BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah perkataan, perbuatan dan keputusan nabi
yang diriwayatkan oleh para sahabat. Para ahli hadits membagi hadits menjadi
banyak bagian dengan istilah yang berbeda-beda. Namun, semua itu tujuannya pada
pokoknya kembali kepada tiga objek pembahasan, yaitu dari segi matan, sanad,
serta matan dan sanad-sanad secara bersama-sama. Dan kebanyakan mereka
mengklasifikasikan hadits secara keseluruhan menjadi tiga kategori yaitu
shahih, hasan, dan dhaif.
Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih dalam dari
salah satu kategori hadits di atas yaitu hadits dhaif. Jadi untuk lebih
jelasnya tentang hadits dhaif secara keseluruhan akan dibahas dalam bab
selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian Hadits Dhaif ?
2.
Apa saja kriteria
Hadits Dhaif ?
3.
Jelaskan macam
macam Hadits Dhaif !
4.
Sebutkan
contoh contoh Hadits Dhaif ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
pengertian hadits dhaif
2.
Mengetahui
criteria hadits dhaif
3.
Menjelaskan
macam macam hadits dhaif
4.
Menyebutkan
contoh contoh hadits dhaif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif
berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits
tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal
dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif
sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun
sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
B. Kriteria Hadits Dhaif
Kriteria hadits dhaif yaitu hadits yang kehilangan
salah satu syaratnya sebagai hadits shahih dan hasan. Dengan demikian, hadits
dhaif itu bukan tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga tidak memenuhi
persyaratan hadits-hadits hasan. Para hadits dhaif terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
Kehati-hatian dari para ahli hadits dalam menerima
hadits sehingga mereka menjadikan tidak adanya petunjuk keaslian hadits itu
sebagai alasan yang cukup untuk menolak hadits dan menghukuminya sebagai hadits
dhaif. Padahal tidak adanya petunjuk atas keaslian hadits itu bukan suatu bukti
yang pasti atas adanya kesalahan atau kedustaan dalam periwayatan hadits,
seperti kedhaifan hadits yang disebabkan rendahnya daya hafal rawinya atau
kesalahan yang dilakukan dalam meriwayatkan suatu hadits. Padahal sebetulnya ia
jujur dan dapat dipercaya. Hal ini tidak memastikan bahwa rawi itu salah pula
dalam meriwayatkan hadits yang dimaksud, bahkan mungkin sekali ia benar. Akan
tetapi, karena ada kekhawatiran yang cukup kuat terhadap kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam periwayatan hadits yang dimaksud, maka mereka menetapkan untuk
menolaknya.
Demikian pula kedhaifan suatu hadits karena tidak
bersambungnya sanad. Hadits yang demikian dihukumi dhaif karena identitas rawi
yang tidak tercantum itu tidak diketahui sehingga boleh jadi ia adalah rawi
yang dhaif. Seandainya ia rawi yang dhaif, maka boleh jadi ia melakukan
kesalahan dalam meriwayatkannya. Oleh karena itu, para muhadditsin menjadikan
kemungkinan yang timbul dari suatu kemungkinan itu sebagai suatu pertimbangan
dan menganggapnya sebagai penghalang dapat diterimanya suatu hadits. Hal ini
merupakan puncak kehati-hatian yang kritis dan ilmiah.
C. Macam Macam Hadits Dhaif
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits
digolongkan menjadi hadits dhaif dikarenakan dua hal, yaitu gugurnya rawi dalam
sanadnya dan ada cacat pada rawi atau matan. Hadits dhaif karena gugurnya
rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa rawi, yang seharusnya ada
dalam sanad, baik para pemulaan sanad, pertengahan ataupun akhirnya.
1.
Hadis Dha’if
Karena Gugurnya ar-Râwiy (Periwayat)
Yang dimaksud dengan
gugurnya ar-râwiy adalah tidak adanya satu atau beberapa ar-râwiy,
yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadis dha’if yang disebabkan
karena gugurnya ar-râwiy, antara lain yaitu :
a. Hadits mursal
Hadits mursal, menurut bahasa berarti hadits yang
terlepas, para ulama memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi
pada tingkatan sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya
tidak menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung
dari Rasulullah.
Contoh
hadits mursal :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م : بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ
الْعِشَاءِ وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.
Artinya:”Rasulullah bersabda: “Antara kita dengan
kaum munafik, ada batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh mereka tidak
sanggup menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik dari
Abdurrahman dai Haudalah, dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat nabi yang
meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam
sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai
hadits dhaif dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama,
termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat menerima
hadits mursal menjadi hujjah bin rawinya adil.
b. Hadits munqati
Menurut bahasa, hadits munqati berarti hadits yang
terputus. Para ulama memberi balasan munqati’ adalah hadits yang gugur satu
atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir
sanadnya adalah sahabat nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in,
jadi hadits munqati’ bukanlah rawi ditingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal
gugur seorang tabi’in.
Contoh
hadits munqati:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اذَا دَخَلَ الْمَسْجِدِ قَالَ: بسْمِ اللهِ
والسْلاَمُ عَلى رَسُوْلِ الله اللَهُمَ اغْفِرْ لِى ذُ نُو بِى وَافْتَحْ لِى
اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Rasulullah
SAW. Bila masuk ke dalam mesjid, membaca : Dengan nama Allah, dan sejahtera
atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala
pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah).
c. Hadits mudal
Menurut bahasa, hadits mudal berarti hadits yang sulit
dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah yang gugur dua orang
rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya. Contohnya: Hadits mudal
adalah hadits Imam Malik, hak hamba dalam kitab al-Muwata’. Dalam
kitab tersebut, Imam Malik berkata:”Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
لِلْمُلُوْكِ طَعَا مُهُ وَكِسْوَ تُهُ
بِا لْمَعْرُوْفِ. (رواه ما لك)
Artinya: “Budak
itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik.” (HR. Malik).
Imam Malik, dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua
orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang
gugur itu diketahui melalui riwayat Imam Malik diluar kitab al-Muwata’. Malik
meriwayatkan hadits yang sama, yaitu ”Dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah, dari Rasulullah”. Dua rawi yang secara beriringan adalah
Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
d. Hadits muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa, berarti hadits yang
tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih diawal sanad. Juga termasuk hadits muallaq, bila semua rawinya
digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh hadits muallaq:
Bukhari
berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda:
لاَ تَفَا ضَلُوْا بَيْنَ لَا نَبِيَاءِ (رواة الجا رى)
Artinya: “Janganlah
kamu lebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)
2.
Hadis Dha’if
Karena Cacat pada Matn (Matan/Teks)
atau ar-Râwiy (Periwayat)
Banyak
macam cacat yang dapat menimpa ar-râwiy (periwayat) ataupun matan.
Seperti pendusta, fâsiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat menghilangkan sifat ‘adil pada ar-râwiy(periwayat).
Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam
mengusahakan hafalannya, dan menyalahiar-ruwât (para periwayat) yang
dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith
pada ar-râwiy (periwayat). Adapun cacat pada matan, misalnya terdapat
sisipan di tengah-tengah lafazh hadis atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafazh yang sebenarnya.
Contoh-contoh
hadis dha’if karena cacat pada matn (matan/teks)
atau ar-râwiy (periwayat):
a. Hadis Maudhu’
Menurut bahasa, hadis
ini memiliki pengertian hadis palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadis yang bukan berasal dari Rasulullah
s.a.w.. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadis
palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah
umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan politiknya, madzhabnya, atau kebangsaannya .
Hadis maudhû’ merupakan
seburuk-buruk hadis dha’if. Peringatan Rasulullah s.a.w. terhadap orang yang
berdusta dengan hadis dha’if serta menjadikan Rasululullah s.a.w. sebagai
sandarannya.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan
beberapa contoh hadis maudhu’:
1)
Hadis yang
dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakan bahwa hadis itu
diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah s.a.w..
berbunyi: “Sesungguhnya bahtera Nuh berthawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali
dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat”. (Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Irwâ’ al-Ghalîl fî Takhrîji Ahâdîts Manâr as-Sabîl, Juz V,
Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1985, h. 222)[2]Makna hadis tersebut tidak masuk
akal”.
2)
Adapun hadis
lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. (Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wa al-Maudhû’ah wa
Atsaruhâ as-Sayyi’ fi al-Ummah, Juz I, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1992, h. 447)[3]
Hadis tersebut bertentangan dengan al-Quran. ” Pemikul dosa itu tidaklah
memikul dosa yang lain”. (QS al-An’âm/6: 164 )
3)
“Siapa yang memeroleh anak dan dinamakannya
Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. (As-Suyuthi,
Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 97)[4] “Orang yang dapat dipercaya itu hanya
tiga, yaitu: aku (Muhammad), Jibril, dan Muawiyah”. (As-Suyuthi,
Jalaluddin, Al-Lâlî al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, Juz I, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., h. 282)[5]
Demikianlah sedikit
uraian mengenai hadis maudhu’. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang sengaja
dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka
yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia
mengaku telah membuat beberapa hadis tentang keutamaan al-Quran dan 70 buah
hadis tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang ’zindiq’,
sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadis dan mengatakan : “aku telah
membuat 3000 hadis; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang
halal”.
b. Hadis matrûk atau
hadis mathrûh
Hadis
ini, menurut bahasa berarti hadis yang ditinggalkan/dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadis matrûk adalah hadis yang diriwayatkan
oleh ”orang-orang yang pernah dituduh berdusta (baik berkenaan dengan hadis
ataupun mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau
banyakwahamnya”.
Contoh
hadis matrûk:
أخبرنا القاضى أبو القاسم نا أبو علي نا عبدالله بن محمد ذكر
عبدالرحمن بن صالح الأزدى نا عمرو بن هاشم الجنى عن جوبير عن الضحاك عن ابن عباس
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال عَلَيْكُمْ بِاصْطَنَاعِ المَعْرُوفِ فَإِنَّهُ
يَمْنَعُ مَصَارِعَ السُّوءِ وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةِ السِّرِّ فَإِنَّهَا
تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ
أخرجه ابن أبى الدنيا فى قضاء الحوائج (ص ٢٥ ، رقم ٦)
“Hendaklah kalian berbuat
ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu
bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka
Allah SWT”.
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dari Ibnu Abbas. Di dalam
sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy.
An-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan lain-lain mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan
(matrûk). Ibnu Ma’in berkata, “لاَ بَأْسَ بِهِ (Ia tidak ada
apa-apanya)”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya), ini berarti
ia “الْمُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ (tertuduh berdusta)”.
c. Hadis Munkar
Hadis
munkar, secara bahasa berarti hadis yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan
yang diberikan para ‘ulama bahwa hadis munkar ialah: hadis yang diriwayatkan
oleh ar-râwiy (periwayat) yang lemah dan
menyalahi ar-râwiy (periwayat) yang kuat, contoh:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ ، نا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ ، نا مَعْمَرٌ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ ، عَنِ الْعَيْزَارِ بْنِ
حُرَيْثٍ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ، أَتَاهُ الْأَعْرَابُ , فَقَالَ : ” مَنْ
أَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَقَرَى الضَّيْفَ دَخَلَ
الْجَنَّةَ “ *
“Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga.” (HR Abu Ishaq dari Abdullah bin Abbas)”
Hadis di atas
memiliki ar-ruwât (para periwayat) yang lemah dan matannya pun
berlainan dengan matan-matan hadis yang lebih kuat.
d. Hadis Mu’allal
Menurut
bahasa, hadis mu’allal berarti hadis yang terkena ‘illat . Para ulama
memberi batasan bahwa hadis ini adalah hadis yang mengandung sebab-sebab
tersembunyi, dan ‘illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan,
ataupun keduanya.
Contoh:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“(Rasulullah s.a.w.
bersabda): “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadis di atas
diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan ats-Tsauri, dari
‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu Umar. Matan hadis ini sebenarnya
shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki ‘illat.
Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
e. Hadis Mudraj
Hadis
ini memiliki pengertian hadis yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan
bagian dari hadis itu.
Contoh:
أَنَا زَعِيمٌ وَالزَّعِيمُ الْحَمِيلُ لِمَنْ آمَنَ بِي
وَأَسْلَمَ وَهَاجَرَ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ …
“Saya adalah za’im
(dan za’im itu adah penanggung jawab) bagi orang yang beriman kepadaku, dan
berhijrah, dengan tempat tinggal di taman surga …” (HR Al-Bazzar dari
Fadhalah bin ‘Ubaid)
Kalimat akhir dari
hadis tersebut (بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ) adalah sisipan, karena tidak termasuk sabda
Rasulullah s.a.w..
f. Hadis Maqlûb
Menurut
bahasa, berarti hadis yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama ar-râwiy (periwayat)
dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh:
فَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ شَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ فَانْتَهُوْا
“(Rasulullah s.a.w.
bersabda): Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia;
apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan
kamu”. (Hadis Riwayat ath-Thabrani dari al-Mughirah)
Berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,
semestinya hadis tersebut berbunyi, Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang
kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya,
maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
g. Hadis Syadz
Secara
bahasa, hadis ini berarti hadis yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama,
hadis syadzadalah hadis yang diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat)
yang dipercaya, tapi hadis itu berlainan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah ar-râwiy (periwayat) yang juga dipercaya. Hadisnya
mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang kuat.
Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ
الْفَاكِهِيُّ بِمَكَّةَ ثَنَا أَبُو يَحْيَى بْنُ أَبِي مَيْسَرَةَ ثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمُقْرِيُّ ثَنَا مُوسَى بْنُ عُلَىِّ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ
أَبِيْهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ
النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَشْرِيْقِ عِيْدُنَا أَهْلُ الْإِسْلَامِ وَ هُنَّ
أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ
(Rasulullah
bersabda): “Hari ‘Arafah, hari Nahr dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi
umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari makan dan minum.” (HR
al-Hakim dari Musa bin Ali bin Rabah)
Hadis
di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang
terdiri dari serentetan ar-ruwât(para periwayat) yang dipercaya,
namun matn (matan/teks) hadis tersebut ternyata ganjil, jika
dibandingkan dengan hadis-hadis lain yang diriwayatkan
oleh ar-ruwât (para periwayat) yang juga dipercaya. Pada hadis-hadis
lain tidak dijumpai ungkapan tersebut. Keganjilan hadis di atas terletak pada
adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh
hadis syadz pada matn(matan/teks)-nya. Lawan dari hadis ini
adalah hadismahfûzh.
D.
Kehujjahan Hadits Dho’if
Ibnu Hajar Al-Ashqalani termasuk ulama hadits yang
membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal. Ibnu Hajar
memberikan 3 syartat dalam hal meriwayatkan hadits dha’if:
1. Hadits dha’if tidak keterlaluan. Oleh karena itu,
untuk hadits-hadits dha’if yang disebabkan perawinya pendusta, tertuduh dusta,
dan banyak salah, tidak dapat dijadikan hujjah meskipun untuk keutamaan amal.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dha’if tersebut
masih berada di bawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan
(shahih dan hasan).
3. Dalam mengamalkannya tidak mengi’tiqadkan atau
menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi SAW., tetapi
tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk kehati-hatian belaka.
hadits dha’if itu, Ulama membagi menjadi
dua: 1) yang mesti di tolak dan 2) yang tidak mesti di tolak. Dengan kata lain
yaitu ada yang sangat lemah dan ada juga yang lemahnya ringan.
Tentang yang sangat lemah ini tidak ada perselisihan
dan menolaknya, sedangkan yang lemahnya ringan, ‘ulama berpendapat boleh
dipakai untuk beberapa hal saja.
1. Fadla-ilul-a’mal; keutamaan-keutamaan dari beberapa
amal , yakni hadis-hadis yang menerangkan keutamaan sesuatu amal.
2. Qish-shah-qish-shah; cerita-cerita, yakni hadis-hadis
yang berisi cerita-cerita.
3. Zuhud; tidak suka kepada dunia , yakni hadis-hadis
yang mengandung supaya manusia benci kepada dunia,
4. Targhib; menggemarkan, yakni hadis-hadis yang
mengandung penggemaran Supaya orang suka mengerjakan suatu amal.
5. Ganjaran; yakni hadits-hadits yang menjamin ganjaran
bagi suatu amal.
6. Siksaan; yakni hadits-hadits yang menerangkan kalau
orang mengerjakan amal ini atau amal itu
7. Akhlak; yakni hadits-hadits yang mengandung kemuliaan
akhlak atau sopan santun.
8. Peperangan- peperangan; hadits yang berisi tentang cerita-cerita
peperangan .
9. Dzikir- dzikir; yakni hadis yang berisi tentang
dzikir-dzikir.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis dha’if ialah hadis yang tidak
bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz, dan cacat.
Hadis
dha’if berarti hadis yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadis
tersebut berasal dari Rasulullah s.a.w.. Dugaan kuat mereka hadis tersebut
tidak berasal dari Rasulullah s.a.w.. Adapun para ulama memberikan batasan bagi
hadis dha’if sebagai berikut: “Hadis dha’if ialah hadis yang tidak
memuat/menghimpun sifat-sifat hadis shahih, dan tidak pula menghimpun
sifat-sifat hadis hasan”.
Hadist
dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena
terputus sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
B. Kritik dan
Saran
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan
kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang
hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
http://nugraha-corporation.blogspot.co.id/2011/06/beberapa-hadits-hadits-dhoif-yang.html
https://rahib03.wordpress.com/2016/06/22/hadis-dhoif-beserta-contoh-contohnya/
Munzier Supra, ilmu
hadis, PT Rja GrafindoPersada, Jakarta, 2002
A. Qadir
Hasan, Ilmu Musththalah Hadits, CV.Diponegoro, Bandung, 1996
Muhyiddin al-Nawawi, At-taqrib
wa al-taisir li ma’rifati sunan al-basyir al-nadzir, edisi Indonesia,
Dasar-dasar Ilmu Hadis, Penerjemah Syarif Hade Masyah,
((Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, 2001
Mardani, Hadis
Ahkam, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
Muhammad
Nashiruddinal-albani, silsilah hadits dha’if dan maudhu’ jilid
4, Gema Insani Press, 2001
Muhammad
Dailami, Hadits-hadits Kitab Bulugh Maram, STAIN Purwokerto press, Purwokerto, 2006
Promo Fans^^poker :
BalasHapus- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis