Langsung ke konten utama

Makalah Aliran Jabariyah,Qadariyah, dan Mutazilah New


BAB I
PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Di era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini kami akan membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau aliran-aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
2.      Bagaimana Dasar Ajaran Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
3.      Bagaimana Doktrin Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
4.      Bagaimana Tokoh- Tokoh Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
5.      Bagaimana Sekte-Sekte Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?
6.      Bagaimana Penolakan Terhadap Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Aliran Jabariyah , Qadariyah, dan Mu’tazilah
2.      Untuk Mengetahui Dasar Ajaran Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah
3.      Untuk Mengetahui Doktrin Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah
4.      Untuk Mengetahui Tokoh- Tokoh Ajaran Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah
5.      Untuk Mengetahui Sekte-Sekte Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah
6.      Untuk Mengetahui Penolakan Terhadap Aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    ALIRAN JABARIYAH      
1.      Pengertian Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa, sedangkan menurut al-Syahrafani bahwa Jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Oleh karena itu, aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Ciri-Ciri Ajaran Jabariyah
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
a.       Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
b.      Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
c.       Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
d.      Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
e.       Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
f.       Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
g.      Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
h.      Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a.        QS ash-Shaffat: 96 yang artinya :
     “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.      QS al-Anfal: “ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c.       QS al-Insan: 30  Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2.      Dasar Ajaran Aliran Jabariyah
Landasan naqly (alasan yang diambil dari al-Quran dan Hadis) dan aqly (alasan yang bersandar pada akal atau rasional semata) yang menjadi pegangan sekaligus alasan "ada" nya kedua aliran teologi ini. Dalil-dalil naqli sebagai dasar aliran Jabariyah yaitu :
a.       QS. Ash-Shafaat ayat 96 : Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.      QS. Al-Anfal ayat 17 : Artinya: “......dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”
c.       QS. al-Hadid ayat 22: Artinya: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

d.      QS. Al-Insan 30 : Artinya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Adapun dalil-dalil aqliy yang dijadikan landasan bagi kaum Jabariyah antara lain sebagai berikut:
a.       Makhluk tidak boleh mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan, dan kalau itu terjadi, berarti menyamakan Tuhan dengan makhluknya.
b.      Mereka menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah Yang Maha Kuasa.
c.       Allahlah yang berbuat dan menciptakan, oleh karena itu, makhluk tidak mempunyai kekuasaan.
d.      Manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit juapun, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai kemampuan (Istitha`ah).
e.       Perbuatan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia karena manusia tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak memperbuat.
f.       Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya.
Penolakan Terhadap Paham Jabariyah Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi.
 Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir.
Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi. Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.
Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.  Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
a.       Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia merupakan paksaan dari Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dikemukakan oleh jahm bin shofwan.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan yang kekal.
c.       Iman adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati. Artinya, bahwa manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu dan melalkukan dosa besar, tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
d.      Kalam Tuhan adalah makhluk, Allah SWT mahasuci dari segala sifat keserupaan dengan makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat kelak, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah, tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
e.       Allah tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan mendengar
f.       Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam mewujudkan perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut teori kasah, sementara An-najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.


3.      Doktrin Ajaran Jabariyah
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri., tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini :
a.      Jahm bin Shofyan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia berasal dari Khurusan, bertempat tinggal di Khufah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukanJahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nahyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
2)      Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)      Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian, dalam beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazillah, dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
b.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut
1)      Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatanyang diciptakan Tuhan.

4.      Tokoh Aliran Jabariyah
a.      Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah; ia seorang da’i yang fasih dan lincah (otrator); ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan.
Adapun doktrin Jahm tentang hal-hal yang berkaitan dengan teologi adalah;
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah
3)       Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.
4)      Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal
b.      Ja’ad bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm, yaitu:
1)      Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2)       Allah tidak memiliki sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mengengar.
3)      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
Kedu tokoh di atas termasuk pada golongan Jabariyah ekstrem, dan adapun perbedaan yang paling signifikan dari kedua golongan tersebut terletak pada pendapat tentang perbuatan manusia itu. Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya Sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Yang termasuk pemuka Jabariyah moderat adalah;
a)      An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah;
1)      Tidak semua perbuatan manusia bergantung kepada Tuhan secara mutlak” artinya Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan itu positif maupun negative. Tetapi dalam melakukan perbuatan itu, manusia mempunyai andil.  Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan mempunyai aspek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut dengan kasb/acquisition
2)      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b)   Adh- Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

5.      Sekte-Sekte Ajaran Jabariyah
Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam Jabariyah, yaitu :
a.      Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.
b.      Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.
c.       Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).
Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.

6.      Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.

B.     ALIRAN QADARIYAH
1.      Pengertian Dan Penisbatan Paham Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminology atau istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Sebab itulah faham seperti ini dinisbatkan dengan istilah Qadariyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Sedangkan nama Qadariyah diberikan kepada golongan ini oleh lawan teologinya lantaran sikap dan pendapatnya yang memandang : manusia itu bebas dan mempunyai kekuasaan (qudrah) untuk melaksanakan kehendak dan segala perbuatannya. Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free willfreedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat. Sebenarnya faham Qadariyah ini lebih pas dialamatkan kepada kelompok yang menyatakan bahwa qadar Allah telah menentukan segala tingkah laku manusia baik perilaku yang baik maupun yang jahat sekalipun.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ketika faham Qadariyah dibawa kedalam kalangan mereka oleh orang-orang Islam yang bukan berasal dari Arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Adanya sikap menentang faham Qadariyah ini dapat dilihat dalam ungkapan lain bahwa:“kaum Qadariyah adalah kaum majusinya umat Islam”, dalam pengertian sebagai golongan yang tersesat.
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
  1. Tersebar luasnya madzhab asy’ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu’tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy’ariyah yang mayoritas.
  2. Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi
 Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat:
Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah.
Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini, bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir. Penyebab lebih dikenalkanya penisbatan dan sebutan Qadariyah para pengingkar takdir ialah:
a.       Tersebar luasnya madzhab asy'ariyah sehingga menjadikan kaum qadariyah dan mu'tazilah sebagai minoritas dihadapan kaum asy'ariyah yang mayoritas.
b.      Tuduhan adanya kesamaan antara kaum Qadariyah dengan penganut agama majusi, sebab yang diketahui bahwa kaum majusi membatasi takdir ilahi hanya pada apa yang mereka namakan kebaikan saja, sedangkan kejahatan berada diluar takdir ilahi

2.      Asal Usul Kemunculan Paham Qadariyah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi’ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu ‘anhu, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya.
Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam faham Mu’tazilah.


3.      Dokterin-Dokterin Paham Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang dua ratus kilogram.

4.      Dasar Ajaran Qadariyah
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara dan mendukung paham itu, seperti berikut:
  1. Fush-Shilat : 40
Artinya: “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
b.      Ali Imran :165
 Artinya: “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
c.       Ar-Ra’d :11
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d :11)

5.      Asas-asas Paham Qadariyah
  1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
  2. Melampaui atau berlebihan didalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
  3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Karena ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma’ani dari Allah Taala.
  4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk, Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
  5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi menurut faham Qadariyah, Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.
  6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
  7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana’), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.


6.      Tokoh-tokoh paham Qadariyah
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :

  1. Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi
Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.
b.      Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)
Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya .
c.       Ghailan Ad-Dimasyqi
Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.
Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98 H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
d.      Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)
Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya dan meracik antara bid’ah Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah dan ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya.
para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan seterusnya”. Kemudian beliau turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124 H.
e.       Al-jahm bin Shafwan
Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan bid’ah ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H
f.       Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid
Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.

7.      Sekte Paham Qadariyah
Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah, ‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah, Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah, Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.
Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa banyak pun jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan bersumber pada tiga pemahaman.
  1. Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya, dan kami tidak mengharamkan apapun.
  2. Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.
  3. Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal jamaah).
Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:
  1. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir
  2. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.

Kita tahu ketika faham qadariyah ketika di bawa ke dalam kalangan mereka orang-orang islam yang bukan berasal dari orang Arab padang pasir, hal itu memunculkan kegoncangan dalam pemikiran mereka. Faham qadariyah ini mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sifat menentang faham qadariyah ini dapat kita lihat dalam hadits-hadits mengenai qadariyah umpamanya:
Artinya:
“Kaum qadariyah merupakan majusi umat Islam”, dalam arti golongan yang tersesat.
Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana soal qadariyah atau freewill dalam AlQur’an sebagia sumber utama dan pertama mengenai ajaran islam? Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan kita jumpai di dalamnya ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariyah dan sebaliknya pula kan kita jumpai yang boleh membawa kepada faham jabariyah..

C.    ALIRAN MU’TAZILAH
1.      Pengertian dan Sejarah Munculnya Aliran Mu’tazilah
a.      Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya. Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu  itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman  mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
b.      Dalil atau dasar Aliran Mutazilah
rوَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَ يَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَl
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs Ali imran:104)
rوَلا تَكُونُوا كَالَّذينَ تَفَرَّقُوا وَ اخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَ أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظيمٌl
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (Qs Ali imran:105)

c.       Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1)      Ada seorang guru besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun 131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini, maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau memisahkan diri dari gurunya.
2)      Adapula orang mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3)      Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
4)      Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
5)      Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.

2.      Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
a.       Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi  , yang immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk memurnikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan kaum rasional.

b.      Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.

c.       Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.

d.      Al-Manzilah Baina Manzilatain
 Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.

e.       Amar Ma`ruf Nahi Munkar
 yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu 1Mengenai tentang mengetahui Tuhan.2  Kewajiban mengetahui Tuhan. 3. Mengetahui baik dan jahat. 4.Kewajiban mengatahui baik dan jahat.

3.      Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
a.       Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
b.      Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Dalam bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah: al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati,
pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
a.       Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
b.      Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “diri”-Nya.
c.       Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah, larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah makhluk-Nya.
d.      Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
e.       Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
f.       Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki.

4.      Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a.      Akal dan wahyu
Sepanjang  sejarah membuktikan bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah adalah mereka membentuk mazhabnya banyak menggunakan akal. dan mereka menempatkan akal di atas wahyu,  apabila sesuatu tersebut  dapat di terima oleh akal berarti hal tersebut sesuai dengan sunnah, tetapi apabila tidak sesuai dengan akal mereka menolak, kendalipun hal itu terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sebagai Contoh, kaum Mu’tazilah tidak menerima isro’ dan mi’raj walaupun ada ayat Al-Qur’an  dan hadis Nabi yang sahih menyatakan hal tersebut, karena hal tersebut menurut mereka adalah bertentangan dengan akal sehat  manusia.  Kaum Mu’tazilah juga menolak adanya kebangkitan  dari kubur, dan siksa kubur, karena mustahil mereka mandapatkan azab dalam kubur yang sempit itu, hal itu tidak sesuai dengan akal
b.      Sifat Tuhan
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mendengar dengan zat, Tuhan melihat dengan zatNya dan Tuhan berkata dengan zatNya. Menurut  meraka dasar faham ini adalah tauhid , kalau Tuhan pakai sifat berarti Tuhan itu dua yaitu zat dan sifat.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Defenisi mereka tentang Tuhan,   sebagaimana yang telah disampaikan oleh As’yari adalah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan,  kekuasaan, hajat dan sebagainya ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkusa tetapi bukan dengan sifat dalam arti  kata yang sebenarnya. Artinya Tuhan mengetahui dengan pengetahun,   dan pengetahuan itu adalah pengetahuan  sendiri, dengan demikian pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh Abu Al-Khuzail  adalah Tuhan Sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan
            Arti Tuhan mengetahui dengan  esensinya  kata Al-Juba’i adalah, bahwa untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak berhajat  kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui .
c.       Iman dan Kufur
Menurut Mu’tazilah Iman dan kufur adalah dua hal yang tidak dapat disatukan,  karena itu mereka mengatakan bahwa orang mukmin yang kufur yang melakukan dosa besar pada hakikatnya dia bukan mukmin lagi, dan apabila dia meninggal dalam keadaan tidak bertobat maka di akhirat nanti dia dimasukkan kedalam neraka,  mereka ini adalah orang yang fasik yang bukan mukmin dan bukan pula kapir
d.      Perbuatan manusia
Mu’tazilah mengitikadkan bahwa pekerjaan manusia  dibuat oleh manusia itu sendiri  bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang sedang dan akan dibuat oleh manusia, bagi mereka Khalik itu dua, yang pertama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dan yang lain manusia yang menjadikan perbuatannya sendiri
            Menurut Mu’tazilah manusia melakukan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak, manusia benar-benar bebas dalam melakukan pilihan perbuatannya baik ataupun buruk.  Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki  yang baik saja bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa yang dilarang -Nya  tentulah yang buruk,  Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk, dengan demikian apapun yang akan diperoleh oleh manusia di akhirat nanti adalah merupakan perbuatannya di dunia, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan keburukan, karena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa. Adapun dalil yang mereka pergunakan adalah Qur’an surat Ali Imran  ayat 165
165. Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
e.       Perbuatan Tuhan dan Mihnah
Aliran Mu’tazilkah  berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.  Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk  karena Ia mengetahui  keburukan dari perbuatan buruk itu.  Dalam Al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zhalim. Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan Mu’tazilah  untuk mendukung pendapatnya adalah  surat al-Anbiya ayat 23 dan surat ar-Rum ayat 8.
 23. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan,denganTuhannya.
            Qodi  Abd   Jabar,  seorang  tokoh Mu’tazilah  mengatakan bahwa ayat  tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik   dan maha suci dari perbuatan yang buruk.  Dengan demikian  Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan.  Adapun ayat kedua menurut al-Jabar  mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk
            karena itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada  manusia  yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia. Konsekwensi hal demikian  memunculkan faham kewajiban Allah sebagai berikut :
a.       Kewajiban tidak memberi beban diluar kemampuan manusia
Memberikan beban  diluar kemampuan manusia  adalah bertentangan  dengan faham berbuat baik  dan terbaik,  Hal ini bertentangan  dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan.  Tuhan akan bersifat tidak adil  kalau Ia memberikan  beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.      Kewajiban mengirimkan rasul
Argumentasi mereka adalah bahwa kondisi akal manusia yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan  dan alam ghaib, oleh karena itu Tuhan berkewajiban  berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirimkan rasul, tampa rasul   manusia tidak akan dapat memperoleh hidup baik dan terbaik dunia dan akhirat.
c.       Kewajiban menepati janji dan ancaman
     Argumentasi Mu’tazilah dalam hal ini adalah Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janjinya  untuk memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik  dan menjalankan hukuman bagi orang yang berbuat jahat.  Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman  bagi yang berbuat baik dan buruk tersebut bertentangan dengan maslahah  dan kepentingan manusia. Oleh karena itu  menepati janji  dan menjalankan  ancaman   adalah wajib bagi Tuhan.

5.      Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
a.      Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
b.      Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang lebih tiga abad lamanya.


6.      Perkembangan  Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil (memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak berlangsung lama.
Selama berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
7.      Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
a.       Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b.      Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
c.       Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
d.      Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
e.       An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat.
Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.
Mu`tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh golongan-golongan umat Islam lainnya. Aliran kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.


B.     Saran
Setiap muslim bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.





DAFTAR PUSTAKA

Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Al-Dar Al-Fikr: Beirut. Press, Jakarta, 1986.Watt, Montgomery. W. Islamic Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburg University, 1992.Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisis perbandingan, UI http:// blogspot.co.id/2017/04/ aliran-jabariyah.html.
http://ashabulcoffee.blogspot.co.id/2017/01ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html.D
http://fahimganteng.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html
Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya. Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007
Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996.
Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1990.
https://shafavolefel.wordpress.com/2015/12/16/contoh-makalah-qadariyah/
http://kapanpunbisa.blogspot.co.id/2011/10/aliran-qadariyah.html
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir Ahmad,  Sahilun.2010. Pemikiran Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.
Rozak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Supiana dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.co.id/2014/01/makalah-mutazilah-pengertian-asal-usul.html
http://www.fauzulmustaqim.com/2015/11/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html
http://irwantokrc.blogspot.co.id/2015/10/mutazilah.html


Komentar

  1. AvatarQQ - Agen Poker Online - Judi Poker Online - Agen Domino99 - Domino Online - Agen Judi Online

    Menangkan Jutaan Rupiah dan Dapatkan Jackpot Hingga Puluhan Juta Dengan Bermain di www.avatarqq.com

    Kelebihan dari Agen Poker Online Avatarqq :
    • Situs Aman dan Terpercaya.
    • Minimal Deposit Hanya Rp.10.000
    • Bonus Deposit 10% Setiap Deposit
    • Proses Setor Dana & Tarik Dana Akan Diproses Dengan Cepat (Jika Tidak Ada Gangguan).
    • Bonus Cashback 0.5% (Disetiap Perminggu).
    • Bonus Refferal 20% (Seumur Hidup)
    • Pelayanan Ramah dan Sopan.Customer Service Online 24 Jam.
    • 4 Bank Lokal Tersedia : BCA-MANDIRI-BNI-BRI

    9 Permainan Dalam 1 ID :
    Poker - BandarQ - Domino99 - PairQiu - AduQ - PokerLuck - PokerTexas - OMAHA - Slot

    Link Alternatif avatarqq :
    • www.avatarqq.org
    • www.avatarqq.net

    Info Lebih Lanjut Hubungi Kami di :
    WHATSAPP : +855-88-647-6590



    AGEN POKER LUCK
    BANDAR JUDI DOMINO99
    AGEN JUDI OMAHA
    AGEN ADUQ TERBAIK
    TRIK JUDI POKER
    AGEN BANDAR Q
    AGEN POKER ONLINE

    BalasHapus
  2. Mohin maaf, ingin meluruskan, bahwasanya di makalah tersebut, penulis menyebutkan "Aljabbar artinya Allah Maha Memaksa", itu salah. Mohon dibetulkan segera.
    Al Jabbar artinya adalah Allah Maha Kuasa, bukan m e m a k s a. Terima kasih.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

Makalah 10 Tantangan Masa Depan (Administrasi Pembangunan)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seperti yang apat disaksikan dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya berbagai perubahan besar menyangkut aktivitas kehidupan manusia. Perkembangan dan perubahan aktivitas manusia dan masyarakat suatu negara menuntut Pemerintah suatu negara untuk memiliki kualitas dan kemampuan mengatur dan melayani kebutuhan, harapan dan tuntutan yang semakin lama semakin kritis dan semakin besar dan kompleks. Sejalan dengan perkembangan tersebut, dimana negara negara di dunia semakin menglobal seolah tanpa batas menyebabkan administrasi negara harus mampu untuk dapat mengimbangi berbagai tuntutan dan kebutuhan untuk mengatasi dan mengantisipasi perubahan yang sangat cepat tersebut. Tidak hanya peningkatan aspek praktis yang perlu diperhatikan, tetapi hal yang berkaitan dengan aspek teoritis dan ilmiah perlu juga mengadaptasi perhatian. Berkaitan dengan persoala...