Langsung ke konten utama

Makalah aliran pendidikan dalam islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama universal mempunyai ajaran yang sangat pleksibel sehingga ia dapat dikatakan shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk semua zaman dan tempat) dan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, di antaranya adalah aspek pendidikan, ekonomi, politik, sejarah dan lain sebagainya. Dalam mengajarkan dan menyebarkan risalah yang diemban oleh Beliau. Hal ini terlihat dari adanya wahyu pertama yang diturunkan kepadanya yang diawali dengan kataIqra'(perintah membaca)[1]. Disamping itu, Islam juga menyampaikan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sejak adanya manusia, meskipun tidak dalam bentuk seperti yang disaksikan dan dialami manusia didik sekarang.
Islam telah menyampaikan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk paedagogik, dalam pengertian bahwa manusia adalah bisa dididik dan memang memerlukan pendidikan[2]. Pendidikanlah yang bisa mengangkat derajat manusia bahkan membedakannya dengan makhluk yang lain. Status sosial pun akan jauh berbeda di tengah-tengah masyarakat, bilamana seseorang memiliki pendidikan yang tinggi.
Dengan segala potensi yang dimiliki, manusia bisa dengan mudah menerima pendidikan dan pengajaran yang selanjutnya mengubah dan mengembangkan apa yang diperoleh dari proses pendidikan itu. Selain itu, manusia mempunyai sifat alamiah (kodrati)yaitu perasaan ingin tahu. Dari rasa ingin tahu manusia itu menjadikan hidupnya dinamis dan selalu berusaha mencari jawaban-jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam benaknya dengan melakukan renungan-renungan, pemikiran yang mendalam ataupun melalui eksperimentasi.
Atas dasar ini, para filosof dan psikologi pendidikan mengemukakan pemikirannya tentang adanya kemungkinan manusia bisa dididik dan menerima pendidikan. Para ahli Islam maupun non Islam mengemukakan pendangannya tentang adanya sesuatu yang melekat pada diri manusia yang dibawa sejak lahir dengan berbagai kemungkinan untuk bisa dikembangkan atau ada hal-hal lain yang bisa mempengaruhinya. Sehingga dengan demikian melahirkan pandangan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan sudut pandang mereka. Dan lahirlah berbagai aliran-aliran dalam pendidikan seperti naturalisme, nativisme, emperisme, konvergensi,progresivisme, dan konstruktivisme, dan tidak akan ketinggalan pula mengenai aliran-aliran dalam pendidikan Islam.[3]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbullah rumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dasar aliran pendidikan Islam?
2.      Bagaimana Pandangan Aliran Pendidikan Islam?
3.      Apa aliran-aliran dalam pendidikan?
4.      Apa aliran-aliran pendidikan Islam menurut para ahli tokoh pendidikan Islam?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1.      Memahami dan menguraikan pengertian dasar aliran pendidikan Islam.
2.      Memahami dan menguraikan Pandangan Aliran Pendidikan Islam.
3.      Memahami dan menguraikan aliran-aliran dalam pendidikan.
4.      Memahami dan menguraikan aliran-aliran pendidikan Islam menurut para ahli tokoh pendidikan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dasar Aliran Pendidikan Islam
Secara etimologi, kata "aliran" adalah bentuk nomina dari kata "alir" yang kemudian mendapat akhiran "an" yang berarti haluan, pendapat dan paham[4]. Sedangkan di dalam literatur Arab disebut dengan Al-Mazhab[5]. Kata aliran ataumazhab secara erminologi adalah pendapat atau pemikiran seseorang dalam memahami sesuatu baik dalam bidang filsafat, hukum, politik, ekonomi dan lain-lain yang kemudian diikuti oleh beberapakelompok orang.[6]
Pendidikan Islam menurut Abd. Rahman Getteng adalah usaha membina dan mengembangkan potensi manusia baik jesmani maupun rohani agar tujuan kehadirannya di dunia sebagai hamba dan khalifah Allah bisa terwujud dengan baik.[7]
Abd. Rahman Al-Nahlawi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan pikiran manusia, menata tingkah lakunya, emosinya pada seluruh aspek kehidupan agar tujuan yang dikehendaki bisa terealisasi[8].
Dengan demikian, secara operasionalaliran pendidikan Islam adalah paham atau pemikiran pendidikan Islam sebagai titik tolak dalam membina dan mengembankan potensi-potensi manusia serta hal-hal yang mempengaruhinya sesuai pandangan Islam.



B.     Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
FiIlsafat Pendidikan Islam, meskipun sedikit banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran filsafat yunani, namun bukan berarti bahwa Filsafat Pendidikan Islam mengadopsi pemikiran-pemikirannya, karena Filsafat Pendidikan Islam memiliki konsep tersendiri dalam memandang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan yang bersumber pada “wahyu ilahi”. Pandangan-pandangan tersebut penulis batasi pada beberapa pandangan berikut:
1.      Prinsip Keseimbangan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan seyogyanya mampu mengarahkan manusia pada kehidupan yang seimbang, baik keseimbangan antara roh dan jasad, keseimbangan antara materil dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta keseimbangan duniawi dan ukhrawi,[9] tidak seperti Filsafat Idealisme yang mengutamakan kemutlakan roh dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (fisik), tidak juga seperti Filsafat Realisme yang cenderung lebih menekankan pada aspek fisik dalam proses pendidikan, tidak juga aliran Filsafat Sosialisme yang mengakui kemutlakan materi, mengabaikan dan melupakan faktor rohani pada diri seseorang dan manjadikan manusia sebagai materialis yang mengingkari nilai-nilai rohani.
Namun meskipun demikian, dalam beberapa aspek Filsafat Pendidikan memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip idealism, terutama idealism spiritualistis. Hal ini disebabkan, karena idealism mengakui adanya zat tertinggi yang menciptakan realitas alam semesta serta menggerakkan hukum-hukum-Nya, termasuk sanksi-sanksinya. Yang membedakan adalah sumber sanksi dan hukum antara keduanya.
2.      Nilai dan Sumber yang mendasari
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, meskipun memiliki kemiripan bahkan kesamaan dalam aspek-aspek tertentu dengan aliran-alliran lain dalam filsafat pendidikan, namun nilai dan sumber yang mendasarinya tentulah berbeda. Seperti kesamaan pandangan dengan aliran Perennialisme dalam hal pengakuan adanya potensi dasar yang dimiliki manusia sejak lahir yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Perbedaannya adalah terletak pada nilai-nilai yang mendasarinya. Islam menghendaki agar perkembangan pribadi manusia melalui proses pendidikan itu dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan, yang sifatnya absolute sedangkan Perennialisme dijiwai oleh nilai-nilai yang berkembang dalam sejarah kemanusiaan yang kebenarannya tidak seabsolut nilai-nilai lahiriah (kebutuhan).
Demikian juga kesamaan dengan aliran Filsafat Progresivisme yang menegaskan bahwa masyarakat itu bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu, oleh sebab itu kita harus terbuka dalam menghadapi permasalahan serta mau menerima kritikan demi kesempurnaan. Akan tetapi dalam aliran progresivisme nilai-nilai yang dijadikan ukuran bukan nilai yang absolute seperti nilai kewahyuan yang menjadi syarat dalam pendidikan Islam, melainkan nilai yang relative. Yaitu nilai-nilai baik dan buruk dikaitkan dengan pertimbangan kultur masyarakat yang sudah barang tentu kebenarannya tergantung pada tempat dan waktu, sedangkan dalam pendidikan Islam nilai tersebut bersifat mutlak.
3.      Paham Kebebasan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan yang bertanggung jawab, atau kebebasan yang tetap berada pada koridor ilahi dan dipimpin oleh nilai-nilai agama,[10] tidak seperti aliran filsafat eksistensialisme yang menekankan agar masing-masing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maksimal, tanpa ada batas (mutlak), tidak juga seperti aliran filsafat pragmatisme yang menganggap baik dan benar terhadap semua jalan (cara) yang mengantarkan pada kebermanfaatan.
Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam hal ini Filsafat Pendidikan Islam memandang manusia (peserta didik) sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan potensi untuk berkembang. Untuk itu, kebebasan manusia tersebut hendaknya senantiasa diarahkan kepada kebaikan, yaitu kebebasan yang tetap menempatkan manusia pada posisi mulia, bukan sebaliknya.
Manusia juga tidak bisa bebas melakukan segala cara untuk mencapai kebermanfaatan. Karena pendekatan yang demikian merupakan suatu pendekatan yang berbahaya dan bisa menyalahi nilai-nilai ilahiah. Akibatnya, manusia akan banyak mengorbankankeimanan yang ada padanya demi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sementara menurut Islam, tidak semua yang bermanfaat tersebut baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan yang tertinggi dari kehidupan.
4.      Pandangan Hidup
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, semua aktivitasnya termasuk di dalamnya aktivitas dalam bidang pendidikan haruslah didasari oleh tugas pokok dan fungsi penciptaannya di dunia ini yaitu menjadi khalifah dan beribadah kepada Allah, bukan mengabdi kepada Negara atau partai seperti sosialisme dan komunisme, tidak juga mengabdi kepada kepentingan seperti pragmatisme, yang intinya tidak mengabdi kepada selain Allah.[11]

C.    Aliran-Aliran Dalam Pendidikan
1.      Aliran Nativisme
Aliran ini mempunyai doktrin filosofis yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran pendidikan, bahkan aliran ini pernah mewarnai dunia pemikiran pendidikan[12]. Tokohnya adalah Arthur schopenhour (1788-1860) yang berpandangan bahwa anak yang lahir sudah mempunyai potensi yang mempengaruhi hasil dari perkembangan selanjutnya[13]. Pendidikan sama sekali tidak mempunyai daya atau kekuatan untuk mempengaruhi anak. Pendidikan hanya memberi polesan kulit luar dari tingkah laku sosial anak, sedangkan bagian internal dari kepribadian anak didik tidak dapat ditentukan. Aliran ini disebut pula dengan aliran pesimisme karena tidak adanya kepercayaan akan nilai-nilai dari pendidikan sehingga anak itu diterima apa adanya.[14]
Sukses tidaknya suatu proses pendidikan menurut aliran notivisme sangat di tentukan oleh tinggi rendahnya kualitas hereditas yang dimiliki oleh anak.
Pembawan yang sifatnya kodrati tidak bisa di ubah-ubah, dan ia menjadi penentu masa depan seorang anak. Meskipun telah diberikan pendidikan sedemikian rupa jika mutu hereditasnya rendah maka hasilnya tetap rendah pula. Naturalisme pun mempunyai pandangan yang hampir sama dengan nativisme di atas. Perbedaanya hanya berada pada aspek penekanan baik buruknya pembawaan itu.
Tokoh aliran ini adalah Jean Jacques Roesseu (1712-1778). Ia lahir di Geneva Swiss, karena ketidak puasan di negerinya serta kehidupan yang tidak menentu, maka pada tahun 1728 ia melarikan diri ke Prancis setelah ia bekerja pada tukang ukir yang suka menghukumnya[15]. Hidup di tengah masyarakat yang dianggap sudah modern tetapi moral mereka bobrok dan keadaanya sebagai seorang pelarian sangat mempengaruhi alur pemikirannya.
Roesseau berpendapat bahwa segala sesuatu yang datang dari alam itu adalah baik, tetapi setelah tiba pada manusia bisa saja ia menjadi buruk. Maka untuk membimbing seorang anak cukuplah berdasar pada keinginan dan pembawaanya[16]. Roesseu menganggap bahwa lingkungan atau masyarakat adalah sumber dari segala kerusakan dan keburukan. Seorang anak harus di hindarkan dari hal-hal tersebut sehingga ia tumbuh dan berkembang secara alamiah. Aliran ini disebut juga aliran negatifisme karena menganggap bahwa proses pendidikan itu di lakukan dengan memberi kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada anak didikuntuk tumbuh dan berkembang dengan sendirinya lalu kemudian memberikan sepenuhnya kepada alam sebagai pelaksanaan pendidikan agar pembawaan anak bisa tetap terjaga dan tidak dirusak oleh tangan-tangan manusia karena kesalahan dalam mendidik[17].
Roesseuau sangat optimis terhadap pembawaan baik dan positif dari manusia yang baik. Pembawaan sifatnya natural (berasal dari alam), maka manusia harus dididik dari alam pula. Roesseau memberi contoh yang dilakukan oleh alam, seorang anak di saat bermain-main dengan pisau, lalu teriris tangannya, maka minimal anak tersebut berhati-hati menggunakan pisau kedua kalinya mengingat bahaya yang ditimbulkan di saat ceroboh dalam menggunakannya. Begitu juga seorang anak tidak mau lengah ada waktu menutup pintu rumahnya karena pernah merasakan bagaimana sakitnya dijepit pintu. Disini, alamlah yang mengajari anak tersebut dan menjadikan ia sadar dan mengerti akan hal-hal yang di perbuatnya. Pandangan-pandangan naturalisme yang di kemukakan oleh roesseau di atas berhasil mengokohkan dirinya sebagai tokoh seorang tokoh naturalisme dalam sebuah karya monumentalnya ‘Emile’ masih dapat dibaca hingga sekarang dalam lingkungan pendidikan.
2.      Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada pada persamaannya dengan nativisme adalah naturalisme yang di pelopori oleh J.J Rousseau (1712-1778) Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga naturalisme sering disebut negativisme. Naturalisme memiliki prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Amiruddin R, galaman sendiri). Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam diri secara alami.
Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar tergantung pada diri anak didik sendiri. Program pendidikan di sekolah harus di sesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik.



3.      Aliran Empirisme
Tokoh utamanya adalah John Lock, (1632-1704) dilahirkan di Inggris dari keluarga tedidik[18]. Ia dianggap sebagai pemberi titik terang dalam perkembangan psikologi di karenakan teorinya seakan memberi paradigma baru dalam pemikiran pendidikan[19]. Teorinya yang terkenal adalah teori tabula rasa yang mengibaratkan anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih (kosong) atau meja yang berlapis lilin. Di atas kertas atau lilin itu dapat ditulis apa saja sesuai dengan keinginan.
Teori tabula rasa yang di kemukakan oleh John Lock menekankan arti penting dari pengalaman dan lingkungan dalam mendidik anak. Ada pun pembawaan itu di anggap tidak berpengaruh pada aspek pendidikan anak. Karena penekanan pendidikan terletak pada aspek lingkunga dan pengalaman, maka alirannya dikatakan bercorak empiris[20]. John Lock berusaha mendekatkan pendidikan itu dengan situasi.[21]
Aliran ini kemudian menjadi sangat terkenal karena keoptimisannya dalam mendidik yang tidak mengenal putus asa. Aliran ini menganggap bahwa ia bisa saja menjadikan anak itu sebagai seorang ahli kimia misalnya meskipun tidak terlahir dari keluarga ahli kimia atau menjadikan anak itu artis meskipun ia tidak berasal dari keluarga seniman. Hanya saja seorang anak diusahakan di pola sedemikian rupa bagaikan sebuah robot yang harus mengikuti keinginan dari pendidiknya atau penutupnya untuk memperoleh hasil yang dikehendaki. Aliran ini sangat bertolak belakang dari aliran nativisme dan naturalisme.[22]
4.      Aliran Konvergensi
Aliran ini di perkenalkan oleh seorang ahli ilmu jiwa berkebangsaan Jerman bernama Willian Sterm. Lahir di jerman pada tanggal 28 April 1871. William Sterm berpandangn bahwa antara hereditas dan mlliu saling berkaitan dan saling memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia[23]. Secara kodrati, manusia telah dibekali dengan bakat atau potensi. Akan tetapi untuk berkembang ke arah yang lebih baik perlu adanya pengaruh dari luar berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan.[24]
Siterm berusaha menyatukan dua aliran yang bertolak belakang yaitu nativisme/naturalisme dan emperisme dalam memandang manusia sebagai peserta didik karen bagaimana pun juga, jika yang di ambil hanya salah satunya berarti pendidikan itu akan berjalan pincang, karena dua hal yang semestinya berjalan beriringan namun dipisahkan. Pemisahan salah satu dari keduanya berarti mengabaikan teori keseimbangan antara bawaan (hereditas) yang muncul sejak manusia itu lahir dan lingkungan sebagai bentuk interaksi anak terhadap lingkungannya. Sebagai anak yang lahir di tengah-tegah keluarga agamawan bisa saja ia menjadi ahli agama jika diberi pendidikan sejak kecil dalam lingkungan keagamaan.
Aliran konvergensi adalah aliran yang banyak dianut oleh para pendidik dewasa ini. Sementara aliran nativisme dan emperisme telah mulai usang dan mulai banyak ditinggalkan oleh penganutnya. Dalam pandangan Islam, kemampuan dasar atau pembawaaan di sebut dengan "fitrah". Secara etimologis, "fitrah" berarti "sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan. Secara terminologi, Muhammad Al-Jurjani menyebutkan, bahwa "fitrah" adalah tabiat yang siap untuk menerima agama Islam.
Kata fitrah di sebutkan dalam Al-Qur’an pada surah Ar-Rum ayat 30 sebagai berikut:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu[25]. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui"[26].
Dalam kaitannya dengan teori kependidikan dapat di katakan, bahwa fitrah mengandung implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada paham converagent. Karena fitrah mengandung makna kejadian yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu Islam.Namun potensi dasar ini bisa di ubah oleh lingkungan sekitarnya[27].
5.      Aliran Progresivisme
Tokoh aliran progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat mengahadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan mahluk lain.
Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang di dukung oleh kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya. Peserta didik tidak hanya di pandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada di dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu di optimalkan. Artinya, peserta didik di beri kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
6.      Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini di awali oleh Giambatista Vico, seorang epistemiolog Italia. Ia di pandang sebagai cikal bakal lahirnya konstruktivisme. Ia mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan. Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika mengetahi. Hanya Tuhan yang mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang di konstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini di kembangkan oleh Jean Piaget, melalui teori perkembangan kognitif, piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru, (Pul Suparno, 1997:33). Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif di pengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi.[28]

D.    Aliran-Aliran Pendidikan Islam Menurut Para Ahli Tokoh Pendidikan Islam
Islam mengajarkan kepada manusia melalui kitabnya dan memperkenalkan kata kunci untuk memahami manusia secara komperehensif dengan kata insan dan basyar. Kata insan merunjuk kepada proses perkembangan manusia yang bergantung kepada lingkungannya, sehingga penalaran, kematangan, kesadaran dan sikap hidup yang terkait dengan pendidikan yang terjadi dalam masyarakat selalu dinamis. Rasulullah telah memberikan tuntunan tentang bagaimana cara pandang orang mukmin terhadap anak sebagai orang yang akan dididik seperti yang tercermin adalah sebuah hadisnya:
كُلُّ مَوْ لُوْدٍ يُوْ لَدُ عَلَيْ اَلْفِتْرَةِ فَأَ بَوَاْهُ يُهَوِّدَانُهُ أَوْ يُنَصِّرَا نُهُ أَوْ مُيَجِّسِا نُهُ...[29]
"Semua anak di lahirkan dalam keadaan fitrah maka orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani dan Majusi".
Dari hadis di atas dapat di pahami bahwa manusia yang baru lahir sudah membawa potensi, akan tetapi potensi itu baru bisa berkembang dengan baik jika didukung oleh faktor lingkungan.
Tampaknya para pemikir Islam telah merumuskan aliran konvergensi walaupun tidak disebut sebagai teori konvergensi jauh sebelum Sterm. Ibn Mizkawaih misalnya dalam bukunya Tahzib akhlak berpendapat bahwa tiap benda itu mempunyai form atau bentuknya masing-masing sehingga tidak bisa menerima bentuk lain. Pada manusia, meskipun mempunyai pembawaan yang lemah bisa saja diubah menjadi cepat atau lambat melalui disiplin tertentu[30].
Ibn Sina salah seorang tokoh filosof muslim berpendapat bahwa seorang anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan alamiah, akan tetapi mengandalkan kemampuan tersebut tidak cukup untuk mendidik seseorang, dan harus ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Seorang anak yang lahir dari keluarga dokter belum tentu ia dapat mengikuti profesi keluarganya kalau ia tidak di bekali dan dasari dengan bakat serta kecenderungan anak itu ataupun hal-hal lain yang mempengaruhinya[31].
Menurut Al-Gazali, anak yang lahir telah membawa fitrahnya sendiri, kecenderungan-kecenderungan serta warisan dari orang tuanya. Kesemuanya itu perlu diberi pendidikan. Jika ia bengkok maka harus diluruskan, jika salah maka harus dibenarkan dan jika sudah benar maka harus diarahkan pada pengembangannya[32]. Faktor internal dan eksternal keduanya sangat berperan dalam perkembangan anak didik.
Berdasarkan uraian kedua tokoh tersebut, maka dapat di pahami bahwa:
1.      Ada beberapa aliran yang mewarnai dunia pendidikan terutama cara memandang manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam proses perkembangannya dan hubungannya dengan proses belajar.
2.      Islam telah memberi petunjuk tentang adanya konsep insan dan basyr dalam Al-Qur'an dan yang mana kedua hal ini mengarah kepada potensi manusia dan lingkungan manusia yang mempengaruhi pendidikannya.
3.      Tokoh-tokoh pemikir islam dalam mengajukan tesisnya tentang pendidikan mengarah kepada aliran konvergensi yang mengakui adanya penyatuan kedua hal itu melliu dan hereditas berpengaruh dalam kehidupan manusia sebagai obyek atau manusia didik.

Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan, dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat yang berkembang antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme, Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan Islam, yaitu: (1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.[33]
1.      Aliran Konservatif (Al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[34]
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)      Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi,[35] terdiri atas:
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b)      Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c)      Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d)     Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)      Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,[36] terdiri atas:
a)      Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
c)      Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari filsafat.
b.      Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)      Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan ilmu Mukasyafah.
2)      Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya. Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.       Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.      Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c.       Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.      Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara lain:
a.       Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b.      Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
c.       Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2.      Aliran Religius-Rasional (Al-Diniy Al-‘Aqlaniy)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[37], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[38]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[39] Pandangan dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan burhan(penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[40]
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.       Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)      Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)      Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)      Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
4)      Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5)      Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.      Ilmu-ilmu Filsafat
1)      Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)      Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)      Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4)      Teologi (ketuhanan).
c.       Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)      Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)      Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)      Ilmu hitung dan transaksi
4)      Ilmu syi’ir dan prosa
5)      Ilmu peramalan
6)      Ilmu tenun dan sihir
7)      Ilmu profesi
8)      Ilmu jual-beli
9)      Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan, yaitu:
a.       Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.      Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.       Merespons dan bereaksi.
d.      Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.       Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
f.       Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini antara lain:
a.       Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.      Modal utama ilmu adalah indera.
c.       Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.      Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.       Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3.      Aliran Pragmatis (Al-Dzarai’iy)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.[41]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.[42] Pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya, yaitu:
a.       Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b.      Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.[43]
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.      Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungannaql (dogma, tradisi) dan menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.       Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.      Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c.       Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

d.       
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pendidikan Islam adalah paham atau pemikiran pendidikan Islam sebagai titik tolak dalam membina dan mengembangkan potensi-potensi manusia serta hal-hal yang mempengaruhinya sesuai pandangan Islam.
2.      Berdasarkan pembahasan di atas, aliran-aliran pendidikan dibagi menjadi enam aliran, yaitu sebagai berikut:Aliran Nativisme, Aliran Naturalisme, Aliran Empirisme, Aliran Konvergensi, Aliran Progresivisme, dan Aliran Konstruktivisme.
3.      Ada beberapa aliran yang mewarnai dunia pendidikan terutama cara memandang manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam proses perkembangannya dan hubungannya dengan proses belajar.
4.      Islam telah memberi petunjuk tentang adanya konsep insan dan basyr dalam Al-Qur'an dan yang mana kedua hal ini mengarah kepada potensi manusia dan lingkungan manusia yang mempengaruhi pendidikannya.
5.      Tokoh-tokoh pemikir islam dalam mengajukan tesisnya tentang pendidikan mengarah kepada aliran konvergensi yang mengakui adanya penyatuan kedua hal itu berpengaruh dalam kehidupan manusia sebagai obyek atau manusia didik

B.     Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat dijadikan bahan referensi baru akan kepenulisan selanjutnya agar mendapatkan sedikit nilai kesempurnaan dari kepenulisan ini. Dengan tulisan selanjutnya dapat menanggapi atau mengomentari bahkan mengkritik tulisan sederhana ini. Insya Allah.




DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan Al Hadis

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008)
Al-Abrasy, Muh. Athiyah. (1975). "Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha". (Cet. III). Kairo: Isa Al-Bab Al-Halaby.
Al-Jufy, Abu Abdillah Muhammad Ibn Al-Bukhary. (1992). "Shahih Bukhariy". Juz 1 (Cet. I). Beirut: Dar Al-Fikr Al-Ilmiy.
Al-Nahlawi, Abd. Rahman. "Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Asalibuha fi Al-Bait wa Al-Madrasah wa Al-Mujtama'". Damasq: Dar Al-Fikr.
Arief, Armai. (2002). "Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam". Jakarta: Ciputat Pers.
Barandib, Imam. (1987). " Filsafat pendidikan; Sistem dan Metode". Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Ilmu Pendidikan IKIP.
Darajat, Zakiyah. (1996). "Ilmu Pendidikan Islam". (Cet. III). Jakarta: Bina Aksara.
Departemen Agama RI. (2006). "Al Qur'an dan Terjemahnya". Edisi Terkini Revisi Tahun 2006. Surabaya: Duta Ilmu Surabaya.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. (1994). "Ensiklopedia Islam". Jilid III. (Cet. III). Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Getteng, Abd. Rahman. (1997). "Pendidikan Islam dalam Pembangunan". Ujungpandang: Yayasan Al-Ahkam.
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2008
Jalaluddin dan Abdullah Idi. (1997). "Filsafat Pendidikan". (Cet. I). Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kadir, Abdul. (2012). "Dasar-Dasar Pendidikan". Makassar:  Kencana Prenada Media Group.
Khaeruddin. (2002). "Ilmu Pendidikan Islam". Makassar:CV Berkah Utami.
Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya
Miskawaih,Ibn. (1997). "Tahzib Al-Akhlak" diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dengan judul "Menuju Kesempurnaan Akhlak". (Cet. III). Bandung: Mizan.
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
Munir Ba'laba'kiy. (1985). "Al-Maurid; A Modern English Arabic Dictionary". Beirut: Dar Al-Ilm Al-Malayin.
Munir Mursiy Sarhan. (1987). "Fi Ijtimaiyyah Al-Tarbiyah". (Cet. II). Mesir: Maktabah Al-Anjlu Al-Misriyyah.
Prasetya. (1997). "Filsafat Pendidikan". (Cet. I). Bandung: Pustaka Setia.
Purwanto, M. Ngalim. (1995). "Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis". Edisi II (Cet. VIII). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Sarwono, Sarito Wirawan. (1991). "Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi". (Cet. III). Jakarta: Bulan Bintang
Smits, Titus. dan Nolan. (1984). "Living Isseu in Philoshopy" diterjemahkan oleh Muhammad Rasyidi dengan judul "Persoalan-persoalan Filsafat". (Cet. I). Jakarta: Bulan Bintang.
Syah, Muhibbin. (1995). "Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru". (Cet. II). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1995). "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Edisi II (Cet. IV). Jakarta: Balai Pustaka.
Zuhairirni. Al. (1991). "Filsafat Pendidikan Islam". (Cet. II). Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Abd. Rahman Getteng. "Pendidikan Islam dalam Pembangunan". Ujungpandang: Yayasan Al-Ahkam. 1997 (Hal. 25).
[2] Zakiyah Darajat. "Ilmu Pendidikan Islam". (Cet. III). Jakarta: Bina Aksara. 1996 (Hal. 16).
[3] Zuhairirni. Al. "Filsafat Pendidikan Islam". (Cet. II). Jakarta: Bumi Aksara. 1991 (Hal. 19-30).
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Edisi II (Cet. IV). Jakarta: Balai Pustaka. 1995 (Hal. 26)
[5] Munir Ba'laba'kiy. "Al-Maurid; A Modern English Arabic Dictionary". Beirut: Dar Al-Ilm Al-Malayin. 1985 (Hal. 447).
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. "Ensiklopedia Islam". Jilid III. (Cet. III). Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. 1994 (Hal. 25).
[7] Abd. Rahman Getteng. Op. Cit.  (Hal. 25).
[8] Abd. Rahman Al-Nahlawi. "Ushul At-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Asalibuha fi Al-Bait wa Al-Madrasah wa Al-Mujtama'". Damasq: Dar Al-Fikr. (Hal. 28).

[9] Hasniyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2008, hal 50
[10] Ibid
[11]  Ibid
[12] Muhibbin Syah. "Psikologi Pendidikan; Suatu Pendekatan Baru". (Cet. II). Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995 (Hal. 42-43).
[13] Jalaluddin dan Abdullah Idi. "Filsafat Pendidikan". (Cet. I). Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997 (Hal. 128).
[14] Prasetya. "Filsafat Pendidikan". (Cet. I). Bandung: Pustaka Setia. 1997 (Hal. 190).
[15] Titus Smits dan Nolan. "Living Isseu in Philoshopy" diterjemahkan oleh Muhammad Rasyidi dengan judul "Persoalan-persoalan Filsafat". (Cet. I). Jakarta: Bulan Bintang. 1984 (Hal. 47).
[16] Munir Mursiy Sarhan. "Fi Ijtimaiyyah Al-Tarbiyah". (Cet. II). Mesir: Maktabah Al-Anjlu Al-Misriyyah. 1987 (Hal. 50-51).
[17] Prasetya. Op. Cit. (Hal. 191).
[18] Titus Smits dan Nolan. Op. Cit. (Hal. 174).
[19] Sarito Wirawan Sarwono. "Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi". (Cet. III). Jakarta: Bulan Bintang. 1991 (Hal. 31).
[20] Muhibbin Syah. Op. Cit. (Hal. 43-44).
[21] Imam Barandib. " Filsafat pendidikan; Sistem dan Metode". Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Ilmu Pendidikan IKIP. 1987 (Hal. 53).
[22] M. Ngalim Purwanto. "Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis". Edisi II (Cet. VIII). Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995 (Hal. 60).
[23] M. Ngalim Purwanto. "Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis". Edisi II (Cet. VIII). Bandung: Remaja Rosdakarya. 1995 (Hal. 60).
[24] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Op. Cit. (Hal. 161).
[25] Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid. Maka hal itu tidaklah wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.

[26] Departemen Agama RI. "Al Qur'an dan Terjemahnya". Edisi Terkini Revisi Tahun 2006. Surabaya: Duta Ilmu Surabaya. 2006. (Hal. 573).
[27] Armai Arief. "Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam". Jakarta: Ciputat Pers. 2002 (Hal. 6-8).
[28] Abdul Kadir. "Dasar-Dasar Pendidikan". Makassar:  Kencana Prenada Media Group.2012 (Hal. 126-130).
[29] Abu Abdillah Muhammad Ibn Al-Bukhary Al-Jufy. "Shahih Bukhariy". Juz 1 (Cet. I). Beirut: Dar Al-Fikr Al-Ilmiy. 1992 (Hal. 421).
[30] Ibn Miskawaih. "Tahzib Al-Akhlak" diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dengan judul "Menuju Kesempurnaan Akhlak". (Cet. III). Bandung: Mizan. 1997 (Hal. 35-36).
[31] Muh. Athiyah Al-Abrasy. "Al-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Falasifatuha". (Cet. III). Kairo: Isa Al-Bab Al-Halaby. 1975 (Hal. 218).
[32] Muh. Athiyah Al-Abrasy. Op. Cit. (Hal. 255).

[33] Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
[34] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 74-75.
[35] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[36] Ibid
[37] Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis, yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui radikal-revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[38] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[39] Ibid., 85-86.
[40] Ibid 87
[41] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 99.
[42] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.
[43] Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

LAPORAN KIMIA (Larutan Gula)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Larutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai membentuk larutan jenuh. Apabila suatu larutan suhunya di ubah, maka hasil kelarutannya akan berubah. Larutan ada yang jenuh, tidak jenuh dan lewat jenuh. Larutan dikatakan jenuh pada temperatur tertentu, bila larutan tidak dapat melarutkan lebih banyak zat terlarut. Bila jumlah zat terlarut kurang dari larutan jenuh di sebut larutan tidak jenuh. Dan bila jumlah zat terlarut lebih dari larutan jenuh maka di sebut larutan lebih jenuh. Daya larut suatu zat dalam zat lain, di pengaruhi oleh zat pelarut, temperatur dan sedikit tekanan. Pengaruh suhu terhadap larutan dapat dilihat pada peristiwa sederhana yang terjadi pada kehidupan sehari hari yaitu kelarutan gula dalam air. Gula yang dilarutkan kedalam air panas, dan satu lagi kedalam air dingin maka gula akan cepat larut pada air yang panas karena semakin besar suhu semakin besar pula kelarutannya. Aplikasi kelarutan dalam du...