BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya
merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad.
Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi
pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan
aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at,
sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini
adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran
pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara
harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga
diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara
umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi
melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring
dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan
umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun
teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan
aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut
dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis
diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari
akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk
memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia,
kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan
berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Di era modernisasi
sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang
cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya
dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap
benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan
pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih
dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan
dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas
berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada
kaum Mu’tazilah.
Makalah ini akan mencoba
menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah?
2. Bagaimana Dasar Ajaran Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah?
3. Bagaimana Doktrin Aliran Jabariyah, Qadariyah,
dan Mu’tazilah?
4. Bagaimana Tokoh- Tokoh Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah?
5. Bagaimana Sekte-Sekte Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah?
6. Bagaimana Penolakan Terhadap Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Aliran Jabariyah ,
Qadariyah, dan Mu’tazilah
2. Untuk Mengetahui Dasar Ajaran Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah
3. Untuk Mengetahui Doktrin Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah
4. Untuk Mengetahui Tokoh- Tokoh Ajaran Aliran
Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah
5. Untuk Mengetahui Sekte-Sekte Aliran Jabariyah,
Qadariyah, dan Mu’tazilah
6. Untuk Mengetahui Penolakan Terhadap Aliran
Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ALIRAN JABARIYAH
1.
Pengertian Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut
al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu,
aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul
melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Secara bahasa Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus
Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat
dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara
istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan
yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan
oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang
lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu
Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat yang lain mengatakan
bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke
masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas
ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Ciri-Ciri
Ajaran Jabariyah
Diantara
ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
a.
Bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat,
buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
b.
Bahwa Allah tidak mengetahui
sesuatu apapun sebelum terjadi.
c.
Ilmu Allah bersifat
Huduts (baru)
d.
Iman cukup dalam hati
saja tanpa harus dilafadhkan.
e.
Bahwa Allah tidak
mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
f.
Bahwa surga dan
neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang
kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
g.
Bahwa Allah tidak
dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
h.
Bahwa Alqur'an adalah
makhluk dan bukan kalamullah
Harun Nasution menjelaskan bahwa
dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal
lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng
menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah,
diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96 yang artinya :
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu".
b. QS al-Anfal: “ Maka (yang sebenarnya) bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali
bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
2.
Dasar Ajaran Aliran Jabariyah
Landasan naqly (alasan
yang diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang bersandar pada akal
atau rasional semata) yang menjadi pegangan sekaligus alasan "ada"
nya kedua aliran teologi ini. Dalil-dalil naqli sebagai dasar aliran Jabariyah
yaitu :
a.
QS.
Ash-Shafaat ayat 96 : Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu".
b.
QS.
Al-Anfal ayat 17 : Artinya: “......dan bukan kamu melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
c.
QS.
al-Hadid ayat 22: Artinya: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan
(Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.”
d.
QS.
Al-Insan 30 : Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”
Adapun dalil-dalil aqliy
yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai berikut:
a.
Makhluk
tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi,
berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya.
b.
Mereka
menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan
Allah Yang Maha Kuasa.
c.
Allahlah
yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai
kekuasaan.
d.
Manusia
tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan
mempunyai kemampuan (Istitha`ah).
e.
Perbuatan
yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia karena manusia
tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
pilihan antara memperbuat atau tidak memperbuat.
f.
Semua
perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu
disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon
berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian
tumbuh dan sebagainya.
Penolakan Terhadap Paham
Jabariyah Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam
menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia
dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab
(usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi.
Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa
melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang
berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin.
Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir.
Jika mereka mengerjakan
suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung
jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang
rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia
untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa
nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa
semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya
dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada
manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha
karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini
telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang
dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua
itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang
ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya.
Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum.
Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.
Sehingga mereka menerima
begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh
perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki
oleh Allah. Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan
orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka.
Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan
bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta
kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik
syariat maupun akal.
a.
Manusia
tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan
dari Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa ditolak oleh manusia.
Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh jahm bin
shofwan.
b.
Surga
dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan yang kekal.
c.
Iman
adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya, bahwa
manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melalkukan
dosa besar, tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
d.
Kalam
Tuhan adalah makhluk, Allah SWT mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan
makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh
karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak
dapat disifatkan kepada Allah SWT.
e.
Allah
tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar
f.
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan
perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasah,
sementara An-najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi
seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
3.
Doktrin Ajaran Jabariyah
Menurut Asy-Syahratsani,
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di
antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan
manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri., tetapi
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul
karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Di antara pemuka
Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
a. Jahm bin Shofyan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari
Khurusan, bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah
(orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang
menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh
secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan
penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm yang tersebar ke
berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1)
Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan
neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan
melihat Tuhan di akhirat.
2)
Surga
dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama
dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)
Kalam
Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan
manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat
dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
b. Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia
dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula
ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi
setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya.
Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta
mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut
1)
Al-Quran
itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2)
Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat
dan mendengar.
3)
Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah
ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai
bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin).
Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.
4.
Tokoh Aliran Jabariyah
a.
Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin
Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i
yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin
Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun
doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1) Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan
neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di
akhirat.
2) Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam
hati. Dalam hal ini,
pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah
3) Kalam
Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu
yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat
bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat
kelak.
4) Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah
manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka
itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga
dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal
b.
Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim,
tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang
senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di
sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk
dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin
pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1) Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu
tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2) Allah
tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat, dan mengengar.
3) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan
Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari
kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu.
Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak
mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam
perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan
pilihan baginya Sedangkan menurut kaum moderat,
tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang
termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
a)
An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad
An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah.
Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1) Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada
Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative.
Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil. Daya yang
diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu
melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition
2) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan.
b) Adh-
Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr.
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan
dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
5.
Sekte-Sekte Ajaran Jabariyah
Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan
dalam Jabariyah, yaitu :
a. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin
Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran
Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT
Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan
sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui
(‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan
dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.
b.
Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.
c.
Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.
6.
Penolakan
Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang
melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama
sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan
melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan
terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan
mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan,
bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak
berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu
amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab
atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak
pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan
penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam
dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh
Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin
bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak
perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka
meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari
azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan
mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi
sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar
ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan
takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman
orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang
dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
B. ALIRAN QADARIYAH
1.
Pengertian Dan Penisbatan Paham Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal
dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun
secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr.
Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan
bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam
melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada
golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang
memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk
melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam teologi modern faham
Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of
willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau
kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan
kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah menentukan
segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang jahat
sekalipun.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham
Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh orang-orang Islam yang bukan
berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran
mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan lain
bahwa:“kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian
sebagai golongan yang tersesat.
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham
ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya
faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya
penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
- Tersebar luasnya madzhab
asy’ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu’tazilah sebagai
minoritas dihadapan kaum asy’ariyah yang mayoritas.
- Tuduhan adanya kesamaan antara
kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa
kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan
kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi
Dikemukakan pula dalil dari
ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan
madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli
tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:
Artinya : “Katakanlah
kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan
barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat
ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi
kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan.
Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
Jadi istilah Qadariyah
dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada
taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir.
Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar
takdir ialah:
a. Tersebar luasnya madzhab asy'ariyah sehingga
menjadikan kaum qadariyah dan mu'tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum
asy'ariyah yang mayoritas.
b. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah
dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi
takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan
kejahatan berada diluar takdir ilahi
2.
Asal Usul Kemunculan Paham Qadariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat
diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar
tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk
Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga
pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen
lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi
setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan
Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di
antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan
Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar
Radhiyallahu ‘anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu ‘anhu,
belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya.
Selanjutnya, para sahabat justru melakukan
penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat
mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan
pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik
seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka
tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan
baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan
kekuatan.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab
Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran
Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman
Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu
tertampung dalam faham Mu’tazilah.
3.
Dokterin-Dokterin Paham Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian
tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya.
Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan
sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas
segala perbuatannya.
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan
masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin
Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh
kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin
Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua
aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di
akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu
didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu
sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan
tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah
berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu
paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan
sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah
yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali,
yaitu hukum yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah
memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak
dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan
oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan
lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu
membawa barang dua ratus kilogram.
4.
Dasar Ajaran Qadariyah
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan
untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan
adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara dan mendukung paham itu,
seperti berikut:
- Fush-Shilat : 40
Artinya:
“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
b. Ali Imran :165
Artinya:
“dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
c. Ar-Ra’d :11
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah
sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d
:11)
5.
Asas-asas Paham Qadariyah
- Mengingkari takdir Allah Taala
dengan maksud ilmuNya.
- Melampaui atau berlebihan
didalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas
berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai
pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka
menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu
kecuali selepas ia terjadi.
- Mereka berpendapat bahawa Allah
tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Karena ini
akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan
sifat-sifat Ma’ani dari Allah Taala.
- Mereka berpendapat bahawa
al-Quran itu adalah makhluk, Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap
sifat Allah.
- Mengenal Allah wajib menurut
akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi menurut faham Qadariyah,
Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi
keimanannya.
- Mereka mengingkari melihat
Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
- Mereka mengemukakan pendapat
tentang syurga dan neraka akan musnah (fana’), selepas ahli syurga
mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.
6.
Tokoh-tokoh paham Qadariyah
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya
dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan
itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk didalamnya tokoh
pencetus aliran Qadariyah :
- Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’
Al-Yahudi
Dia
adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini
memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.
b. Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir
sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan
pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses.
Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini
mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya
para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma.
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan
al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia
adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak
baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia
memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal
politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik.
Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk
Basrah yang mengikuti alirannya .
c. Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim
al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali
dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada
masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai
pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan
Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan
mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar
seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan juga dalam masalah
ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja. Para
salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya
adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga
Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun
setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat
dominan bagi ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun
hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada
bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat namun
menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam Abdul al-Malik
(724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan dan
al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
d. Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)
Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat
pendahulunya dan meracik antara bid’ah Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah dan
ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah
kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan
menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah
pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap
bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya.
para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi
tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah
Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai
menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah
menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham,
karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan
Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan
seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa
ini terjadi pada tahun 124 H.
e. Al-jahm bin Shafwan
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat
padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin
Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta
menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan
dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini
banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi
dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah
irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum
mati pada tahun 128 H
f. Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin
Shafwan. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.
7.
Sekte Paham Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham
Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang
perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah
menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan
kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah,
‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah,
Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih
Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari
Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah
menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali
Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian
memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang
mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran
dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa
banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah,
tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.
- Golongan Qadariyah yang pertama
adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu
selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah
berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya,
dan kami tidak mengharamkan apapun.
- Qadariyah majusiah, adalah
mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya,
sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah
dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang
bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga
tidak mengetahuinya.
- Qadariyah Iblisiyah, mereka
membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala
dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia
menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan
berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi
kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah
wal jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah
terbagi dua, yaitu:
- Qadariyah yang ghuluw
(berlebihan) dalam menolak takdir
- Qadariyah yang ghuluw
(berlebihan) dalam menetapkan takdir.
Kita
tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang
islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan
kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap
bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham
qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah
umpamanya:
Artinya:
“Kaum qadariyah merupakan majusi
umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin
timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an
sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali
kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa
kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa
kepada faham jabariyah..
C. ALIRAN MU’TAZILAH
1.
Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a.
Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang
aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan.
Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan
kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia
menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk
menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan
muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku
yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan
“in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan
secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian
gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara
teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang
mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap
manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka
tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat
untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan
dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan
dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang
menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan
darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan
pedoman mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang
dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak
memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan
temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil
termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan
al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah
(kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa
besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah
menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak
setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina
al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena
tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini
al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah
nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
b.
Dalil atau dasar Aliran Mutazilah


Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs Ali
imran:104)


Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang
jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,
(Qs Ali imran:105)
c.
Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab
munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1) Ada seorang guru
besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di
antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun
131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan
bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia
kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim
durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian
mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini,
maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau
memisahkan diri dari gurunya.
2) Adapula orang
mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari
masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah
yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada
Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3) Versi lain dikemukakan
oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin
Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakan Mu’tazilah.
4) Versi lain
dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.
5) Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan
status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
2.
Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang
pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al-
Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id,
Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah
menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
a. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran
bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah
Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena
menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya
menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka
menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya.
Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah
Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari
ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al
sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan
diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri
tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu
bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut
Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim
hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka
mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau
keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk.
Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan
dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu
untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk
menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan
bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya
sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat
qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena
tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi , yang
immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu,
mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan
dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat
qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang
mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain
disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat
tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan
dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh
akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah
satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.
b. Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka
bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila
Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan
yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak
berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti
Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al
`Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah
tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat,
karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan
mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai
konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu
tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka
membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
c. Al- Wa`du Wal
Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan,
maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih
ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka
Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni
dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan
dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
d. Al-Manzilah Baina
Manzilatain
Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi
tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara
dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana
disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan
kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata
mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak
dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir
juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih
mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati
belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih
ringan dari siksaan yang diterima kafir.
e. Amar Ma`ruf Nahi
Munkar
yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk
melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang
dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka
berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di
perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan.
Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa
yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai
kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh
aliran-aliran kalam yaitu 1Mengenai tentang mengetahui Tuhan.2 Kewajiban
mengetahui Tuhan. 3. Mengetahui baik dan jahat. 4.Kewajiban mengatahui
baik dan jahat.
3. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah
sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri.
Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang
menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud
produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola
pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah
adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari
takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan
metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan
melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka
yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
a.
Pemukiran
bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan
mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
b.
Pemikiran
bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir,
melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan
kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari
dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan
pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai
sebuah sekte pemikiran.
Sejalan
dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan
oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi
melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte
memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran
pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam
bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte
Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya
sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi
dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang
sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah:
al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih
dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa
pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam
pemikiran yang mereka sepakati,
pemikiran-pemikiran
tersebut adalah:
a.
Pemikiran
bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak
memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
b.
Pemikiran
tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa
Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa
melihat “diri”-Nya.
c.
Pemikiran
tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan
khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah
makhluk-Nya.
d.
Pemikiran
bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan.
Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas
perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh
perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut
qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
e.
Pemikiran
bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah
-mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka
disebut Mu’tazilah.
f.
Pemikiran
bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah
atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.
4.
Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a. Akal dan wahyu
Sepanjang
sejarah membuktikan bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah adalah mereka membentuk mazhabnya banyak
menggunakan akal. dan mereka menempatkan akal di atas wahyu, apabila sesuatu tersebut dapat di terima oleh akal berarti hal
tersebut sesuai dengan sunnah, tetapi apabila tidak sesuai dengan akal mereka
menolak, kendalipun hal itu terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sebagai Contoh, kaum Mu’tazilah tidak menerima isro’ dan mi’raj walaupun ada
ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang sahih
menyatakan hal tersebut, karena hal tersebut menurut mereka adalah bertentangan
dengan akal sehat manusia. Kaum Mu’tazilah juga menolak adanya kebangkitan dari kubur, dan siksa kubur, karena mustahil
mereka mandapatkan azab dalam kubur yang sempit itu, hal itu tidak sesuai
dengan akal
b. Sifat Tuhan
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat,
Tuhan mendengar dengan zat, Tuhan melihat dengan zatNya dan Tuhan berkata
dengan zatNya. Menurut meraka dasar
faham ini adalah tauhid , kalau Tuhan pakai sifat berarti Tuhan itu dua yaitu
zat dan sifat.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Defenisi mereka tentang
Tuhan, sebagaimana yang telah
disampaikan oleh As’yari adalah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai
pengetahuan, kekuasaan, hajat dan
sebagainya ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak
berkuasa, tidak hidup, Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkusa tetapi bukan
dengan sifat dalam arti kata yang
sebenarnya. Artinya Tuhan mengetahui dengan pengetahun, dan pengetahuan itu adalah pengetahuan sendiri, dengan demikian pengetahuan Tuhan
sebagaimana dijelaskan oleh Abu Al-Khuzail
adalah Tuhan Sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan
Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya
kata Al-Juba’i adalah, bahwa untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak
berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui .
c. Iman dan Kufur
Menurut Mu’tazilah Iman dan kufur adalah dua hal yang tidak dapat
disatukan, karena itu mereka mengatakan
bahwa orang mukmin yang kufur yang melakukan dosa besar pada hakikatnya dia
bukan mukmin lagi, dan apabila dia meninggal dalam keadaan tidak bertobat maka
di akhirat nanti dia dimasukkan kedalam neraka,
mereka ini adalah orang yang fasik yang bukan mukmin dan bukan pula
kapir
d. Perbuatan manusia
Mu’tazilah mengitikadkan bahwa pekerjaan manusia dibuat oleh manusia itu sendiri bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak
tahu apa yang sedang dan akan dibuat oleh manusia, bagi mereka Khalik itu dua,
yang pertama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dan yang lain manusia yang
menjadikan perbuatannya sendiri
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan perbuatannya sendiri terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak, manusia
benar-benar bebas dalam melakukan pilihan perbuatannya baik ataupun buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik saja bukan yang buruk. Adapun yang
disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa yang dilarang -Nya tentulah yang buruk, Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang
buruk, dengan demikian apapun yang akan diperoleh oleh manusia di akhirat nanti
adalah merupakan perbuatannya di dunia, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan
dan kejahatan akan dibalas dengan keburukan, karena ia berbuat atas kemauan dan
kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa. Adapun dalil yang mereka pergunakan
adalah Qur’an surat Ali Imran ayat 165
165.
Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
e. Perbuatan Tuhan dan
Mihnah
Aliran Mu’tazilkah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya
terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.
Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan
perbuatan-perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Dalam Al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Tuhan
tidaklah berbuat zhalim. Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan Mu’tazilah untuk
mendukung pendapatnya adalah surat
al-Anbiya ayat 23 dan surat ar-Rum ayat 8.
23. Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
8.
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan,denganTuhannya.
Qodi Abd Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan. Adapun ayat kedua menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk
Qodi Abd Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan. Adapun ayat kedua menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk
karena
itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban
kepada manusia yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia.
Konsekwensi hal demikian memunculkan
faham kewajiban Allah sebagai berikut :
a.
Kewajiban tidak memberi beban diluar kemampuan manusia
Memberikan beban diluar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik,
Hal ini bertentangan dengan faham
mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan
akan bersifat tidak adil kalau Ia
memberikan beban yang terlalu berat
kepada manusia.
b.
Kewajiban mengirimkan rasul
Argumentasi mereka adalah bahwa
kondisi akal manusia yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus
diketahui manusia tentang Tuhan dan alam
ghaib, oleh karena itu Tuhan berkewajiban
berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirimkan
rasul, tampa rasul manusia tidak akan
dapat memperoleh hidup baik dan terbaik dunia dan akhirat.
c.
Kewajiban menepati janji dan ancaman
Argumentasi Mu’tazilah dalam hal ini adalah Tuhan akan bersifat tidak
adil jika tidak menepati janjinya untuk
memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik
dan menjalankan hukuman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan
tidak menjalankan ancaman bagi yang
berbuat baik dan buruk tersebut bertentangan dengan maslahah dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman
adalah wajib bagi Tuhan.
5.
Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
a.
Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun
mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan
ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan
Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini
dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima
ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
b.
Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang
membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang
menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad
lamanya.
6.
Perkembangan Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat
Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami
ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain
adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan
para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan
Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah
(198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun
menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun
sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan
filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat
dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran
ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu
timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari
suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu
dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah
SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap
aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan
paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran
adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam
pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang
diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh
dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada
ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa
ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil
(memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi
semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah
al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman
berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak
berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah,
tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya
aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan
Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali
dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
7.
Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
a.
Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.
Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini
pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah
sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng
madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
c.
Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu
memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini
adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh
Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau
dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan),
berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya
yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat
sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat
baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa
al-aslah.
d.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak,
dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui
esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
e.
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal
ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan
untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh
orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang
demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa)
dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT.
Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang
manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup
mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya.
Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia.
Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn
Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar
dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.
Intinya paham Qadariyah menyatakan
bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam
melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur
tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi
modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of
willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau
kebebasan untuk berbuat.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan
berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja,
tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang
menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian
umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum
Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran
yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai
argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk
menahan pendirian mereka.
B.
Saran
Setiap muslim
bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu
setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan
sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal,
Al-Dar Al-Fikr: Beirut. Press, Jakarta, 1986.Watt, Montgomery. W. Islamic
Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburg
University, 1992.Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah
analisis perbandingan, UI http:// blogspot.co.id/2017/04/ aliran-jabariyah.html.
http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D
http://fahimganteng.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html
Sufyan
Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya.
Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007
Ilmu
Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka
Cipta. 1996.
Abu
Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1990.
https://shafavolefel.wordpress.com/2015/12/16/contoh-makalah-qadariyah/
http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/10/aliran-qadariyah.html
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir Ahmad, Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi
islam). Jakarta:Rajawali pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka Setia
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN
PERS
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-usul.html
http://www.fauzulmustaqim.com/2015/11/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/10/mutazilah.html
AvatarQQ - Agen Poker Online - Judi Poker Online - Agen Domino99 - Domino Online - Agen Judi Online
BalasHapusMenangkan Jutaan Rupiah dan Dapatkan Jackpot Hingga Puluhan Juta Dengan Bermain di www.avatarqq.com
Kelebihan dari Agen Poker Online Avatarqq :
• Situs Aman dan Terpercaya.
• Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
• Bonus Deposit 10% Setiap Deposit
• Proses Setor Dana & Tarik Dana Akan Diproses Dengan Cepat (Jika Tidak Ada Gangguan).
• Bonus Cashback 0.5% (Disetiap Perminggu).
• Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
• Pelayanan Ramah dan Sopan.Customer Service Online 24 Jam.
• 4 Bank Lokal Tersedia : BCA-MANDIRI-BNI-BRI
9 Permainan Dalam 1 ID :
Poker - BandarQ - Domino99 - PairQiu - AduQ - PokerLuck - PokerTexas - OMAHA - Slot
Link Alternatif avatarqq :
• www.avatarqq.org
• www.avatarqq.net
Info Lebih Lanjut Hubungi Kami di :
WHATSAPP : +855-88-647-6590
AGEN POKER LUCK
BANDAR JUDI DOMINO99
AGEN JUDI OMAHA
AGEN ADUQ TERBAIK
TRIK JUDI POKER
AGEN BANDAR Q
AGEN POKER ONLINE
Mohin maaf, ingin meluruskan, bahwasanya di makalah tersebut, penulis menyebutkan "Aljabbar artinya Allah Maha Memaksa", itu salah. Mohon dibetulkan segera.
BalasHapusAl Jabbar artinya adalah Allah Maha Kuasa, bukan m e m a k s a. Terima kasih.