu terwujud
sebagai suatu pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
3. F. Sugeng Istianto
Menurut Sugeng Istianto, pengertian otonomi adalah suatu
Hak dan wewenang guna untuk mengatur serta mengurus sebuah rumah tangga daerah.
4. Vincent Lemius
Menurut Vincent Lemius, definisi otonomi daerah adalah
suatu kebebasan atau kewenangan dalam membuat suatu keputusan politik maupun
administasi yang sesuai dengan yang ada didalam peraturan perundang-undangan.
5. Syarif Saleh
Menurut Syarif Saleh, pengertian otonomi daerah adalah
suatu hak untuk mengatur serta memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut
ialah hak yang diperoleh dari suatu pemerintah pusat.
6. Sunarsip
Menurut Sunarsip, pengertian otonomi daerah adalah
wewenang daerah untuk mengurus dan mengatur semua kepentingan masyarakat
menurut prakarsa sendiri yang berlandaskan pada aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
7. Philip Mahwood
Menurut Philip Mahwood, regional
autonomy adalah hak dari masyarakat sipil untuk mendapatkan kesempatan
serta perlakuan yang sama, baik dalam hal mengekspresikan, berusaha
mempertahankan kepentingan mereka masing-masing dan ikut serta dalam
mengendalikan penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah.
B.
Tujuan Otonomi Daerah
Ditetapkannya otonomi daerah tentu ada tujuan
yang ingin dicapai. Tujuan utama dari pemberian kewenangan daerah adalah untuk
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat daerah otonom.
Berikut ini beberapa tujuan
dari regional autonomy:
1. Tujuan Politik
Pelaksanaan pemberian kewenangan daerah
bertujuan untuk mewujudkan proses demokrasi politik melalui parti politik dan
DPRD. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan masyarakat setempat
mendapatkan pelayanan yang baik, pemberdayaan masyarakat, serta terciptanya
sarana dan prasarana yang layak.
2. Tujuan Administratif
Ini berhubungan dengan pembagian administrasi
pemerintahan pusat dan daerah, termasuk dalam manajemen birokrasi, serta sumber
keuangan. Pemberian kewenangan daerah juga bertujuan untuk mewujudkan
pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif dan memberikan peluang kepada
warga setempat untuk turut serta dalam menyelenggarakan pemerintahan.
3. Tujuan Ekonomi
Dari sisi ekonomi, otonomi daerah diharapkan
dapat mewujudkan peningkatan indeks pembangunan manusia sehingga kesejahteraan
masyarakat setempat menjadi lebih baik. Selain itu, penerapan otonomi ini
bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kualitas produksi daerah otonom
tersebut sehingga berdampak nyata pada kesejahteraan masyarakat setempat.
C.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya, regional
otonomi dilakukan berdasarkan dasar hukum yang kuat. Berikut ini adalah
beberapa dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 – 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2 , Pasal 18B ayat 1 dan
2.
2. Ketetapan MPR RI Nomor
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian,
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan
Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.
3. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang
Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
4. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
5. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
6. UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah
daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004.
D.
Pengertian Pengelolaan Keuangan Desa
Pengertian/difinisi yang dipetik dari
Permendagri No. 113 Tahun 2014:
Keuangan Desa: Semua hak dan kewajiban Desa
yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
Pengelolaan Keuangan Desa: Seluruh rangkaian
kegiatan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan hingga pertanggungjawaban yang dilaksanakan dalam satu tahun
anggaran, terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
E.
Dasar Hukum dan Ketentuan Pengelolaan
Keuangan Desa
Semua uang yang dipergunakan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa adalah uang Negara dan uang
rakyat, yang harus dikelola berdasar pada hukum atau peraturan yang berlaku,
khususnya:
* UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
* PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
* PP No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber
dari APBN
* Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.
Serta peraturan lain yang terkait, antara
lain:
* UU Tentang Keterbukaan Informasi Publik
* Peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Desa.
* Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang Pengelolaan
Keuangan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tercantum pada Pasal 71 – 75 yang
mencakup: Pengertian keuangan desa, Jenis dan sumbersumber Pendapatan Desa,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), Belanja Desa, dan Kepala Desa
sebagai pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa. Kemudian dijabarkan lebih
rinci dalam PP No. 43 Tahun 2014, sebagaimana termuat pada Pasal 80
(Penghasilan Pemerintah Desa), dan Pasal 90 – 106.
Ketentuan-ketentuan pokok dimaksud selanjutnya dijabarkan
secara detil/teknis dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014. Dengan demikian,
pengelola keuangan desa wajib menjadikan Permendagri dimaksud sebagai "al
kitab" yang harus selalu dirujuk, agar terhindar dari neraka di dunia
(Penjara) dan kelak di akhirat (Jahanam).
F.
Asas-Asas Pengelolaan Keuangan Desa
Asas adalah nilai-niliai yang menjiwai
Pengelolaan Keuangan Desa. Asas dimaksud melahirkan prinsip-prinsip yang
menjadi dasar dan harus tercermin dalam setiap tindakan Pengelolaan Keuangan
Desa. Asas dan prinsip tidak berguna bila tidak terwujud dalam tindakan. Sesuai
Permendagri No. 113 Tahun 2014, Keuangan Desa dikelola berdasarkan asas-asas,
yaitu:
1. Transparan
Terbuka - keterbukaan, dalam arti segala
kegiatan dan informasi terkait Pengelolaan Keuangan Desa dapat diketahui dan
diawasi oleh pihak lain yang berwenang. Tidak ada sesuatu hal yang
ditutup-tutupi (disembunyikan) atau dirahasiakan. Hal itu menuntut kejelasan
siapa, berbuat apa serta bagaimana melaksanakannya.
Transparan dalam pengelolaan keuangan
mempunyai pengertian bahwa informasi keuangan diberikan secara terbuka dan
jujur kepada masyarakat guna memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui secara
terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan
perundang-undangan (KK, SAP,2005).
Dengan demikian, asas transparan menjamin hak
semua pihak untuk mengetahui seluruh proses dalam setiap tahapan serta menjamin
akses semua pihak terhadap informasi terkait Pengelolaan Keuangan Desa.
Transparansi dengan demikian, berarti Pemerintah Desa pro aktif dan memberikan
kemudahan bagi siapapun, kapan saja untuk mengakses/ mendapatkan/ mengetahui
informasi terkait Pengelolaan Keuangan Desa.
2. Akuntabel
Mempunyai pengertian bahwa setiap tindakan
atau kinerja pemerintah/lembaga dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak
yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan akan
pertanggungjawaban (LAN, 2003). Dengan denikian, pelaksanaan kegiatan dan
penggunaan anggaran harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, mulai dari
proses perencanaan hingga pertanggungjawaban.
Asas ini menuntut Kepala Desa
mempertanggungjawabkan dan melaporkan pelaksanaan APBDesa secara tertib, kepada
masyarakat maupun kepada jajaran pemerintahan di atasnya, sesuai peraturan
perundang-undangan.
3. Partisipatif
Mempunyai pengertian bahwa setiap tindakan
dilakukan dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Pengelolaan Keuangan Desa, sejak tahap
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggugjawaban wajib
melibatkan masyarakat para pemangku kepentingan di desa serta masyarakat luas,
utamanya kelompok marjinal sebagai penerima manfaat dari program/kegiatan
pembangunan di Desa.
4. Tertib dan Disiplin Anggaran
Mempunyai pengertian bahwa anggaran harus
dilaksanakan secara konsisten dengan pencatatan atas penggunaannya sesuai
dengan prinsip akuntansi keuangan di desa. Hal ini dimaksudkan bahwa
pengelolaan keuangan desa harus sesuai dengan Peraturan Perundangundangan yang
berlaku.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Desa dan Otonomi
Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No.32 Tahun 2004 prinsip pelaksanaan
otonomi daerah adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan
pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa
pemunculan “ Pemerintah Daerah” di Indonesia tidak terjadi begitu saja.
Indonesia dengan nama awal “ Negara Kesatuan Republik Indonesia” sangat identik
dengan sentralistik, kekuasaan terpusat. Pergeseran sentralistik kearah
desentralisasi, konsekuensinya ditandai dengan pelaksanaan local
government, yang memiliki tiga esensi, yaitu :
1. Pemerintah daerah sebagai organ yang melaksanakan
urusan dan fungsi yang desentralisasi;
2. Sebagai pemerintahan daerah yang mengacu pada fungsi
yang dijalankan dalam kerangka desentraliasi;
3. Sebagai daerah otonom lokasi dimana lokalitas berada
dan membentuk kesatuan hukum sendiri yang meskipun tidak berdaulat tetapi
memiliki hak untuk mengurus dirinya-sendiri (Muluk 2006:63).
Otonomi daerah sebagaimana
dituangkan dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
maupun Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah
sejak wacana itu ada memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan
segenap harapan bahwa melaui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap
adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu
sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal. Prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Proses
desentralisasi yang telah berlangsung telah memberikan penyadaran tentang
pentingnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal.
Meskipun pada saat ini kebijakan yang ada masih menitik-beratkan otonomi pada
tingkat Kabupaten/Kota, namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut
harus dimulai dari level pemerintahan ditingkat paling bawah, yaitu desa.
Pemerintah desa diyakini lebih mampu melihat prioritas kebutuhan masyarakat
dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara nyata memiliki ruang lingkup
permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu, pembangunan pedesaan yang
dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki,
aspirasi masyarakat dan prioritads pembangunan pedesaan yang telah ditetapkan.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang
Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih
luas dalam pengelolaan daerahnya. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah
terhadap pengembangan wilayah pedesaaan adalah adanya anggaran pembangunan
secara khusus yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) untuk pembangunan wilayah pedesaan, yakni dalam bentuk Alokasi Dana Desa
(ADD). Inilah yang kemudian melahirkan suatu proses baru tentang desentralisasi
desa diawali dengan digulirkannya Alokasi Dana Desa (ADD) (Rosalinda, 2014:4).
Dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 yang dinamakan dengan Desa adalah “kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Selanjutnya dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa,
bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
“kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan”.
Dengan demikian, desa harus
dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak dan kekuasaan
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Artinya,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi tetap memberikan dasar menuju
self governing community, yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri.
Berdasarkan pemahaman ini, desa memiliki posisi strategis yang memerlukan
perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Apabila dipahami lebih seksama,
desa merupakan tempat bertemunya arus kebijakan pemerintah dan aspirasi
masyarakat. Dengan kata lain, desa merupakan tempat terwujudnya kerjasama
antara Pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dalam arti
ini, desa mempunyai posisi strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
dan pelayanan masyarakat (Maryunani, 2004:1).
Dianutnya konsep desentralisasi,
khususnya otonomi dengan segala variannya telah membawa bangsa dan Negara RI
dalam suasana yang memungkinkan daerah untuk menganut dan mengurus kepentingan
daerahnya sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
namun masih dalam kerangka NKRI. Konsep desentralisasi dalam hal ini
adalah otonomi dalam tataran teori mapun prakteknya tidak serta merta dapat
dipisahkan dari persoalan yang berhubungan dengan keuangan atau
finansial. Otonomi yang dalam persepektif UU No. 33 Tahun 2004,
diklasifikasikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat,
mengandung makna bahwa hak, wewenang serta kewajiban tersebut untuk
“membiayai”atau bagir manan menggunakan istilah “membelanjai” diri sendiri
(Fauzan, 2006: 287).
B.
Keuangan Daerah dan
Alokasi Dana Desa
Dalam rangka membiayai
penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya, daerah harus mempunyai sumber-
sumber pendapatan sendiri, baik karena adanya penyerahan urusan wewenang oleh
pemerintah pusat kepada daerah seperti pajak dan retribusi daerah maupun
sumber-sumber pendapatan yang secara turun temurun memang telah dikelola dan di
urus oleh daerah. Kewenangan untuk mendapatkan sumber- sumber penerimaan
melalui mekanisme “pemungutan” bukan sekedar untuk mendapatkan dana sebagai
upaya membiayai tetapi lebih dari itu merupakan pertanda yang mencerminkan
adanya kebebasan dan kemandirian menentukan cara-cara dalam rangka mengatur dan
mengurus semua urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan (Fauzan, 2006:
287).
Dalam pelaksanaan otonomi daerah
pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk memberikan sumber dana kepada desa,
supaya pembangunan desa lebih cepat terealisasi serta berguna bagi kemandirian
daerah. Dimana memang esensi kemandirian sebuah daerah adalah dari pembangunan
sebuah desa, jika pembangunan desa berjalan dengan baik dan cepat maka tidak
menutup kemungkinan kemandirian daerah kabupaten/kota bias terealisasi dengan
baik. Selain itu PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur
tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan
daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal
desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Guna mewujudkan otonomi daerah
dan pembangunan daerah yang dimulai dari desa maka pemerintah desa mempunyai
sumber-sumber pembiayaan untuk memajukan sebuah desa.
Pemerintah daerah juga harus
mempunyai kemampuan untuk menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan (fiscal
need) yang di perlukan untuk membiayai penyelenggaraan dan menyediakan
pelayanan yang di perlukan masyarakat daerah. Artinya pemerintah daerah harus
dapat melakukan perhitungan-perhitungan yang matang dan rasional mengenai
rencana kegiatan-kegiatan yang akan di laksanakn sehubungan dengaan penyerahan
urusan pemerintahan kepada daerah, berdasarkan rencana kegiatan
tersebut,pemerintah daerah harus dapat menentukan secara tepat dan objektif
rencana pembiayaan masing-masing kegiatan, sehingga akan di ketahui kebutuhan
keuangan (fiscal need) yang di perlukan dalam satu tahun (Fauzan,
2006: 294).
Pemerintah pusat harus dapat
memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masng daerah untuk
membiayai kekurangan dana (fiscal gap) yang merupakan selisih
antara fiscal need dengan fiscal capacity, artinya
pemerintah pusat harus secara cermat melihat kondisi objektif dari suatu daerah
sehingga dalam menentukan besarnya subsidi harus didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima oleh daerah penerima subsidi.
Beberapa kelemahan dalam program
yang pernah ada sebelumnya dapat di jumpai dalam mekanisme pemberian bantuan
dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa DAU,
antara lain sebagai berikut:
1. Ketidak adilan dalam pembagian DAU;
2. Kurang transparannya emerintah pusat dalam membagi DAU
ke daerah, padahal jika di lihat dari rumus DAU dalam UU No 25 Tahun 1999
tersebut di perkirakan semua daerah memiliki kepastian jumlah yang di terima.
Namun dalam implementasinya rumusan-rumusan tersebut tidaklah pasti dan masih
terbukanya lobi-lobi daerah dalam upaya memperbesar DAU;
3. Masih adanya perbedaan persepsi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah tentang penggunaan DAU. Bagi pemerintah pusat
perhitungan pendapatan daerah untuk DAU berdasarkan selisih antara kebutuhan
daerah dan potensi daerah, dengan memasukkan variable jumlah penduduk, luas
wilayah, penduduk miskin dsb. Sedangkan daerah dalam kenyataannya, justru
mengukur DAU dari APBD yang antara lain merupakan komponen gaji,
non-gaji , dan pembangunan sehingga yang terjadi adalah tidak adanya
keterkaitan dalam penggunaan DAU antara pusat dan daerah;
4. Masih kurang transparannya pemerintah pusat dalam
membagi hasil DAU (Fauzan, 2006:297)
Setelah berjalan beberapa tahun
maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur tentang desa, dimana dalam
UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal sebesar 1 M untuk
kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa sangatlah berfariasi,
dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah desa dan banyaknya
jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan pemerintah sebesar 1-1,4 M.
Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat antusias oleh pemerintah baik
desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang
dana desa, maka disebutkan bahwa dana desa yang akan dikucurkan langsung kepada
pemerintah desa bersumber dari APBN (Atmojo, 2014:1).
C.
Implementasi Dana
Desa Untuk Kemajuan Bangsa
Dengan disahkannya UU yang
mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung maka timbullah pro
dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang tidak setuju akan
adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada kepala desa hal ini
disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bisa saja dana sebesar itu
disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan
yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh kalangan masyarakat. Ada juga
yang setuju dengan pemberian langsung dana sebesar 1 M, pemberian dana ini guna
percepatan pembangunan daerah yang seyogyanya pembangunan daerah diawali dari
kemandirian desa. Jika pembangunan dan kemandirian desa sudah terlakansa maka
secara otomatis kemajuan suatu daerah akan terlihat, hal ini juga untuk
menjawab UU tentang desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan yang
seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri..
Melihat Pro dan Kontra yang ada,
saya melihat bahwa sebenarnya UU
Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita
pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud.
Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU
ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan
dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. Desa benar-benar menjadi
subjek, tak lagi sekedar objek. Karena selama ini, desa hanya selalu menjadi
obyek pembangunan dan eksploitasi dari sistem pembangunan nasional. Padahal,
segenap sumber daya agraria dan termasuk sumber daya manusia di pedesaan. Desa
menjadi sumber pangan nasional tetapi tidak mendapatkan prioritas dalam
kebijakan pembangunan nasional. UU ini secara progresif berupaya menurunkan
semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa, tak hanya di daerah. Dengan
bahasa lain, UU Desa merupakan langkah maju dalam pembangunan pedesaan dan
sebuah capaian riil dari desentralisasi di level grass root.
Undang-Undang Desa ini juga
diharapkan bisa memajukan adat istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun
sistem pemerintahan lebih efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat,
memajukan perekonomian masyarakat desa serta memupus kesenjangan pembagunan
nasional. Untuk mengoptimalkan peluang tersebut, maka strategi yang perlu
diperjuangkan adalah mendidik rakyat desa, supaya memiliki kemampuan untuk
mengorganisasikan dirinya (self help) dan memobilisasi semua sumber daya
yang ada di desa. Penguatan kapasitas masyarakat desa dengan cara mendorong
mereka untuk terlibat langsung dalam mengontrol dan mengawasi pemerintah desa,
menjadi kata kunci untuk mencapai masyarakat desa yang makmur, adil dan
demokratis. Tanpa itu, masyarakat desa tetap terbelit dalam persoalan jeratan
kemiskinan.
Untuk menciptakan semua itu, ada
beberapa hal yang menurut saya harus bisa dilaksanakan agar dapat tercipta
pengelolaan dana desa yang akuntabel, transparan dan sesuai dengan yang
diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan mempertimbangkan kelemahan dan
kelebihan dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara pusat
dan daerah pada masa sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara
pemerintahan desa sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus
dapat menjamin:
1. Pendistribusian kewenangan yang adil dan rasional
antara pemerintah pusat dan daerah dalam hal memungut dan menggunakan
sumber-sumber pendapatan pemerintah;
2. Pembagiaan yang adil dan memadai di antara pemerintah
daerah yang satu dengan yang lainnya atas sumber-sumber pendapatan dalam rangka
pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan.
3. Kemandirian daerah dalam menentukan cara mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat dan daerah yang bersangkutan;
4. Keterlibatan segenap komponen masyarakat
daerah dalam menentukan besarnya distribusi dana pertimbangan maupun
dana bagi hasil, serta dalam menentukan kriteria atau variabel yang akan di
pergunakan sebagai rumus penentuan besarnya dana bantuan dari pemerintah pusat,
hal tersebut merupakan pencerminan pelaksanaan daerah yang merupakan
konsekuensi negara kesatuan yang didesentralisasikan;
5. Dana Desa diarahkan untuk pemberian insentif kepada
pemerintah daerah untuk turut mengsukseskan program-program nasional yang
bersifat prioritas.
6. Adanya audit dan pengawasan yang berkesinambungan
untuk mencegah penyelewengan dari penggunaan dana desa serta menjamin
penggunaannya sesuai dengan yang telah diagendakan.
D. Peran pemerintah dalam Memanfaatkan Dana Desa untuk Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
Desa
atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum NKRI terbentuk. Pengertian
Desa dalam Buku Pintar Dana Desa yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan (DJPK), menyatakan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system
pemerintahan NKRI. Undang -- undang Desa telah menempatkan desa sebagai ujung
tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa diberikan
kewenangan dan sumber dana yang memadai agar dapat mengelola potensi yang
dimilikinya guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam
pelaksanaan UU Desa, berbagai regulasi turunan undang-undang telah diterbitkan
untuk mengatur berbagai hal agar pembangunan desa dapat berjalan sebagaimana
amanat Undang-Undang Desa.
Regulasi
tersebut tertuang di dalam berbagai tingkatan, dimulai dari peraturan
pemerintah, peraturan menteri terkait (Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan
Menteri Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi), hingga peraturan pelengkap yang diterbitkan oleh
daerah.
Agar
berbagai peraturan pelaksanaan UU Desa tersebut dapat diimplementasikan dengan
baik, maka perlu dilakukan penyelarasan dalam penyusunan kebijakan di
masing-masing kementerian, yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pemanfaatan Dana Desa.
Untuk
itu, Pemerintah merancang Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri, yaitu Menteri
Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Bappenas, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Rancangan SKB 4 Menteri tersebut antara lain memuat penguatan peran dan sinergi
antar kementerian dalam perencanaan, penganggaran, pengalokasian, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi, penguatan supervisi kepada pemda kabupaten/kota, dan
desa.
Lahirnya
UU No.6/2014 tentang desa telah membuka peluang bagi desa untuk menjadi mandiri
dan otonom, serta sebagai wujud pengakuan Negara terhadap Desa, khususnya
dalam rangka memperjelas fungsi dan kewenangan desa, serta memperkuat
kedudukan desa dan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan, dimana
diperlukan kebijakan penataan dan pengaturan mengenai desa.
UU
No.6/2014 ini memberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan
pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh
program -- program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut
'otonomi desa'. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta
bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut.
Otonomi
desa yang dimaksud adalah otonomi pemerintah desa dalam melakukan pengelolaan
keuangan desa. Salah satu program yang diberikan pemerintah saat ini adalah
pemberian dana desa dengan proporsi 90:10. Tujuan pemberian dana desa ini
adalah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
dan pemberdayaan masyarakat desa.
Namun,
dalam pelaksanaan penggunaan dana desa masih dirasakan belum efektif
dikarenakan belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah desa dan
belum terlibatnya peran serta masyarakat secara aktif dalam pengelolaan dana
desa.
Demi
memperkuat otonomi desa, pemerintah kabupaten/kota perlu mengupayakan beberapa
kebijakan. Pertama, memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali
potensi SDA (Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
desa dengan tetap memperhatikan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan. Kedua,
memberikan bantuan kepada desa berdasar peraturan perundangan yang berlaku.
Ketiga, memfasilitasi upaya capacity building tidak hanya bagi
aparatur desa, tetapi juga bagi komponen-komponen masyarakat melalui korbinwas
(koordinasi, bimbingan dan pengawasan).
Guna
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan desa dalam segala aspeknya sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki, UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan mandat kepada Pemerintah untuk
mengalokasikan Dana Desa. Dana Desa tersebut dianggarkan setiap tahun dalam
APBN yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan
desa.
Kebijakan
ini sekaligus mengintegrasikan dan mengoptimalkan seluruh skema pengalokasian
anggaran dari Pemerintah kepada desa yang selama ini sudah ada. Saat ini masih
terdapat anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) yang berbasis desa mencapai sekitar
0,28% dari total anggaran K/L Tahun 2017. Kedepan dana-dana tersebut seharusnya
diintegrasikan dalam skema pendanaan Dana Desa, sehingga pembangunan Desa
menjadi lebih optimal.
Dana
Desa adalah dana APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD
Kabupaten/kota dan diprioritaskan untuk pelaksanaan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa.
Dana
Desa yang bersumber dari APBN adalah wujud pengakuan negara terhadap kesatuan
masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa, hak asal usul dan/ atau
hak tradisional.
Disamping
itu, pemberian Dana Desa juga dimaksudkan untuk mendukung meningkatnya
kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan, serta komitmen Pemerintah
untuk secara serius memperkuat pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal, sekaligus wujud dari implementasi Nawacita, khususnya cita ketiga,
yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat pembangunan daerah
dan desa dalam kerangka NKRI.
Untuk
itu, setiap rupiah dari Dana Desa tersebut, harus diupayakan untuk dioptimalkan
pada program dan kegiatan yang produktif, sehingga mampu untuk memberikan
output dan outcome yang berkelanjutan. Pelaksanaan kegiatan tersebut juga harus
mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik. Dengan demikian, Dana Desa diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
dan mendukung upaya perluasan kesempatan kerja, pengentasan kemiskinan, dan
pengurangan ketimpangan.
Dalam
hal ini akan membahas mengenai Peran Administrator Kesehatan Masyarakat dalam
Memanfaatkan Dana Desa untuk Peningkatan Kesejahterakan Masyarakat, seperti
yang sudah kita ketahui bahwa Administrator Kesehatan Masyarakat perlu
menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan untuk dapat melaksanakan
rencana, antara lain :
1.
Pengetahuan dan keterampilan motivasi
2.
Pengetahuan dan keterampilan komunikasi
3.
Pengetahuan dan keterampilan
kepemimpinan
4.
Pengetahuan dan keterampilan pengarahan
5.
Pengetahuan dan keterampilan pengawasan
6.
Pengetahuan dan keterampilan supervisi
Administrasi
Kesehatan adalah suatu proses yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengawasan, pengkoordinasian, dan penilaian terhadap sumber, tata
cara dan kesanggupan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
terhadap kesehatan, perawatan kedokteran serta lingkungan yang sehat dengan
jalan menyediakan dan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang ditujukan
kepada perseorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Dari
uraian diatas diketahui bahwa salah satu peran administrator dalam pengelolaan
dana desa yaitu pengawasan, pengawasan dalam hal ini adalah pengawasan terhadap
pengelolaan dana desa yang dimulai dari tahap perencanaan, penganggaran,
penyaluran serta penggunaan dana desa.
Sehingga
dalam hal ini administrator harus turut berperan aktif dalam proses pengelolaan
keuangan desa, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan pelaporan dan
pertanggungjawaban keuangan desa sehingga administrator dapat menjadi
pendamping dalam melakukan tata kelola Dana Desa.
Berdasarkan
Permendes No.3/2015 tentang Pendampingan Desa, setiap desa perlu pendampingan
dalam melakukan tata kelola Dana Desa. Apa itu Pengelolaan Keuangan Desa ?
pengelolaan keuangan desa yaitu keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan desa.
Dasar hukum pengelolaan keuangan desa tercantum dalam Permendagri No.113 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Tujuan
pendampingan desa ini adalah untuk meningkatkan kapasitas, efektivitas dan
akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa; meningkatkan prakarsa,
kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang
partisipatif; meningkatkan sinergi program pembangunan antar sektor; dan
mengoptimalkan aset lokal desa secara emansipatoris.
Ruang
lingkup pendampingan desa dilakukan secara berjenjang untuk memberdayakan dan
memperkuat desa. Ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang didasarkan pada
kondisi geografis wilayah, nilai APBDesa, dan cakupan kegiatan yang didampingi.
Selain itu, pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan
pemerintah desa juga melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui
pendampingan masyarakat berkelanjutan, termasuk dalam penyediaan SDM.
Dikutip
dari jurnal 'Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa' oleh Nyimas
Latifah Letty Aziz, Keberadaan tenaga pendamping desa ini dirasakan
perlu, mengingat kapasitas dan kapabilitas SDM desa yang masih rendah sehingga
dalam implementasi penggunaan DD dikhawatirkan akan menjadi hambatan. Namun,
pendampingan desa ini haruslah dibatasi waktu dengan ketentuan kontrak yang
jelas.
Ini mengingat
jumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam pembayaran tenaga pendamping desa
yang diambil dari DD sehingga akan membebani APBN. Namun Proses penyaluran DD
saat ini masih mengalami kendala. Hal ini masih dianggap wajar karena DD
ini merupakan program baru dan masih terus dalam proses perbaikan mengingat
kondisi di lapangan.
Adapun
yang menjadi kendala lemahnya kapasitas dan kapabilitas SDM pemerintahan
daerah, khususnya pemerintahan desa hingga menyebabkan keterlambatan dalam
proses penyaluran DD pada tahun 2015 ini disebabkan sebagian daerah belum
memasukkan DD dalam APBD induk; sebagian daerah terlambat menetapkan
perbup/perwali tentang pengalokasian DD per desa; sebagian daerah harus merubah
penetapan alokasi DD per desa karena jumlah desanya berbeda dengan yang
ditetapkan dalam Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri); sebagian daerah
terlambat menetapkan perbup/perwali tentang pedoman pengelolaan keuangan desa
dan tentang pengadaan barang/jasa di desa; sebagian daerah menambahkan
persyaratan penyaluran DD dari RKUD ke rekening kas desa berupa dokumen
RPJMDesa dan RKPDesa, yang semakin menyulitkan bagi desa untuk segera menerima
DD; sebagian daerah memeriksa dokumen pertanggungjawaban DD sebagai syarat
penyaluran tahapan; terdapat daerah belum berani menyalurkan DD ke desa dan
sebagian desa belum berani menggunakan DD karena belum ada pendamping desa;
sebagian desa belum menetapkan APBDesa; dan kekhawatiran perangkat desa
terjerat kasus hukum.
Selain
penyalurannya, dalam implementasi penggunaan DD terdapat kendala di mana masih
terdapat penggunaan DD di luar prioritas penggunaan, pekerjaan konstruksi
dilakukan seluruhnya oleh pihak ketiga/penyedia jasa, hasil pengadaan tidak
dapat digunakan/dimanfaatkan, pengeluaran DD tidak didukung oleh bukti yang
memadai, kelebihan perhitungan volume RAB, dan kelebihan pembayaran. Kendala
lainnya juga terjadi karena pemungutan dan penyetoran pajak tidak sesuai, dana
disimpan bukan di RKD, dan pengeluaran di luar APBDesa.
Kesemuanya
ini menunjukkan bahwa rendahnya kapasitas dan kapabilitas SDM (aparatur desa)
menyebabkan rendahnya pemahaman terhadap standar akuntasi pemerintah (terkait
transfer dana desa). Berdasarkan pengalaman Provinsi Banten, yang terdiri dari
4 (empat) kabupaten yakni kabupaten Pandeglang dengan jumlah desa sebanyak 326,
kabupaten Lebak dengan jumlah desa sebanyak 340, kabupaten Tangerang dengan
jumlah desa sebanyak 246, dan kabupaten Serang yang memiliki 326
desa.
Dari
keempat kabupaten tersebut, masing-masing menerima alokasi DD pada tahun 2016
sebanyak Rp. 205,56 juta untuk kabupaten Pandeglang, kabupaten Lebak sebanyak
Rp. 215,36 juta, kabupaten Tangerang sebanyak Rp. 168, 76 juta, dan kabupaten
Serang sebanyak Rp. 201,57 juta.
Sayangnya
dari keempat kabupaten tersebut barulah kabupaten Pandeglang yang menyelesaikan
pelaporan penggunaan DD tahap I (60%) dengan laporan penggunaan DD untuk
kegiatan fisik sebesar 98,38%, kegiatan pemberdayaan masyarakat sebesar 1,15%,
dan 0,47% untuk kegiatan pembinaan kemasyarakatan. Sedangkan ketiga kabupaten
lainnya masih dalam proses penyelesaian.
Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan DD masih diprioritaskan pada
kegiatan fisik semata. Ditemukan juga dokumen perencanaan pembangunan desa
dengan APBDesa masih belum selaras.
Oleh
karena itu, perlu dibuat master plan penggunaan Dana desa
sebagai political tool merupakan komitmen eksekutif dan kesepakatan
legislatif atas penggunaan dana desa untuk kepentingan masyarakat desa. Oleh
karena itu dalam hal penggunaan dana desa membutuhkan politicalskill,
coalition building, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang prinsip
manajeman keuangan oleh pengambil kebijakan di desa (kepala desa beserta
perangkatnya).
Kegagalan
dalam pelaksanaan penggunaan dana desa dapat menjatuhkan kepemimpinan kepala
desa atau paling tidak menurunkan kredibilitas pemerintah desa. Disinilah peran
pendamping menjadi penting untuk meningkatkan kualitas SDM desa.
Namun,
keberadaan peran pendamping ini perlu ditetapkan dengan MoU yang jelas sehingga
tidak akan menimbulkan kendala ke depannya apabila kebutuhan atas mereka
berkurang atau ditiadakan sampai dengan kapasitas dan kapabilitas SDM desa
benar-benar siap.
Persoalan
lainnya, keberadaan dana desa yang telah digelontorkan sejak tahun 2016 masih
belum dirasakan manfaatnya secara optimal bagi efektivitas penggunaan DD untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan usaha dan
kerja keras semua pihak mulai dari pemerintah (kemendagri, kemenkeu, kemendes)
dan pemda kabupaten/kota serta pemerintah desa beserta masyarakat desa untuk
terlibat secara aktif dalam proses pembangunan desa, utamanya melalui BPD.
Selanjutnya
dalam tahap Pemantauan merupakan tahapan penting untuk memastikan bahwa
pengalokasian dana desa dapat menjadi instrumen pemerataan pendapatan di desa
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dengan demikian, maka
kesenjangan pembangunan antara perdesaan dengan perkotaan dapat berkurang.
Pemantauan dan pengawasan juga ditujukan untuk mengidentifikasi adanya
penyimpangan sejak dini. Proses pemantauan melibatkan
seluruh stakeholder pengelolaan dana desa baik di tingkat pusat
maupun daerah.
Agar
pengeloloaan dana desa semakin akuntabel, maka diperlukan mekanisme pengawasan.
Semua pihak dapat terlibat dalam mekanisme pengawasan tersebut, yaitu
Masyarakat Desa, Camat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Aparat Pengawas
Intern Pemerintah (APIP), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan dapat kita
ikuti dalam perkembangan terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah
melakukan pengawasan pengelolaan dana desa. Untuk tingkat pusat, pengawasan
tersebut telah dilakukan sinergi dengan semua pihak. Agar mekanisme pengawasan
tersebut semakin efektif maka dimungkinkan diberikan sanksi kepada pihak-pihak
yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan. Dengan
adanya sanksi tersebut maka diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya
pelanggaran dalam pengelolaan dana desa.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
UU
Desa membawa harapan dan peluang besar. Cita-cita
pemerataan pembangunan sebagai capaian mimpi dari kemerdekaan bisa terwujud.
Ragam tantangan yang disinggung sebelumnya bisa dikonversi menjadi peluang. UU
ini memberikan peluang bagi daerah untuk menjadikan desa sebagai pusat
pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat di desa. UU ini secara
progresif berupaya menurunkan semangat desentralisasi sampai ke tingkat desa,
tak hanya di daerah. Undang-Undang Desa ini juga diharapkan bisa memajukan adat
istiadat dan budaya masyarakat desa, membangun sistem pemerintahan lebih
efektif dalam kerangka pelayanan masyarakat, memajukan perekonomian masyarakat
desa serta memupus kesenjangan pembagunan nasional. Untuk mengoptimalkan
peluang tersebut, maka strategi yang perlu diperjuangkan adalah mendidik rakyat
desa, supaya memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dirinya (self help)
dan memobilisasi semua sumber daya yang ada di desa.
B.
Saran
Untuk menciptakan semua itu, ada
beberapa hal yang menurut saya harus bisa dilaksanakan agar dapat tercipta
pengelolaan dana desa yang akuntabel, transparan dan sesuai dengan yang
diamanahkan dalam Undang-undang. Dengan mempertimbangkan kelemahan
dan kelebihan dari sistem desentralisasi dan pola hubungan keuangan antara
pusat dan daerah pada saat sekarang serta kekurangan SDM dari penyelenggara
pemerintahan desa sendiri, maka tata penyelenggaraan UU Desa nantinya harus
dapat menjamin:
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Muhammad Eko.
2014. Implementasi Program Dana Desa 1 Miliar Untuk
MewujudkanKemandirianDaerah. (Online)(http://muhammadekoatmojo.blogspot.com/2014/11/implementasi-program-dana-desa-1-miliar.html,).
Fauzan, Muhammad.
2006. Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat Dan Daerah. Yogyakarta: UII Press.
Haris
Syamsuddin, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2007.
https://www.keuangandesa.info/2015/11/pokok-pokok-pengelolaan-keungan-desa.html
https://www.kompasiana.com/jesuissirodd/5bdc1c1843322f146e2aa634/dana-desa-untuk-pembangunan-dan-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat?page=all
Kementerian Hukum dan
HAM. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014
Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Jakarta: KemenkumHam
Kementerian Hukum dan
HAM. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa. Jakarta: KemenkumHam.
Kompasiana.Com.
2014. Alokasi Dana Desa Dan Tantangannya. (Online).(http://politik.kompasiana.com/2014/08/07/alokasi-dana-desa-dan-tantangannya-667544.html,).
Maryunani.
2004. Alokasi Dana Desa [ADD] Sebagai Alat Penetapan Dana Perimbangan
Keuangan Pemerintah Kabupaten-Desa. Malang: LPEM Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Muluk, Khoirul.2006. Desentralisasi
dan Pemerintahan Daerah.Malang: Bayumedia Publishing.
Rosalinda, Okta.
2014. Jurnal Ilmiah: Pengelolaan Alokasi Dana Desa (Add)
Dalam Menunjang Pembangunan Pedesaan (Studi Kasus : Desa Segodorejo dan Desa
Ploso Kerep, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang). Malang: Universitas
Brawijaya.
Komentar
Posting Komentar