BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pada Umumnya, umat islam
diwajibkan untuk selalu menjadikan kitab suci Al-Quran sebagai landasan dalam
hidup, untuk itu, pengetahuan sejarah perkembangan maupun pengertian dari
Al-Quran itu sendiri harus benar-benar dimengerti. Selain merupakan sumber
utama bagi ajaran islam, Al-qur’an juga sebagai pedoman, sumber rujukan
bagi umat islam yang universal, baik meyangkut kehidupan dunia maupun akhirat.
Ulumul qur’an atau juga di sebut
ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Quran maupun dari segi
pemahaman terhadap apa yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian ilmu
tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu asbabul nuzul dan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Sebelum kita mempelajari
ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu sejarah adanya
ulumul Qur’an. Dengan adanya pokok pembahasan ini diharapkan mahasiswa semakin mencintai
sumber utama umat islam yaitu Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ilmu, Al-Qur’an, dan Ulumul
Qur’an ?
2.
Apa saja yang merupakan ruang lingkup dari ilmu
Al-Qur’an ?
3.
Apa faedah, urgensi dan Tujuan Mempelajari dari
ilmu-ilmu Al-qur’an ?
4.
Bagaimana sejarah serta perkembangan Ulum Quran?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian ilmu, Al-Qur’an dan
Ulumul Qur’an.
2.
Untuk mengetahui ruang lingkup pembahasan ulumul
Qur’an.
3.
Untuk mengetahui betapa pentingnya mendalami
ilmu Al-Qur’an.
4.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
‘Ulumul Qur’an
Alquran adalah mukjizat Islam
yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas
kemukjizatannya. Allah SWT. membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup
menuju cahaya Ilahi dan menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW., demi
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
1.
Arti Kata ‘Ulum
Secara etimologi, kata ‘Ulumul
Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “Ulum”
dan “Al-Qur’an”. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilmu”
yang berarti ilmu-ilmu.[1] Kata
ulum yang disandarkan pada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa
ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman
terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya.
2.
Arti Kata Qur’an
Menurut bahasa, kata “Al-Qur’an”
merupakan bentuk mashdar yang maknanya sama dengan kata “qira’ah” yaitu
bacaan. Bentuk mashdar ini berasal dari fi’il madhi “qoro’a”
yang artinya membaca.
Menurut istilah, “Al-Qur’an”
adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
melalui perantara malaikat Jibril, yang dimulai surah Al-Fatihah dan diakhiri
surah An-Nas, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan yang membacanya merupakan
ibadah.
Sedangkan ”al-Qur’an” menurut
ulama ushul, fiqih, dan ulama bahasa adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang lafazh-lafazhnya mengandung mukjizat, membacanya
mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada
mushaf, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, dengan demikian,
secara bahasa, ’ulum al-Qur’an adalah ilmu-ilmu (pembahasan-pembahasan)
yang berkaitan dengan al-Qur’an.[2]
3. Arti
Kata Ulumul Qur’an
Kata ulum yang disandarkan kepada kata “al-Qur’an”
telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah
ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi kberadaannya sebagai
al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di
dalamnya. Secara istilah, para ulama telah merumuskan berbagai defenisi
Ulumul Qur’an.
B.
Ruang
Lingkup Ulumul Qur’an
Mengingat luasnya ruang lingkup
kajian Ulumul Qur’an sehingga sebagian ulama menjadikannya seperti luas yang
tak terbatas. Bahkan, menurut Abu Bakar Al-‘Arabi, ilmu-ilmu Al Qur’an itu
mencapai 77.450. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al
Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab setiap kata dalam Al-Quran mengandung
makna zahir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Hal ini didasarkan kepada
jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap
kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak
terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika
dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak
terhitung.
Firman Allah :
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu
(pula)”.(Q.S. Al-Kahfi :109).[3]
Namun demikian, Ash-Shiddieqi
memandang segala macam pembahasan Ulumul Quran itu kembali kepada bebrapa pokok
persoalan saja sebagai berikut:
Pertama, persoalan nuzul.
Persoalan ini menyangkut tiga hal, yaitu waktu dan tempat turunnya Al Qur’an,
sebab-sebab turunnya Al Quran, dan sejarah turunnya Al quran.[4]
Kedua, persoalan sanad. Persoalan
ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, yang ahad, yang
syaz, bentuk-bentuk qiraat Nabi, para periwayatnya dan para penghafal Al-Quran,
dan cara tahammul (penerimaan riwayat).
Ketiga, persoalan ada’ al qiroah
(cara membaca al quran) hal ini menyangkut waqof (cara berhenti), Ibtida’ (cara
memulai) imalah, madd (bacaan yang dipanjangkan), takhfif hamzah (meringankan
bacaan hamzah) idghom ( memasukkan bunyi huruf yang sakin kepada bunyi huruf
sesudahnya)
Keempat, pembahasan yang
menyangkut lafal al quran yaitu tentang yang ghorib (pelik), mu’rob (menerima
perubahan akhir kata), majaz (metafora), musytarak (lafal yang mengandung lebih
dari satu makna), murodif (sinonim), isti’arah (metaphor), dan tasbih
(penyempurnaan).
Kelima, Persoalan makna al quran
yang berhubungan dengan al quran, yaitu ayat yang bermakna ‘amm (umum) dan
tetap dalam keumumannya, ‘amm (umum) yang dimaksud khusus, ‘amm (umum) yang
dikhususkan oleh sunnah, yang nas, yang dzahir, yang mujmal(bersifat global),
yang mufassal (dirinci), yang mantuq (makna yang berdasarkan pengutaraan) yang
mafhum (makna yang berdasarkan pemahaman), mutlaq (tidak terbatas), yang
muqoyyad (terbatas), yang muhkam (kukuh, jelas) mutashabih (samar), yang
muskhil (maknanya pelik), yang nasikh (menghapus), dan mansukh (dihapus), muqaddam
(didahulukan), muakhor ( dikemudiankan), ma’mul (diamalkan) pada waktu
tertentu, dan yang hanya ma’mul (diamalkan) oleh seorang saja.
Keenam, persoalan, makna al quran yang berhubungan dengan
lafal yaitu fasl (pisah) wasl (berhubungan) ijaz (singkat) itnab (panjang)
musawah (sama) dan qosr (pendek).[5]
C.
Cabang-
Cabang Pokok Pembahasan
Ulumul Qur’an.Meskipun nama
ilmu-ilmu yang menjadi pembahasan Ulumul Quran telah disebutkan secara sepintas
lalu, namun untuk lebih mengenalnya perlu dikemukakan beberapa macam yang
penting diketahui seorang yang hendak menafsirkan atau menerjemahkan Alquran.
Ilmu-ilmu Alquran pada dasarnya terbagi ke dalam dua kategori. Pertama,
ilmu riwayah, yaitu ilmu-ilmu yang hanya dapat diketahui melalui jalan
riwayat, seperti bentuk-bentuk qiraat, tempat-tempat turunnya Alquran,
waktu-waktu turunnya. Kedua, ilmu dirayah, yaitu ilmu-ilmu yang
diketahui melalui jalan perenungan, berpikir, dan penyelidikan, seperti
mengetahui pengertian lafal yang gharib, makna-makna yang menyangkut hukum,
dan penafsiran ayat-ayat yang perlu ditafsirkan.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ada
tujuh belas ilmu-ilmu Alquran yang terpokok.[6]
1.
Ilmu Mawathin al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan
tempat-tempat turunnya ayat, masanya, awalnya, dan akhirnya. Di antara kitab yang
membahas ilmu ini adalah Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya
Al-Suyuthi.
2.
Ilmu Tawarikh al-Nuzul
Ilmu ini menerangkan masa
turunnya ayat dan urutan turunnya satu persatu, dari permulaan turunnya sampai
akhir serta urutan turun surah dengan sempurna.
3.
Ilmu Asbab al-Nuzul
Ilmu ini menjelaskan sebab-sebab
turunnya ayat. Di antara kitab yang penting dalam hal ini adalah
kitab Lubab al-Nuqul karya Al-Suyuthi. Namun, perlu diingat
bahwa banyak riwayat dalam kitab ini yang tidak sahih.
4.
Ilmu Qiraat
Ilmu ini menerangkan
bentuk-bentuk bacaan Alquran yang telah diterima dari Rasul SAW. Ada
sepuluh qiraat yang sah dan beberapa macam pula yang tidak sah.
Tulisan Alquran yang beredar di Indonesia adalah menurut qiraatHafsh, salah
satu qiraat yang ke tujuh. Kitab yang paling baik untuk mempelajari ilmu
ini adalah Al-Nasyr fi al-Qiraat al-Asyr karangan Imam Ibn al-Jazari.
5.
Ilmu Tajwid
Ilmu ini menerangkan cara membaca
Alquran dengan baik. Ilmu ini menerangkan di mana tempat memulai, berhenti,
bacaan yang panjang dan yang pendek, dan sebagainya.
6.
Ilmu Gharib Alquran
Ilmu ini menerangkan makna
kata-kata yang ganjil dan tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab yang
biasa atau tidak terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ilmu ini berarti
menjelaskan makna kata-kata yang pelik dan tinggi. Di antara kitab
penting dalam ilmu ini adalah Al-Mufradat li Alfaz al-Qur’an
al-Karim karangan Al-Raghib al-Ashfahani. Kitab ini sangat penting bagi
seorang mufassir atau penerjemah Alquran.
7.
Ilmu I’rab Alquran
Ilmu ini menerangkan baris kata-kata
Alquran dan kedudukannya dalam susunan kalimat. Di antara kitab penting dalam
ilmu ini adalah Imla’ al-Rahman karangan Abd al-Baqa al-Ukbari.
8.
Ilmu Wujuh wa al-Nazair
Ilmu ini menerangkan kata-kata
Alquran yang mengandung banyak arti dan menerangkan makna yang dimaksud pada
tempat tertentu. Ilmu ini dapat dipelajari dalam kitab Mu’tarak
al-Aqran karangan Al-Suyuthi.
9.
Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa al- Mutasyabih
Ilmu ini menjelaskan ayat-ayat
yang dipandang muhkam (jelas maknanya) dan
yang mutasyabih (samar maknanya, perlu ditakwil). Salah satu kitab
menyangkut ilmu ini ialah Al-Manzumah al-Sakhawiyah karangan
Al-Sakhawi.
10. Ilmu Nasikh
wa al-Mansukh
Ilmu ini menerangkan ayat-ayat
yang dianggap mansukh (yang dihapuskan) oleh sebagian para mufassir.
Di antara kitab-kitab yang membahas hal ini adalah Al-Nasikh wa
al-Mansukh karangan Abu Ja’far al-Nahhas, Al-Itqankarangan
Al-Suyuthi, Tarikh Tasyri’ dan Ushul al-Fiqh karangan
Al-Khudhari.
11. Ilmu Badai’
Alquran
Ilmu ini bertujuan menampilkan
keindahan-keindahan Alquran dari sudut kesusastraan, keanehan-keanehan, dan
ketinggian balaghahnya. Al-Suyuthi mengungkapkan yang demikian dalam
kitabnya Al-Itqan dari halaman 83 s/d 96 dalam jilid II.
12. Ilmu I’jaz
Alquran
Ilmu ini menerangkan susunan dan
kandungan ayat-ayat Alquran sehingga dapat membungkemkan para sastrawan Arab.
Di antara kitab yang membahas ilmu ini adalah I’jaz
al-Qur’an karangan Al-Bagillani.
13. Ilmu Tanasub
Ayat Alquran
Ilmu ini menerangkan penyesuaian
dan keserasian antara suatu ayat dan ayat yang di depan dan yang di
belakangnya. Di antara kitab yang memaparkan ilmu ini ialah Nazm
al-Durar karangan Ibrahim al-Biqa’i.
14. Ilmu Aqsam
Alquran
Ilmu ini menerangkan arti dan
maksud-maksud sumpah Tuhan yang terdapat dalam Alquran. Ibn al-Qayyim telah
membahasnya dalam kitabnya Al-Tibyan.
15. Ilmu Amtsal
Alquran
Ilmu ini menerangkan maksud
perumpamaan-perumpamaan yang dikemukakan Alquran. Al-Mawardi telah membahasnya
dalam kitabnya berjudul Amtsl al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal
Alquran
Ilmu ini membahas bentuk-bentuk
dan cara-cara debat dan bantahan Alquran yang dihadapkan terhadap kaum Musyrik
yang tidak bersedia menerima kebenaran dari Tuhan. Najmuddin telah mengumpulkan
ayat-ayat yang menyangkut ilmu ini.
17. Ilmu Adab
Tilawah Alquran
Ilmu ini merupakan tata-cara dan
kesopanan yang harus diikuti ketika membaca Alquran. Imam Al-Nawawi telah
memaparkan dalam kitabnya berjudul kita Al-Tibyan.
Inilah tujuh belas macam ilmu
Alquran yang sangat ditentukan oleh Ash-Shiddieqy untuk memahirkan
oleh setiap orang yang bermaksud menafsirkan atau menterjemahkan Alquran.
Sebelum itu, ia juga harus menguasai ilmubalaghah, bahasa dan kaidah-kaidahnya,
ilmu kalam dan ilmu ushul. Namun demikian, tampaknya masih banyak lagi
ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir atau penerjemah. Setidaknya
satu ilmu lagi harus ditambahkan kepada ilmu-ilmu yang disebutkan Ash-Shiddieqy
di atas, yaitu ilmu tafsir.[7]
Ilmu tafsir merupakan bagian dari
Ulumul Quran. Ilmu tafsir berfungsi sebagai alat untuk mengungkap isi dan pesan
yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. Ulumul Quran lebih umum dari ilmu
tafsir karena Ulumul Quran ialah segala ilmu-ilmu yang mempunyai hubungan
dengan Alquran. Ilmu tafsir tidak kurang penting dari ilmu-ilmu di atas,
terutama setelah berkembangnya dengan menampilkan berbagai metodologi, corak,
dan alirannya. Kadang-kadang Ulumul Quran ini juga disebut Ushul At-Tafsir
(dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan
dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Alquran.
D.
Faedah
Urgensi dan Tujuan Mempelajari Ulum Quran
Adapun tujuan Dan Manfaat
mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:[8]
1.
Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla
sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in
tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an
2.
Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan
oleh para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan
tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.
Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam
menafsirkan Al-Qur’an
4.
Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
5.
Untuk memahami kandungan kalamullah yaitu
al-Quran.
6.
Untuk mengetahui cara dan gaya serta methode
yang digunakan oleh para musafir dalam menafsirkan al-Quran disertai dengan
penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir kenamaan dan kelebihan-kelebihan
yang dimilikinya.
7.
Untuk bisa memahami, menafsirkan dan
menerjemahkan al-quran dan mempertahankan kesucian dan kebenaran al-Quran.
Ulumul quran sebagai dari ilmu
yang memiliki koelasi positif dengan al-Quran memiliki urgensi yang sangat
penting untuk mempelajarinya, Ulumul Qur’an sangat penting dipelajari dalam
rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir.
Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka semakin
tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.[9]
Faedah/Manfaat dan Urgensi
mempelajari Al-Qur’an
1.
Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk
menafsirkan, yaitu:
a.
Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang
yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat
dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak
merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an.
b.
Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru
bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an
c.
‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya
dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
2.
Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau
Ukuran Tafsir
Apabila dilihat dari segi ilmu,
‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin
tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir
yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an
akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Dari uraian diatas bisa difahami
bahwa adanya Ulumul Qur’an sangatlah penting untuk dipelajari dan dikaji secara
baik untuk mencegah adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an dimana pada
Keberagaman Modern saat ini tidak dipungkiri banyak kesalahan-kesalahan
penafsiran yang memang disengaja untuk merubah makna dan ajaran serta perintah
dan pedoman-pedoman yang terkandung didalamnya. Untuk itu sangatlah penting
mempelajarinya bagi keberagaman modern.
E.
Sejarah
Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari
berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Quran tidak lahir sekaligus. Ulumul Quran
menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan
perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Alquran
dari segi keberadaannya dan segi pemahamannya. Makalah ini akan memaparkan
perkembangan Ulumul Quran pada masa Rasulullah SAW., masa Khulafa al-Rasyidin,
dan masa Tadwin (Penulisan Ilmu).
1.
Perkembangan Ulumul Quran Pada Masa Rasulullah
SAW
Pada masa Rasulullah SAW. ini
Alquran belum dibukukan. Di masa Rasulullah SAW. dan para sahabat, Ulumul Quran
belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Pada masa
Rasulullah SAW., Ulumul Quran dipelajari secara lisan, hal ini berlangsung
terus sampai beliau wafat.[10]Karena
para sahabat yang menerima Alquran asli orang Arab dengan keistemewaan hafalan
yang kuat, kecerdasan, kemampuan menangkap makna yang terkandung dalam Alquran.
Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa
Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Bila
mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat
menanyakan langsung kepada Rasulullh SAW.
Sebagai contoh, ketika turun ayat
:
“Dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman …” (QS Al-An’am (6): 82). Para sahabatnya
bertanya: “Siapa dari kami yang tidak menganiaya (menzalimi) dirinya !”. Nabi
menjawab, “Pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian
mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang soleh kepada anaknya”.[11] Nabi
menafsirkan kata zulm di sini dengan syirk berdasarkan ayat
di bawah ini :
“Sesungguhnya syirik itu kezaliman yang besar” (QS
Luqman (31): 13). “
Adapun tentang kemampuan
Rasulullah SAW. memahami Alquran tentunya tidak diragukan lagi karena ialah
yang menerimanya dari Allah dan Allah yang mengajari segala sesuatunya.
Dengan demikian ada tiga faktor
yang menyebabkan Ulumul Quran tidak dibukukan di masa Rasulullah SAW. dan
sahabat.
Pertama, kondisinya tidak
membutuhkan karena kemampuan mereka yang besar untuk memahami Alquran dan
Rasulullah SAW. dapat menjelaskan maksudnya.
Kedua, para sahabat sedikit
sekali yang pandai menulis.
Ketiga, adanya larangan Rasul
untuk menuliskan selain Alquran.
Semua ini merupakan faktor yang
menyebabkan tidak tertulisnya ilmu ini baik di masa Nabi SAW. maupun di zaman
sahabat.[12]
Sebagian besar para sahabat Nabi terdiri dari orang-orang
buta huruf, dan alat tulis menulis pun tidak dapat mereka peroleh dengan mudah.
Itu juga merupakan halangan bagi kegiatan menulis buku tentang ilmu Alquran.[13]
Di lain pihak ada larangan dari
Rasulullah SAW., untuk menuliskan selain Alquran. Hal ini seperti diriwayatkan
oleh Muslim yang berbunyi :
Artinya : “Janganlah sekali-kali
kalian menulis apapun dariku. Dan barang siapa yang menuliskan selain Alquran
maka harus menghapusnya, dan ceritakanlah apa yang kalian dengar dariku karena
itu tidak apa-apa, barang siapa yang berbohong kepadaku dengan sengaja maka
bersiaplah untuk mencari tempat duduk di neraka”.[14]
Larangan beliau itu didorong kekhawatiran akan terjadinya
pencampuran Alquran dengan hal-hal yang bukan dari Alquran. Pada masa Rasulullah
SAW., penulisan Alquran dilakukan oleh beberapa penulis wahyu yaitu Zaid bin
Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur
Rasyidin dan sebagainya.
2.
Perkembangan Ulumul Quran Pada Masa Khulafa al
Rasyidin
Pada zaman kekhalifaan Abu Bakar
dan Umar, ilmu Alquran masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan.[15]Ketika
Abu Bakar Shiddiq menjadi khalifah terjadi pertempuran yang sangat sengit
antara kaum muslimin dengan pengikut Musailamah al-Kadzab yang menimbulkan banyak
korban. Di pihak muslimin ada tujuh puluh penghafal Alquran yang gugur,
sehingga Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menuliskan Alquran
dalam satu mushaf. Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima usul Umar
tersebut dan memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskan Alquran dalam
bentuk mushaf.
Ketika di zaman Utsman di mana
orang Arab mulai bergaul dengan orang-orang non Arab, pada saat itu Utsman
memerintahkan supaya kaum muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat
reproduksi menjadi beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah.
Bersamaan dengan itu ia memerintahkan supaya membakar semua mushaf lainnya yang
ditulis orang menurut caranya masing-masing. Di zaman Khalifah Utsman wilayah
Islam bertambah luas sehingga terjadi perbauran antara penakluk Arab dan
bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan
kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab dari bangsa
Arab. Bahkan dikhawatirkan akan terjadinya perpecahan di kalangan kaum Muslimin
tentang bacaan Alquran yang menjadi standar bacaan bagi mereka. Untuk menjaga
terjadinya kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah
Alquran yang disebut Mushhaf Imam. Dengan terlaksananya penyalinan
ini maka berarti Utsman telah meletakkan suatu dasar Ulumul Qur’an yang
disebut Rasm al-Qur’an atau Ilm al Rasm al-Utsmani.[16]
Di masa Ali bin Abu Thalib
terjadi perkembangan baru dalam bidang ilmu Alquran. Karena banyaknya melihat
umat Islam yang berasal dari bangsa non-Arab, kemerosotan dalam bahasa Arab,
dan kesalahan dalam pembacaan Alquran, Ali menyuruh Abu al-Aswad al-Duali (w.63
H.) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini dilakukan untuk
memelihara bahasa Arab dari pencemaran dan menjaga Alquran dari keteledoran
pembacanya. Tindakan khalifah Ali ini dianggap perintis bagi lahirnya
ilmu Nahwu dan I’rab Alquran.[17]
3.
Perkembangan Ulumul Quran Pada Masa Tadwin
(Penulisan Ilmu)
Setelah berakhirnya zaman
khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan
Tabi’in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran
ilmu-ilmu Alquran melalui jalan periwayatan dan pengajaran secara lisan, bukan
melalui tulisan atau catatan. Kegiatan-kegiatan ini dipandang sebagai persiapan
bagi masa pembukuannya.
Orang-orang yang paling berjasa
dalam periwayatan ini adalah; khalifah yang Empat, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid
ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah ibn al-Zubair dari kalangan sahabat.
Sedangkan dari kalangan Tabi’in ialah Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Qatadah,
Al-Hasan al-Bashri, Sa’id ibn Jubair, dan Zaid ibn Aslam di Madinah. Dari Aslam
ilmu ini diterima oleh putranya Abdul Rahman bin Zaid, Malik ibn Anas dari
generasi Tabi’i al-tabi’in. Mereka ini semua dianggap sebagai peletak batu
pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asbab al-nuzul,
ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib Alquran dan
lainnya.[18]
4.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad II H
Kemudian, Ulumul Quran memasuki
masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian
mereka terhadap ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-‘Ulum
al-Qur’aniah (Induk Ilmu-ilmu Alquran). Para penulis pertama dalam tafsir
adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj. Sufyan ibn Uyaynah dan Waqi’ Ibn al-Jarrah[19]Kitab-kitab
tafsir mereka menghimpun pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in.
5.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad III H
Pada abad ke-3 menyusul tokoh
tafsir Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H.).
Al-Thabari adalah mufassir
pertama membentangkan bagi berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya
atas lainnya. Ia juga mengemukakan i’rab danistinbath (penggalian
hukum dari Alquran). Di abad ke-3 ini juga lahir ilmu asbab al-nuzul,
ilmu nasikh danmansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makkiah dan Madaniah.
Guru Imam al-Bukhari, Ali Ibn al-
Madini mengarangasbab al-nuzul; Abu Ubaid al-Qasim Ibn Salam (w.224 H.) mengarang
tentang nasikh dan mansukh, qirrat dan keutamaan-keutamaan Alquran.
Muhammad Ibn Ayyub al-Dharis menulis tentang kandungan ayat-ayat yang turun di
Mekkah dan Madinah.Muhammad Ibn Khalaf Ibn al-Mirzaban (w. 309 H) mengarang
kitab al-Hawi fi ’Ulum al-Qur’an.[20]
6.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad IV H
Di abad ke-4 lahir
ilmu gharib al-Qur’an dan beberapa kitab Ulumul Quran. Di antara
tokoh-tokoh Ulumul Quran ini ialah Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari
(w. 328 H.) dengan kitabnya ‘Ajaib ulum al-Qur’an. Di dalam kitab ini
al-Anbari berbicara tentang keutamaan-keutamaan
Alquran, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushhaf-mushhaf, jumlah
surah, ayat, dan kata-kata Alquran. Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H.)
mengarang al-Mukhtazan fi’ulum al-Qur’an (Yang Tersimpan di Dalam
Ilmu Alquran), kitab yang berukuran besar sekali.Abu Bakar al-Sijistani.
mengarang Grarib al-Qur’an; Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad Ibn Ali
al-Kharkhi (w. 360 H.) mengarang Nukat al-Qur’an al-Dallah ’ala al-Bayan
fi Anwa’ al-‘Ulum wa al-Ahkam al-Munbiah ’an Ikhtilaf al-Anam(Titik-Titik
Alquran Menunjukkan Kejelasan Tentang Berbagai Ilmu dan Hukum yang Memberitakan
Perbedaan Pikiran Insani) dan Muhammad Ibn Ali al-Adfawi (w. 388 H.)
mengarang Al-istghna’ fi ’Ulum al-Qur’an (Kebutuhan Akan Ilmu
Alquran).[21]
7.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad V H
Di abad ke-5 muncul pula beberapa
tokoh ilmu qirrat, di antaranya ialah Ali Ibn
Ibrahim Ibn Sa’id al-Hufi. mengarang Al-Burhan fi ’Ulum al-Qur’an dan
i’rab al-Quran. Abu Amral-Dani (w. 444 H.) menulis kitab Al-Taisir fi
al-Qiraat al-Sab’i dan Al-Mukham fi al-Nuqath. Dalam abad ini juga lahir
ilmu amtsal al-Qur’an yang di antara lain dikarang oleh Al-Mawardi
(w. 450 H.).[22]
8.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad VI H
Pada abad ke-6, di samping banyak
ulama yang melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu Alquran yang telah ada, lahir
pula ilmu mubhamat al-Qur’an. Abu al-Qasim Abd al-Rahman al-Suhaili (w.
581 H.) mengarang Mubhamat al-Qur’an. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal
Alquran yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Misalnya
kata rajulun(seorang lelaki) atau malikun (seorang raja). Ibn
al-Jauzi ( w.597 H.) menulis kitab Funun al-Afnan fi’Ajaib al-Qur’an dan
kitab Al-Mujtaba fi ’Ulum Tata’allaq bi al-Qur’an.
9.
Perkembangan Ulumul Qur’an Pada Abad VII H
Pada abad ke-7 Abd al-Salam yang
terkenal dengan sebutan Al-‘Izz (w. 660 H.) mengarang kitab Majaz
al-Qur’an. ’Alam al-Din al-Sakhawi (w. 643 H.) mengarang tentang qirrat.
Ia menulis kitab Hidayah al-Murtab fi al-Mutasyabih yang terkenal
dengan nama Al-Sakhawiyah. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismal al-Maqdisi
(w. 665 H.) menulis kitab Al-Mursyid al-Wajiz fi ma Yata’allaq bi
al-Qur’an al-‘Aziz.
10. Perkembangan
Ulumul Qur’an Pada Abad VIII H
Pada abad ke-8 muncul beberapa
ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru tentang Alquran. Sementara itu penulis
tentang kitab-kitab tentang ilmu-ilmu sebelumnya telah lahir terus berlangsung.
Ibn Abi al-Ishba’ menulis tentang badai’al-Qur’an. Ilmu ini membahas
keindahan bahasa dalam Alquran. Ibn al-Qayyim ( w.752 H.) menulis
tentang Aqsam Alquran. Ilmu ini membahas tentang sumpah-sumpah Alquran.
Najmuddin al-Thufi (w.716 H.) menulis tentang Hujaj Alquran. Ilmu ini
membahas tentang bukti-bukti yang dipergunakan Alquran dalam menetapkan suatu
hukum. Abu al-Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amtsal Alquran. Ilmu ini
membahas tentang perumpamaan-permpamaan yang ada dalam Alquran. Kemudian
Badruddin al-Zarkasyi[34] (w. 794 H.) menyusun kitabnya Al-Burhan fi ’Ulum
al-Qur’an.[23]
11. Perkembangan
Ulumul Qur’an Pada Abad IX H
Pada abad ke-9, muncul beberapa
ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Alquran. Jalaluddin al-Bulqini,
menyusun kitabnya Mawaqi’ al-‘Ulum min Mawaqi’al-Nujum. Menurut
al-Suyuthi, Al-Bulqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori penyusunan
Ulumul Quran yang lengkap. Sebab dalam kitabnya mencakup 50 macam ilmu Alquran.
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiaji,[24] mengarang
kitab Al-Tafsir fi Qawa’id al-Tafsir. Di dalamnya diterangkan makna
tafsir, takwil, Alquran, surah dan ayat. Di dalamnya juga diterangkan tentang
syarat-syarat mentafsirkan Alquran. Jalaluddin al-Suyuthi (w. 991 H.) menulis
kitab al-Tahbir fi’Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun
873 H.
Kitab ini memuat 102 macam-macam
ilmu Alquran. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai
kitab Ulumul Quran yang paling lengkap. Namun Al-Suyuthi belum merasa puas
dengan karya yang monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan
fi ’Ulum Al-Qur’an. Di dalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Alquran secara padat
dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini sebagai pegangan kitab bagi para
peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Imam Al-Suyuthi pada
tahun 991 H., seolah perkembangan karang-mengarang dalam Ulumul Quran sudah
mencapai puncaknya sehingga tidak terlihat munculnya penulis yang memiliki
kemampuan seperti kemampuannya.[25]
Keadaan seperti ini dapat terjadi
sebagai akibat meluasnya sikap taklid yang dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu
agama umumnya mulai berlangsung setelah masa Al-Suyuthi. Kondisi yang
demikian berlangsung sejak wafatnya Iman Al-Suyuthi hingga akhir abad ke-13 H.
12. Perkembangan
Ulumul Qur’an Pada Abad X H
Abad ke-10, boleh dikatakan
adalah abad kemunduran karena hanya seorang penulis yang aktif mengarang, yaitu
Imam Jalaluddin Setelah as-Suyuti wafat pada tahun 911 H, perkembangan
ilmu-ilum al-Alquran seolah-olah telah mencapai puncaknya dan bephenti dengan
berhentinya kegiatan ulama dalam mengembangkan Ulumul Alquran, dan keadaan
semacam itu berjalan sejak wafatnya Imam as-Sayuti sampai akhir abad XIII H.
13. Perkembangan
Ulumul Qur’an Pada Abad XIV H
Setelah memasuki abad XIV H ini,
maka bangkit kembali pephatian ulama menyusun kitab-kitab yang membahas
al-Alquran dari berbagai segi dan macam Ilmu al-Alquran, di antara mereka itu
ialah:
a.
Thahir al-Jazairi menyusun kitab Al-Tibyan fi
Ulumil Quran yang selesai tahun 1335 H.
b.
Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H) menyusun kitab
Mahasinut Ta’wil.
c.
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani menyusun kitab
Manahilul Irfan fi Ulumil quran (2 jilid).
d.
Muhammad Ali Salamah mengarang kitab Manhajul
Furqan fi Ulumil quran.
e.
Thanthawi Jauhari mengarang kitab al-Jawahir fi
Tafsir al-Alquran dan Alquran wal Ulumul Ashriyah.
f.
Muhmmad Shadiq al-Rafi’i menyusun I’jazul Quran.
Uraian-uraian di atas juga
menunjukan betapa pentingnya kedudukan ilmu ini dalam memahami, menafsirkan,
dan menerjemahkan Alquran. Dengan ini juga maka seseorang akan dapat menunjukan
dan mempertahankan kesucian dan kebenaran Alquran. Untuk menggambarkan
pentingnya Ulumul Quran, para ulama memberikan perumpamaan yang berbeda-beda.
Al-Zarqani mengumpamakan Ulumul
Quran sebagai anak kunci bagi para mufassir. Ilmu ini seperti ulumul hadis bagi
orang yang mempelajari ilmu hadis. Pengarang kitab Al-Tibyan fi ‘Ulum
al-Qur’an mengibaratkan Ulumul Quran sebagai premis minor dari dua premis
tafsir.[26] Menurut
Manna Al-Qaththan, ilmu ini kadang-kadang disebut Ushul
al-Tafsir karena ilmu ini meliputi unsur pembahasan-pembahasan yang harus
diketahui oleh seorang mufassir untuk menjadi landasannya dalam menafsirkan
Alquran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
dipahami bahwa
1.
‘Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas segala
hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang disandarkan kepada Al-Qur’an
sebagai penunjang untuk memahami Al-Qur’an secara luas dan mendalam. Perlu kita
pelajari agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang menjadi acuan dan pedoman hidup dalam rangka meraih kesuksesan
di dunia dan akhirat.
2.
Dari uraian diatas bisa difahami bahwa adanya
Ulumul Qur’an sangatlah penting untuk dipelajari dan dikaji secara baik untuk
mencegah adanya kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an dimana pada Keberagaman
Modern saat ini.
3.
Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di
siplin ilmu ini belum dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan
dari rasul akan sesuatu yang tidak dipahami. kitabnya menjadi pegangan bagi para
peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sejarah perkembangan Ulumul Quran dalam
makalah ini dibagi kepada tiga bagian yaitu, Perkembangan Ulumul Quran pada
masa Rasulullah SAW., Perkembangan Ulumul Quran pada masa Khulafa al Rasyidin
dan Perkembangan Ulumul Quran pada masa Tadwin (Penulisan Ilmu).
B.
Saran
Saran dari penulis bahwasanya
ilmu alquran sangatlah penting baik di dunia utama di akherat karena al quran
adalah pedoman hidup orang islam yang telah di wahyukan kepada nabi muhammad
saw oleh allah swt melalui malaikat jibril. Dan sesungguhnya sumber dari segala
sumber ilmu adalah al quran.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Al Hadis
Ahmad Syadali, 1997 ‘Ulumul
Qur’an I. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia
Alih bahasa; 1990Tim Pustaka
Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta,
Al-Qattan, Manna’ Khalil.
1994.Mabahist Fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul
Studi Ilmu-ilmu Quran, cet II, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa.
Al-Shadr, Muhammad
Bakir, 1426 H. al-Madrasah al-Qur’aniyyah, Syariat, Iran,
Al-Shalih,
Shubhi, 1977.Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Dar al ‘Ilm Li al-Malayin, Beirut
Al-Shobuny, Mohammad
Aly, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Alam al-Kitab, Beirut, (tt),
Al-Zarqany, Muhammad Abd
al-Azhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, Isa al-Baby al-Halaby
wa Syirkah, Mesir, (tt),
Ash-Shiddieqy, T.M.
Hasbi, 1972. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan Bintang,
Jakarta
Ash-Shiddieqy, T.M.
Hasbi, 1973.Ilmu-Ilmu Alquran, Bulan Bintang, Jakarta,
M.Yusuf, 2009.Studi
Al-Quran,Jakarta: Amzah
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi,
1997.Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. Karya Abdi Tama,
Wahid, Ramli
Abdul, Ulumul Quran, Rajawali Pers, Jakarta
[1]
Al-Quran dan Terjemahannya ( Cet.X Bandung, CV Penerbit Diponegoro,
2005), hal. 277
[2]
Ahmad Syadali, ‘Ulumul Qur’an I (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1997),
hal. 11
[3] M.Yusuf, Studi Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2009) Hal.6
[4]
Rosihon Anwar,op, cit. hla 14
[5]
Syadili,ahmad. Op, cit. hal. 18.
[6]
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir,
Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hlm. 105-108.
[7]
Wahid, Ramli Abdul, Op. Cit., hlm. 27.
[8]
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: CV. Karya Abdi
Tama, 1997 Hal 78
[9] Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahist Fi Ulum al-Qur’an,
diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu Quran, cet II,
Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa.1994. Hal 56
[10]
Al-Shadr, Muhammad
Bakir, al-Madrasah al-Qur’aniyyah, Syariat, Iran, 1426 H, hlm. 213.
[11]
Manna al-Qaththan, Op. Cit., hlm. 4.
[12]
Al-Shalih, Shubhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Dar al ‘Ilm Li al-Malayin,
Beirut, 1977, hlm. 120.
[13]
Al-Shalih, Shubhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Mabahits fi Ulumil
Qur’an), Cet. IX, Alih bahasa; Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta,
1990, hlm. 156.
[14]
Al-Zarqany, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Juz
I, Isa al-Baby al-Halaby wa Syirkah, Mesir, (tt), hlm. 28.
[15]
Al-Shobuny, Mohammad Aly, at-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Alam al-Kitab,
Beirut, (tt), hlm. 52
[16]
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Op. Cit., hlm. 30
[17]
Ibid
[18] Wahid, Ramli Abdul, Ulumul Quran, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 17.
[19] Waki’ bin al-Jarrah bin Malih bin ‘Adi’. Nama
panggilannya Abu Sufyanar-Ruwasi al-Kufi, dari Tsauri. Hadis yang berasal
darinya diketengahkan oleh ‘Abdullah bin al-Mubarrak, Yahya bin Adam,Ahmad bin
Hanbal dan ‘Ali bin al-Madani. Lahir 128 H. dan wafat 197 H. Ahmad bin Hanbal
dan Yahya bin Mu’in mengatakan: “Orang yang terpercaya di Iraq adalah Waki’”.
(Lihat Tarikh Baghdad XIII, hlm. 466 – 481).
[20]
Al-Shalih, Shubhi, 1977, Op. Cit., hlm. 121-122
[21] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran,
Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 14.
[22]
Ash-Shiddiqieqy, T.M. Hasbi, Loc. Cit.
[23] . Nawawi, Rif’at Syauqi dan M. Ali
Hasan, Op. Cit., hlm. 222.
[24] Muhammad bin Sulaiman bin Sa’ad bin Mas’ud Muhyiddin
Abu Abdullah al-Kafiyaji. Dialah yang menekuni syair berakhiran
huruf kaf dalam ilmu Nahwu, sehingga ia terkenal dengan Kafiyaji.
As-Suyuthi pernah magang dengan mengikutinya selama 14 tahun. Al-Kafiyaji
menulis banyak kitab mengenai Tafsir, Fiqh, Pokok-Pokok Bahasa Arab dan Nahwu.
Kitabnya yang tidak disebut judulnya dalam al-Itqan, ternyata dalam al-Bughyah
disebut oleh Suyuthi berjudul at-Tafsir fi Qawa’id-dit-Tafsir. Suyuthi
mengatakan, al-Kafiyaji berkata, ia menemukan ilmu tersebut sebagai hal yang
belum ada sebelumnya. Karenya al-Kafiyaji tidak membatasi dirinya pada al-burhan
tulisan Zarkasyi dan tidak pula puas dengan Mawaaqi;ul-Ulum karya
Jalaluddin al-Bulqaini. Ia wafat tahun 879 H.
[25] . Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Op.
Cit., hlm. 36-37.
[26] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Op. Cit.,
hlm. 28.
Komentar
Posting Komentar