BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Muhammadiyah
merupakan suatu organisasi sosial keagamaan, artinya Muhammadiyah bergerak
dalam ranah sosial dan agama. Mengapa demikian? Inilah yang sering menjadi
pertanyaan kita. Jawabannya sudah pasti ada pada zaman dulu ketika KH.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah untuk pertama kalinya. Bagaimana kemudian
kita ketahui bersama kondisi geografis dan sosial yang ada di Yogyakarta saat
itu, Sebagian besar masyarakat masih menganut faham kejawen.Njawani itu
bagus, tapi menganut kejawen itu yang kurang bagus. Karena
dalam fahamkejawen terdapat ritual-ritual sama persis seperti yang
dilakukan umat hindu. Penyembahan terhadap makhluk hidup sering dilakukan. Hal
inilah yang kemudian membuat Darwis menjadi miris dan serasa tersayat.
Bagaimana bisa di Yogyakarta masih ada masyarakat yang menyembah pohon, dan
menaruh sesaji dibawahnya. Kalau bahasa anak sekarang mungkin, “ndak
habis fikir, kok sek usu ?”.
"Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang menghardik anak
yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong dengan) barang
berguna." (QS. Al-Ma’un: 1-7).
Ayat
di atas merupakan basis ideologi perjuangan Muhammadiyah yang
memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum
teraniaya (mustadh’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar pijakan dalam
pengembangan awal gerakan “PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem” dengan tokoh Kyai
Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan tersebut
disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan masyarakat sipil
atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang
dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan bermartabat.
Muhammadiyah
mempunyai cita-cita sosial, yakni “kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat
yang diridhai Allah”. Dari sini kita ketahui bahwa Muhammadiyah menghendaki
terciptanya negara yang baik dan penuh akan ampunan Allah. Inilah interpretasi
dari ungkapan Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana
kita lihat kemudian Muhammadiyah sejak didirikan oleh Kyai Dahlan, sampai
kepemimpinan yang sekarang masih berusaha untuk menjalin komunikasi yang baik,
dan memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat. Hal inilah yang menjadi
penting dalam perkembangan Muhammadiyah.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah yang dapat di tarik dari penjelasan latar belakang adalah, sebagai
berikut :
1. Bagaimana
Nilai-Nilai dan ajaran sosial-kegamaan Muhammadiyah (Teologi Al Maun)?
2. Bagaimana
Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan ini adalah dapat
menjelaskan dan memahami bagaimana bentuk Nilai-Nilai dan ajaran
sosial-kegamaan Muhammadiyah (Teologi Al Maun) serta Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan
Muhammadiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gerakan Sosial
Mansoer
Fakih menyatakan bahwa Gerakan Sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang
terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha
merubah struktur maupun nilai sosial.[1]
Dan gerakan sosial menurut Sosiologi sendiri adalah aktifitas sosial berupa
gerakan sejenis tindakan sekelompok yang merupakan kelompok informal yang
berbetuk organisasi, berjumlah besar atau individu yang secara spesifik
berfokus pada suatu isu-isu sosial atau politik dengan melaksanakan, menolak,
atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi
terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang
disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai
gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga
masyarakat yang ada.[2]
Gerakan sosial adalah gerakan suatu organisasi atau kelompok orang yang
bermaksud mengadakan perubahan terhadap struktur sosial yang ada, serta untuk
membangun kehidupan baru yang lebih baik.
B. Konsep
Gerakan Sosial
Menurut
Cook (1995), gerakan sosial mencakup beberapa konsep, yaitu berorientasi
perubahan (change oroented goals), tingkat organisasi (some degree of
organization), tingkat kontinyuitas yang sifatnya temporal (degree of
temproral continuity), dan aksi kolektif di luar lembaga (aksi jalanan) dan
di dalam lembaga/lobi politik (some extrainstitutional and institutional).
C.
Nilai-nilai
dan Ajaran Sosial Kemanusiaan Keagamaan dalam Perspektif Muhammadiyah (Teologi al-Maun)
1.
Nilai
Kemanusiaan
Dalam salah satu tulisannya,
Abdul Munir Mulkhan (2010: 43) mengatakan, inti visi kemanusiaan agama-agama
adalah cinta kasih. Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI adalah tokoh
agama yang dikenal sangat gigih memperjuangkan nilai kemanusiaan. Tulisan Munir
Mulkhan tersebut dapat dipahami bahwa KH. Ahmad Dahlan tidak ketinggalan jika
disbanding dengan Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI. KH.Ahmad Dahlan
tampaknya menjadi tokoh pencari identitas kebenaran etos kemanusiaan global.
Berangkat dari gagasan mulia itu, lahirlah berbagai rumah sakit, rumah
bersalin, sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari
diploma sampai doktoral, panti asuhan yatim piatu, rumah miskin dan
kepanduan.
Selanjutnya, Munir Mulkhan
(2010:80) mengutip hasil penelitian Alfian dan Nakamura yang memiliki
kesimpulan bahwa paham keislaman KH. Ahmad Dahlan mengedepankan penafsiran
pragmatis yang oleh Nakamura disebut sebagai bermuka dua. Lebih lanjut,
dijelaskan bahwa amalan lahiriah adalah bekas dan hasil dari daya ruh agama.
Agama mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial
dan perilaku sosial.
Menurut Muhammadiyah, gerakan
sosial termasuk dalam urusan Muamalah al-duniawiyah. Manusia mempunyai
nilai universal tanpa dibatasi oleh keyakinan, wilayah, etnis dan jenis
kelamin. Nilai itu adalah nilai kemuliaan yang disandang oleh setiap anak cucu
Adam. Di dalam Al-Qur’an surat al-israa’ ayat 70 secara deskriptif telah
dijelaskan bahwa:
Artinya : “Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami
ciptakan” (QS. Al-Israa’:70)
Secara kultural, kemuliaan dapat
diperoleh melalui banyak cara, diantaranya: manusia dapat dianggap mulia karena
ilmunya, itulah sebabnya orang yang berilmu biasa
disebut al-mukarram. Manusia dapat dianggap mulia karena hartanya
itulah sebabnya orang kaya dihormati. Manusia dapat dianggap mulia karena
jabatannya, itulah sebabnya pejabat biasa dihormati. Tetapi, kemiliaan tersebut
bukanlah kemuliaan yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an. Kemuliaan tersebut
dapat membawa nilai apabila diikuti dengan sifat lain misalnya: ilmuwan
mempunyai nilai apabila ia mengajarkan dan mengamalkan ilmunya. Orang kaya
dianggap mempunyai nilai apabila ia menjadi dermawan. Pejabat dianggap
mempunyai nilai apabila ia menjalankan kepemimpinan dengan adil.
Secara subtansial, kemuliaan
manusia itu melekat pada fitrah. Itulah sebabnya pada ayat lain dalam al-Qur’an
surat al-Hujarat ayat 13 disebutkan bahwa:
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbanga-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya, Allah maha mengetahui
lagi maha mengenal” (QS. Al-Hujuurat: 13).
Bentuk kemuliaan itu direspon
dalam al-Qur’an dengan janji antara lain: mudkhalan
kariman (dimasukkan ke tempat yang mulia atau surga) (QS. An-Nisa’:
31) maghfirah wa rizkun karim memperoleh maghfirah dan nikmat yang
mulia) (QS. Al al Anfal: 4), maqaam karim (tempat yang mulia) (QS.
Asy-Syuara: 58). Potensi untuk meraih kemuliaan itu disebut sebagai sebaik-baik
makhluk. Dimana makhluk yang diberi potensi tersebut adalah manusia. Inilah
yang disinggung dlam al-Qur’an surat al-Thin ayat 4 bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya, Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (QS. al-Tin: 4)
Melihat deskripsi tersebut bahwa
manusia merupakan makhluk yang sangat mulia, indikator kemuliaan seseorang dapat
dilihat dari lima aspek antara lain:
a. Hubungan
dirinya dengan Tuhan
Hubungan manusia dengan Tuhan di
atur dalam aqidah dan ibadah. Aqidah menjadi inti kehidupan beragama. Jantung
Islam adalah penyaksian keesaan Allah, kemutlakan untuk tunduk pada kehendak
Tuhan. Dua kalimat syahadat merupakan suatu pernyataan pokok yang mengandung
makna pembebasan diri dari berbagai bentuk ikatan kecuali ikatan terhadap Allah
SWT. Pernyataan kehambaan menegaskan bahwa tidak ada tempat menghambakan diri
kecuali hanya kepada Allah SWT. Iman adalah percaya dengan penuh tanggung
jawab; kepercayaan kepada Tuhan merupakan masalah personal, berada dalam hati.
Orang bebas menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Nabi Muhammad Saw, bukan
dalam kapasitas melaksanakan keimanan, sebagaimana disebtukan dalam al_Qur’an
bahwa: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (QS.
Al-Ghasiyah:22). Pada ayat lain dikatakan juga, “Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumu seluruhnya. Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?” (QS. Yusuf:99)
b. Hubungan
dirinya dengan alam
Tujuan utama diciptakan manusia
adalah untuk menjadi khalifah yang bertugas mengelola, merawat, menjaga,
memakmurkan dan memelihara kelestarian alam semesta dengan pengertian yang
seluas-luasnya. Tugas tersebut disebutkan dalam al-Qur’an,
misalnya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS.
al-Baqarah:30)
Keseimbangan dan keramahan
lingkungan kepada manusia tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan alam
semesta. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang bahaya dari ketidak ramahan
manusia terhadap lingkungan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Telah Nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum:41)
c. Hubungan
dirinya dengan masyarakat
Manusia diciptakan sebagai
makhluk sosial, sebagai makhluk yang cenderung hidup bermasyarakat, bersama,
berkelompok-kelompok. Dan berbangsa-bangsa Islam menekankan pada pentingnya
menjaga akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menghormati tetangga atau
menghormati sejawat. Sebagaimana disebutkan misalnya dalam surat an-Nisa ayat
36 bahwa:
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada dua orang
tua ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS. An-Nisa:36)
Dalam surat yang lain, yaitu al-Qur’an
surat Lukman ayat 18-19, juga dijelaskan bahwa:
Artinya: :”Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (Karen sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam
berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburu-buruk suara ialah suara
keledai” (QS. Lukman:18-19)
Dua ayat tersebut menjelaskan
secara eksplisit bahwa sifat sombong itu dicela, dikecam dalam al-Qur’an.
Sombong merupakan ungkapan, simbol dari sikap individualism, sikap menang
sendiri, sikap merendahkan orang lain. Merendahkan orang termasuk salah satu
penyakit masyarakat.
d. Hubungan
dirinya dengan keluarga
Dalam melaksanakan hubungan
dengan keluarga, perinsip yang harus dijaga adalah saling menghormati,
perinsip ta’awun (tolong menolong), perinsip saling menasehati dan
perinsip musyawarah.
e. Hubungan
dengan dirinya sendiri
Menjaga diri dari hal-hal yang
bisa merusak harkat dan martabat atau bisa mengurangi derajat kemuliaan.
Sebaliknya, harus memelihara diri dari sifat-sifat yang wajib dimiliki seperti:
ikhlas, sabar, jujur, istiqomah. Perlakukan terhadap diri sendiri menjadi acuan
untuk memperlakukan orang lain. Perlakuan orang lain kepada diri merupakan refleksi
dari perlakuan diri kepada orang lain.
2.
Ajaran
Sosial Kemanusiaan dalam Muhammadiyah
Islam menetapkan dua pola
hubungan yang permanen dalam kehidupan beragama yakni: hubungan dengan Allah
SWT, yang lazim disebut hablun minallah dan hubungan dengan sesama
manusia atau lazim disebut hablun minannas. Hubungan dengan Allah
dalam bentuk ibadah dibahas dalam ilmu fiqih, sedangkan hubungan dengan sesama
manusia dibahas dalam ilmu akhlak.
Baik yang berhubungan dengan
ibadah maupun yang berhubungan dengan akhlak, apabila disebutkan secara jelas
dan tegas di dalam al-Qur’an atau al-Hadist, itu disebut ajaran. Jadi, konsep
ajaran Islam adalah ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an atau al-Hadist.
Berdasarkan konsep tersebut, dapat dinyatakan bahwa: menyantuni anak yatim
adalah ajaran Islam, memberi makan orang miskin adalah ajaran Islam, mebantu
kaum duafa adalah ajaran Islam, seperti halnya shalat adalah ajaran Islam, dan
zakat adalah ajaran Islam. Tiga bentuk ajaran Islam yang awal disebut merupakan
wajib kifayah dalam pandangan ulama fiqih, sedangkan dua ajaran yang terakhir
disebut termasuk kewajiban ‘ain (fardhu ‘ain). Dalam pandangan
Muhammadiyah, kedua kewajiban t6ersebut sama nilainya dan sama pentingnya. Tiga
bentuk ajaran tersebut digolongkan dalam kategori hablun minannas,
sementara dua bentuk yang disebut terakhir digolongkan dalam
kategori hablun minallah.
Muhammadiyah menjadi pelopor
gerakan filantropi atau pembelaan pada kaum mustad’afin di Indonesia,
sebuah entitas yang tetap menjadi ruh perjalanan gerakan sepanjang masa.
Dikisahkan bahwa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan membina sebuah
pengajian. “Materi pengajiannya, sudah beberapa bulan membahas surat yang sama
yaitu al-Maun. Sampai pada suatu hari, salah seorang murid bertanya kepada Kiai
Dahlan. “Pak Kiai, pengajiannya kok membahas al-Maun terus, kapan mengaji surat
lain?” Lantas, Kiai Dahlan pun balik bertanya. “Sudahkah kamu mengamalkan surat
ini?” Si murid menjawab. “Sudah. Kiai, saya sudah menggunakan surat ini dalam
shalat saya dan suka membacanya berulang-ulang di rumah. “Bukan begitu ….,”
kata Sang Kiai. “Sudahkah kamu mengamalkan kandungan surat ini? “Sudahkah kamu
peduli pada anak yatim di sekitarmu? Sudahkah kamu memberi santunan terhadap
orang miskin di sekitarmu? Kalau belum, berarti kamu benar-benar mengamalkan
surat ini. “Akhirnya, setelah itu, Sang Kiai dan para muridnya
berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat dimana banyak orang-orang miskin
dan anak-anak yatim. Mereka kemudian membawa kaum duafa tersebut ke suraunya,
member mereka makan, memberi pakaian dan member pendidikan.
Cerita terkenal tentang
pengajaran surat al-Maun oleh KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya menjadi
landasan kuat akan berkembangnya perinsip “beramal ilmiah, berilmu
amaliah” dalam menjalankan gerak pesyarikatan Muhammadiyah. Tidak cukup hanya
dengan mengaji dan mengkaji saja tentang ajaran agama Islam, namun juga harus
melakukan tindakan nyata di lapangan. Harus beramal nyata, beramal yang
dilandasi ilmu, dan ilmu yang mesti diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari
perinsip inilah kemudian lahir dan bertebaran lembaga pendidikan, rumah sakit,
panti asuhan, lembaga social, dan sekian jumlah amal usaha Muhammadiyah di
berbagai pelosok negeri (Febriansyah, dkk., 2013:20-21).
Atas dasar spirit surat al-Maun,
KH. Ahmad Dahlan memberi isyarat bahwa Islam adalah agama yang menekankan bukan
hanya aspek ritual dan mengabaikan aspek sosial. Akan tetapi, seorang muslim
dikatakan salih dalam menjalankan ibadah ritual, apabila melahirkan akhlakul
karimah dan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, orang yang
melupakan tidak perduli pada nasib anak yatim dan orang miskin digolongkan
sebagai pendusta agama.
Ajaran sosial kemanusiaan yang
dipopulerkan dengan istilah teologi al-Maun ini mengandung empat nilai, yakni:
a. Nilai
religi atau nilai iman
Iman adalah sesusuatu yang
menjadi ruh semangat keberagamaan, sesuatu yang menjadi sumber dan sekaligus
motivasi atau penggerak amaliah. Dalam pandangan Muhammadiyah, iman bukanlah
barang yang pasif melainkan aktif. Iman bukan sesuatu yang absolute dan tidak
dapat diamati, tidak dapat diukur, melainkan iman dapat diamati, diukur dan
terlihat dalam interaksi sosial.
Di dalam al-Qur’an, banyak
disinggung tentang iman dan amal social. Keduanya harus aktif secara bersamaan.
Iman disejajarkan dengan memberikan harta yang dicintai sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 bahwa:
Artinya: “Bukanlah menghadap
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musyafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah:177)
Ayat ini menyebutkan tujuh syarat
perbuatan yang disejajarkan nilainya dan menjadi syarat takwa, yakni: Beriman,
Memberikan harta yang dicintainya, Memerdekakan hamba sahaya, Mendirikan
shalat, Menunaikan zakat, Menepati janji, dan sabar. Tujuh item dari pesan ayat
tersebut dapat diidentifikasi jadi dua bagian. Bagian pertama terkait dengan
hubungan kepada Tuhan: beriman dan mendirikan shalat; bagian kedua menyangkut
hubungan dengan sesama manusia: memberikan harta yang dicintainya, memerdekakan
hamba sahaya, menunaikan zakat, menpati janji dan sabar. Hal ini berarti
tanda-tanda taqwa lebih banyak berdimensi kemanusiaan.
b. Nilai
belas kasih atau nilai al-rahmah
Nilai al-Rahmah atau
cinta kasih atau belas kasihan merupakan ajaran dasar yang sangat prinsipil.
Berbagai sifat yang berlawanan dengan sifat al-Rahmah adalah pemarah, sombong,
dengki, dendam. Semua itu dikecam dalam al-Qur’an Dalam hadist nabi disebutkan
bahwa cinta kasih merupakan indikator iman seseorang sebagaimana dijelaskan
dalam hadist dari Annas bin Malik, Artinya;
Dari anas Ibn Malik ra, dari Nabi
Saw bersabda, “Tidak beriman seseorang diantar kamu sebelum ia mencintai
saudaranya atau tetangganya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”
(HR. Muslim juz 1:49)
Rahmah adalah bagian dalam atau
bagian dari aspek kejiwaan (psikologi) yang menjadi dasar dari perasaan setiap
orang. Perasaan tersebut menjadi identitas diri kemanusiaan. Apabila perasaan
tersebut hilang, identitas kemanusiaan juga dapat dikatakan telah hilang.
Istilah yang lebih ekstrim adalah perasaan telah mati. Inilah yang dimaksud
jiwa yang meninggal sementara jasad masih hidup.
Untuk memahami
makna al-Rahmah berikut sebuah riwayat yang menceriterakan bahwa
suatu ketika Nabi menggendong seorang anak yang sedang
menhadapi sakratulmaut, nafasnya tersenggal-senggal, menyaksikan
situasi tersebut air mata nabi Muhammad Saw menetes membasahi pipinya. Sahabat
yang hadir pada waktu termasuk Thalhah merasa heran dan bertanya, ada apa
gterangan ya Rasulullah, Beliau menunjukkan kepada air mata yang ada di pipinya
sambil menjawab, “hadzihi al-rahmah” (ini adalah rahmah). Jadi, orang
menangis mengeluarkan air mata karena kesedihan atau perasaan belas kasihan
itulah yang disebut al-rahmah.
Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa suatu ketika Nabi Saw, diminta untuk mendoakan orang musyrik agar
dilaknat oleh Allah SWT. Lalu, Nabi menjawab sebagaimana disebutkan vdalam
hadist dar Abi Hurairah bahwa:
Artinya; “Dari Abi Hurairah,
berkata, ya Rasulullah do’akan orang musyrik supaya dilaknat, lalu Nabi
menjawab, saya diutus bukan untuk melaknat melainkan sebagai rahmat” (HR.
Muslim juz 8:24)
Al-Rahmah adalah bagian dari
cinta kasih sebagaimana disinggung pada awal tulisan dan merupakan landasan
atau basis pendirian amal usaha di bidang social yang dibina oleh Muhammadiyah.
Amal usaha itu merupakan focus gerakan Muhammadiyah. Menurut Amin Rais
(1998:44-48), terdapat empat doktrin Muhammadiyah,
yakni: Pertama, doktrin pencerahan umat, sehingga amal usaha yang
pertama-tama dirintis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah adalah mrndirikan
sekolah. Kedua, doktrin amal shalih; dalam Anggaran Rumah Tangga
Muhammadiyah telah ditetapkan bahwa syarat berdirinya suatu ranting adalah wajib
memiliki amal usaha minimal mendirikan taman
kanak-kanak. Ketiga, doktrin kerjasama untuk kebajikan; doktrin ini
berlandaskan pada QS. Al-Maidah 2, dan kempat, doktrin tidak
berpolitik.
c. Nilai
syukur
Syukur adalah bentuk pernyataan
terima kasih atas nikmat yang telah diperoleh. Allah akan memberi balasan
kepada hambanya yang suka bersyukur (QS. Al-Qamar:35). Bentuk syukur yang
diimplementasikan oleh Muhammadiyah adalah kerja keras. Muhammadiyah memahami
bahwa bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengelola lembaga pendidikan
merupakan perwujudan bentuk syukur (tafsir syukur). Pintu untuk meraih
kebahagiaan adalah kerja keras (syukur). Allah tidak akan membiarkan hambaNya
dalam keadaan termarjinal, dalam keadaan tertinggal untuk keluar dari kesulitan
apabila si hamba beriman dan bekerja keras (bersyukur) (QS. An-Nisa:147) Lebih
tegas, dinyatakan bahwa Allah pasti membalas orang-orang yang bekerja keras
(syukur). Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat
tujuh bahwa:
Artinya: “Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”(QS. Ibrahim:7)
Pada ayat tersebut, terdapat dua
istilah yang berlawanan, yakni term”syukur/syakartum” dengan
“kufr/kafartum”. Syukur adalah simbol dari orang yang tahu berterima kasih
kepada Tuhan, sedangkan kufr adalah symbol dari orang yang tidak tahu berterima
kasih. Bekerja keras untuk mengatasi masalah kemiskinan atau bekerja keras
untuk mengurusi anak yatim adalah sikap dan perilaku orang yang tahu bersyukur.
d. Nilai tolong-menolong
Tolong-menolong merupakan
perinsip ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Tolong-menolong disebutkan
dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan
keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjidil haram, medorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2)
Muhammadiyah menganut doktrin
bahwa: hidip harus bermasyarakat. Di dalamnya terkandung pengertian kerja sama,
saling menghargai, dan juga saling mengakui perbedaan. Idea tau cita-cita
social Muhammadiyah berkisar pada: ukhuwah, hurriyah, musawah, dan
‘adalah(persaudaraan, kemerdekaan, persamaan dan keadilan) (Rais,1998:17).
Hidup bermuhammadiyah berarti memperbanyak kawan, dan berarti kita harus
memelihara kesetiakawanan. Hidup bermuhammadiyah berarti menghargai orang lain,
menghargai organisasi lain, dan menghargai agama lain.
D.
Bentuk
dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah
Ahmad Dahlan menerjemahkan
teks-teks al-Qur’an kedalam kegiatan praksis social, amaliah, atau tindakan.
Inilah yang menjadi pembeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Ia lebih menonjolkan
aksi, bukan menonjolkan pemikiran, tetapi tidak berarti Muhammadiyah
mengabaikan pemikiran keagamaan. Konsistensi di bidang gerakan social ini
menjadi cirri khas, dan kemudian dikenal istilah metode tafsir sosial dalam
Muhammadiyah.
Teologi al-Ma’un diterjemahkan
kedalam tiga pilar kerja atau tiga bentuk pelayanan yakni; pelayanan
pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial. Tiga pilar tersebut
secara praktis dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1.
Pelayanan
Pendidikan
Seperti disebutkan pada uraian
terdahulu, doktrin Muhammadiyah adalah pencerahan dan doktrin amal salih.
Konsekwensi dari doktrin ini adalah Muhammadiyah mencurahkan segala
kemampuannya untuk mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak
atau Pendidikan Usia Dini sampai ke Perguruan Tinggi. Besarnya apresiasi
sejarah terhadap organisasi Muhammadiyah tidak bias dilepaskan dari peranan
Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri
bahwa salah satu factor yang mendorong KH. Ahmad Dahlan mendirikan
cMuhammadiyah adalah keterbelakangan bangsa Indonesia dari segi pendidikan.
Tentu vproblem tersebut sekaligus mrnjadi problem umat Islam (Hanzah,1985;120).
Dewasa ini, Muhammadiyah
mengelola lembaga pendidikan sebanyak 1132 Sekolah Dasr, 1769 Madrasah
Ibtidayah, 1184 Sekolah Menengah Pertama, 534 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah
Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 67 Pondok
Posantren, 55 Akademi, 4 Politeknik, 70 Sekolah Tinggi, dan 36 Universitas yang
tersebar di seluruh Indonesia (Profil Muhammadiyah, 2005). Namun sepuluh tahun
kemudian, yakni pada tahun 2015, data tentang lembaga pendidikan yang dikelola
Muhammadiyah sebagai berikut: TK/TPQ: 4.623, SD/MI: 2.604, SMP/MTs: 1.772,
SMA/SMK/MA: 1.143, Pondok Posantren: 67, dan Perguruan Tinggi: 172
(Profil Muhammadiyah, 2015).
Data tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah bekerja
keras dalam melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang
pendidikan. Usaha kerja keras tersebut dimaknai sebagai ibadah yang nilainya
tidak kalah mulia daripada ibadah mahdha.
2.
Pelayanan
Kesehatan
Tahun 1918 telah berdiri Penolong
Kesengsaraan Umum (PKU) yang pada tahun 1921 menjadi bagian khusus dalam
Muhammadiyah. Pada tahun 1926, berdirilah klinik di Surabaya, malang dan
Surakarta atau Solo, selain klinik yang ada di Jokyakarta. Sekarang ini masalah
pelayanan kesehatan diurus oleh suatu majelis yang diberi nama Majelis
Pembinaan kesehatan Umum. Dalam mewujudkan visi muhammadiyah tahun 2025, salah
satu usahanya adalah meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Sekarang, Muhammadiyah mengelola Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA,
BP dan lain sebagainya yang secara keseluruhan telah berjumlah 457 buah (lihat
profil Muhammadiyah, 2015). Semangat warga Muhammadiyah mendirikan amal usaha
dalam bidang kesehatan semakin tumbuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh
banyaknya putra-putri Muhammadiyah yang kuliah di Fakultas Kedokteran
(Syamsuddin, 2014:63)
3.
Pelayanan
Sosial
Dalam mewujudkan visi Muhammadiyah
tahun 2025, usaha lainnya adalah memajukan perekonomian dan kewirausahaan kea
rah perbaikan hidup yang berkualitas. Selain masalah pendidikan yang menjadi
alas an utama KH. Ahmad Dahlan mendirikan muhammadiyah, masalah ekonomi umat
juga menjadi factor dominan pendorong lahirnya persyarikatan muhammadiyah. Jika
usaha pendidikan berusaha untuk mengubah situasi umat yang bodoh menjadi umat
yang cerdas, maka bidang ekonomi digarap dalam rangka mengubah keadaan
masyarakat yang miskin menjadi masyarakat yanga kaya atau paling tidak menjadi
masyarakat yang berkecukupan.
Amal usaha dalam bidang
kesejahteraan/kesehatan meliputi pembinaan anak yatim dan anak fakir miskin,
pembinaan daerah kumuh, daerah tertinggal, anak jalanan, pekerja anak, rumah
sakit, rumah bersalin, balai kesehatan masyarakat (Keputusan muktamar
Muhammadiyah 43:162), Pemberdayaan masyarakat, pendampingan usaha masyarakat
tani dan nelayan.
Sampai tahun 2015, vamal usaha
Muhammadiyah dalam bidang social meliputi: Panti Asuhan, santunan, asuhan keluarga
dan lain sebagainya sebanyak318, panti jompo: 54, rehabilitasi cacat: 82, SLB:
71, Mesjid: 6.118. Majelis-majelis yang terkait dengan urusan social adalah:
Majelis Pelayanan Sosial, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, Majelis
Pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga yang terkait adalah: Lembaga
Penanganan Bencana dan Lembaga Zakat Infak dan Sedekah.
Muhammadiyah melalui MPM
melaksanakan program pemberdayaan petani, pendapingan kelompok-kelompok usaha
micro, dan pemberdayaan masyarakat miskin, yang dilakukan dalam berbagai usaha
dan bentuk kegiatan, antara lain:
a. Pemberdayaan
petani, yaitu pembinaan tata cara tanam yang menggunakan pupuk organic,
pelatihan dan penyediaan fasilitator pemberdayaan serta penyadaran fungsi
penting pupuk organic, dan lain-lain.
b. Pemberdayaan
kelompok usaha mikro: MPM melakukan pendampingan terhadap kelompok usaha mikro,
misalnya; kelompok perempuan petani kakao, kelompok petani di Tasikmalaya dan
kelompok industry rumah tangga dan lain-lain.
c. Pemberdayaan
kelompok miskin kota: MPM membuat pilot proyek pemberdayaan pengemudi becak,
dan lain-lain.
d. Dalam
gerakan peduli pada anak yatim, Muhammadiyah aktif mendirikan panti asuhan di
berbagai daerah dan mervitalisasi panti asuhan dan lembaga-lembaga lainnya guna
meningkatkan pelayanan dan kepedulian pada anak yatim. Kelahiran panti asuhan
adalah buah pengamalan atas pemahaman KH. Ahmad Dahlan mengenai pentingnya
memperhatikan dan mrnyantuni anak-anak yatim serta fakir miskin dan anak-anak
terlantar, sebagaimana terkandung dalam al-Qur’ansurat al-Ma’un tersebut
(Febriansyah, dkk.,2013:54-56-144).
e. Gerakan
Peduli Pada Fakir Miskin dan Anak Yatim
Istilah “fakir” dalam kamus
bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan. Miskin
diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan
rendah). Dalam bahasa Arab, kata “miskin” berakar dari kata sa-ka-nayang
berarti diam atau tenang. Kenapa orang miskin disebut miskin, karena ia lebih
banyak diam. Seperti halnya, kenapa keluarga yang bahagia disebut keluarga sakinah,
karena keduanya merasa tentram atau tenang (diam) terhadap pasangannya;
keduanya tidak kemana-mana. Tentang kriteria kemiskinan, tidak dijelaskan di
dalam al-Qur’an maupun al-Hadist. Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat
tentang pengertian fakir dan miskin.
Al-Qur’an memuji kecukupan bahkan menganjurkan untuk
meperoleh kelebihan (Syihab, t.th:451). Ayat yang dijadikan rujukan adalah
al-Qur’an surat al-Jum’ah ayat 10 yang mengatakan:
Artinya: “Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.
Al-Jum’ah:10)
Sedangkan dalam al-Qur’an di
surat yang lain yaitu surat al-Dhuha ayat 8 menerangkan bahwa:
Artinya: “Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan” (QS. Al-Dhuha:8).
Bahkan ada ayat lain yaitu ayat
dalam surat al-Baqarah ayat 198 yang juga mendekripsikan bahwa:
Artinya: “Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
apabila kamu telah bertolak dar’Arafat, berzikirlah kepada Allah di
Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-Baqarah:198)
Kedua ayat tersebut memberi kesan
bahwa berkecukupan adalah sesuatu yang mulia dan karenanya harus bekerja keras
untuk meraih kecukupan tersebut. Yang dilarang dan dicelah ialah rakus atau
berkecukupan lalu kikir.
Muhammadiyah memahami bahwa
tujuan yang hendak dicapai dan diturunkannya agama di muka bumi ini adalah
mengatur menyelamatkan, dan membimbing manusia ke tujuan yang
luhur (baldatun thayyibatun warabbun ghafur), mencerahkan kehidupan,
membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan. Tidak ada penghambaan
kecuali hanya menhambakan diri kepada Allah SWT. Dalam konteks kehidupan
sekarang, manusia harus dibebaskan paling tidak dari tiga bentuk cengkeraman
yakni: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Salah satu problematika nasional,
khususnya problem umat islam saat ini, adalah mengenai pengurangan kemiskinan.
Kemiskinan merupakan bentuk ketidak mampuan seseorang, satu keluarga, atau satu
kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kebutuhan
pangan, atau kebutuhan pendidikan dasar dan menengah, atau kebutuhan kesehatan.
Ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan
kemiskinan absolut.
Gerakan peduli fakir miskin
diserukan oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an. Tidak
hanya memuat perintah untuk menyantuni fakir miskin, tetapi al-Qur’an juga
merkonstruksi perilaku masyarakat Qurays. Tidak jarang al-Qur’an mengecam
berbagai bentuk sikap mereka terkait dengan harta, anak yatim dan fakir miskin.
Kecaman tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Peringatan kepada orang yang suka
menghimpin harta, suka bermewah-mewah atau serakah (QS. Al-Takasur:1-2)
Mencintai harta secara berlebihan
(QS. Al-Fajar:17-20)
Menghardik anak yatim, tidak member
makan orang miskin (QS. Al-Fajar:17-20; al-Maun:1-6)
Dalam tafsir Bahr al-Ulum
(t.th:juz.3,600)v disebutkan bahwa pengertian yukazzibu biddin adalah
orang-orang kafir; “Wahai Muhammad, inilah orang-orang kafir”. Jadi, orang yang
menghardik anak yatim adalah simbol dari orang kafir yang berkebalikan dengan
orang-orang yang menghargai dan mengasihi anak yatim sebagai orang yang
beriman. Ayat ini berbicara secara simbolis antara orang beriman dan orang
kafir. Surat sebelumnya yakni QS. Al-Quraisy menegaskan, “Tuhanlah yang
yang meberi makan dan minum kepada kamu hai manusia, baik yang kaya maupun yang
miskin.”Lalu, pada surat sesudahnya, yakni surat al-Kautsar
disebutkan, “Sesungguhnya, Tuhanlah yang memberi nikmat kepada kamu,
berkorbanlah dengan harta yang kamu miliki.”
Terdapat riwayat yang
menceritakan bahwa pembesar suku Quraisy setiap minggu menyembelih seekor unta.
Namun, ketika anak yatim datang meminta sedikit daging unta yang disembelih
itu, para pembesar Quraisy tidak member daging, bahkan mereka menghardik dan
mengusir anak yatim tersebut. Realitas sosial inilah yang menghidupkan spirit
al-Maun dan memperkenalkan ide setral tauhid dan kemanusiaan serta keadilan
sosial ekonomi. Spirit al-Maun itulah yang menggerakkan Muhammad Saw, dalam
melakukan transformasi sosio moral ekonomi masyarakat Arab (Rahman,2003:3).
Bahkan dalam al-Qur’an juga
dieksplisitkan bahwa Allah memuji dan menyejajarkan ibadah shalat dengan
menginfaqkan sebagian harta. Hal ini terekam dalam al-Qur’an surat al-Maarij
ayat 19-25 yang menerangkan bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya,
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir,
kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, mereka itu tetap mengerjakan
shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya trsedia bagian tertentu. Bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta)” (QS. Al-Maarij:19-25)
Ayat tersebut mempertentangkan
antara orang kikir, keluh kesah disatu sisi dan disisi lain orang shalat
sekaligus dermawan, menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang yang
membutuhkan. Dua macam sifat yang bertentangan tersebut merupakan dua kutub
yang saling berhadapan dan senatiasa hadir pada setiap komunitas sepanjang
waktu.
Sikap dan perilaku memuliakan
anak yatim dan sikap member makan orang miskin digambarkan sebagai suatu
perbuatan yang amat susah bagi orang-orang Quraisy, sehingga ayat menyebutnya
sebagai jalan yang mendaki. Apa yang dimaksud jalan mendaki (lihat QS.
Al-Balad:11-16). Jalan ini cenderung dihindari oleh manusia yang justru dikecam
oleh al-Qur’an. Jalan yang mendaki adalah membebaskan perbudakan, member
bantuan kepada anak yatim dan orang miskin yang hidup dalam penderitaan dan
kesengsaraan. Dalam keadaan situasi seperti tersebut, manusia cenderung rakus,
cinta harta berlebihan, tidak lagi memiliki sikap kepedulian, suka menghardik,
suka mencaci, membiarkan anak yatim dan orang fakir miskin terloantar. Dalam
kondisi seperti itulah al-Qur’an surat al-Maun diturunkan.
Kemiskinan merupakan masalah
kemanusiaan yang implikasi negatifnya melibatkan berbagai aspek; terkait
masalah-masalah kamanan, pendidikan, politik dan kesehatan. Sebagian bentuk
nyata dari problem kemiskinan adalah pengangguran, busung lapar, gizi kurang,
kriminalitas, dan bunuh diri.
Berdasarkan pemahaman tentang al-Qur’an dan realitas social,
Muhammadiyah menggiatkan urusan menyantuni orang miskin, fakir dan anak yatim
dalam bentuk; mendirikan rumah miskin dan panti asuhan. Sebagai upaya
konsistensi keberpihakan Muhammadiyah pada rakyat miskin, pada muktamar tahun
2000 dibentuklah Lembaga Buruh, Petani dan Nelayan, sedang pada muktamar 2005
di Malang upaya ini lebih disempurnakan lagi dengan pembentukan Majelis Pemberdayaan
Masyarakat (MPM).
E. Makna
Muhammadiyah Dalam Gerakan Sosial Amal sosial kesehatan Muhammadiyah
Sebagai
gerakan dakwah amar makruf nahi munkar, selain lembaga pendidikan,
Muhammadiyah juga mendirikan berbagai bentuk lembaga layanan kesehatan yang
bersifat modern, seperti rumah sakit (PKO), klinik dan balai-balai pengobatan
alternatif.[3]
Lembaga kesehatan yang dibentuk oleh Muhammadiyah sangat berkaitan dengan
pandangan Muhammadiyah terhadap islam. Bahwa didalam islam, upaya menciptakan
kesejahteraan sosial, baik itu secara materi maupun secara fisik bagi diri
sendiri atau sesame oranglain merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh
ditinggalkan oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu Muhammadiyah sangat memerlukan
lembaga kesehatan seperti rumah sakit dan balai pengobatan sebagai tempat
membantu kesehatan dan kesejahteraan umat, terutama bagi mereka yang tidak
mampu.[4]
Dorongan
utama bagi Muhammadiyah dalam mendirikan lembaga kesehatan tersebut menjadi
kebutuhan yang utama bagi umat, sebab ditengah-tengah meluasnya kesengsaraan
umat, baik itu akibat alam maupun akibat eksploitasi pemerintahan asing
terhadap bangsa Indonesia, mengakibatkan banyaknya para korban dan orang-orang
yang sakit namun tidak memiliki kemampuan secara ekonomi unuk berobat. Sehingga
sangat wajar saja pada saat itu, sebagian besar masyarakat lebih cenderung
berobat pada dukun-dukun sebagai tempat pengobatan alternative bagi masyarakat.
Dalam
konteks sosial yang seperti inilah, Muhammadiyah kemudian merespon problem
tersebut secara nyata, dan dalam rangka membantu kesengsaraa umat diatas, pada
tahun 1918 secara independen, resmilah Muhammadiyah mendirikan rumah sakit yang
dikenal dengan sebutan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini dirubah
dengan sebutan PKU (Penolong Kesejahteraan Umat). Kehadiran PKO Muhammadiyah
sungguh mendapat perhatian yang sangat luar biasa bagi warga masyarakat pada
saat itu, walaupun diawal berdirinya baru sebatas didaerah Yogyakarta, namun
melihat peran sosial yang diberikan Muhammadiyah melalui PKO tersebut membuat
problem kesehatan masyarakat mendapat kemudahan tersendiri.[5]Abdul
Munir Mulkhan menyebutkan daya tarik dari agenda sosial Muhammadiyah tersebut
mendorong orang sekelas dr. Soetomo, termasuk dokter dan negeri belanda, ikhlas
ekerja dalam Muhammadiyah untuk kemanusiaan
.
Namun
tanpa menutup mata, belakangan ini kelas-kelas elit itu memang banyak yang
aktif terlibat di Muhammadiyah, namun peristiwa kemanusiaan seratus tahun lalu
itu kini tinggal kenangan sejarah indah yang hamper mustahil bisa ditemukan
kembali. Kini Muhammadiyah melalui lembaga kesehatan tersebut menjadi kurang
peduli lagi pada orang-orang miskin dan terlantar. Rumah sakit Muhammadiyah
lebih dinikmati oleh orang-orang kaya dan orang kelas perkotaan semata. Hampir
mustahil bagi rakyat kecil dan fakir miskin yang sering sekali menderita sakit
untuk berobat dilembaga kesehatan Muhammadiyah, kecuali dengan sejumlah uang
yang dimiliki dengan menggadaikan sawah, tanah ataupun ternak mereka.
Walaupun
jumlahnya kini kian bertambah, namun biaya pengobatannya pun tidak kalah jauh
dengan biaya pengobatan di rumah-rumah sakit yang dikelola Belanda tempo dulu.
Sehingga yang bisa menikmati rumah-rumah sakit yang lengkap dan mewah tersebut
adalah mereka yang memiliki uang yang banyak. Sementara bagi mereka yang
miskin, cukup dengan merasakan penyakit yang ditimpakan. Padahal sebelumnya,
rumah sakit Muhammadiyah juga dirancang untuk memfasilitasi kepentingan
orang-orang miskin, dengan menerapkan sistem subsidi silang orang-orang kaya
membayar lebih mahal sedangkan orang-orang miskin mendapat keringanan.
Pembacaan
atas surat Al-Maun yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan secara berulang hingga
dilasanakannya maksud dari pembacan ayat tersebut, sekarang tidak lagi memiliki
arti dan makna didalam tubuh Muhammadiyah, karena amal sosial Muhammadiyah
seperti lembaga kesehatan tersebut yang senantiasanya diperankan oleh
Muhammadiyah untuk membantu mereka yang mustad’afin , kini
seakan-akan hampir tidak peduli lagi dengan kelompok sosial seperti itu.
Apalagi banyak orang belakangan ini sering mengeluh dan menggunjingi lembaga
kesehatan tersebut yang kini memiliki biaya mahal serta tidak ramah.
Padahal
saat perkembangan awal, Muhammadiyah selalu hadir dalam setiap kebutuhan umat,
terutama menyangkut pertolongan kesehatan. Ketika terjadi bencana kebakaran
atau alam, Muhammadiyah mesti berada dilingkungan tersebut. Oleh karena
demikian, masyarakat sangat meraskan betul kehadiran Muhammadiyah sebagai
solusi bagi kehidupan umat. Kini apapun yang dilakukan
oleh Muhammadiyah seakan-akan tidak memiliki pengaruh yang
signifikan lagi terhadap masyarakat.
Karena masyarakat sendiri secara
tidak langsung juga merasa ditinggalkan dari peran sosial Muhammadiyah saat
sekarang. Sebab tiap periode kepemimpinan, mesti Muhammadiyah mendirikan
bangunan rumah sakit baru. Namun secara peran sosial atas kepentingan kaum
fakir miskin dan mustad’afin , malah tidak lagi muncul dari
organinsasi berlambang matahari ini.
Padahal
demi kesejahteraan dan kepentingan umat, para pendirinya rela untuk bersusah
payah, dengan menggadaikan berbagai hartanya dan rumahnya untuk membantu amal
Muhammadiyah, baik itu keperluan lembaga pendidikan maupun untuk keperluan
rumah sakit dan balai pengobatan.[6] Namun
ketika lembaga kesehatan Muhammadiyah kian besar, jerih payah pendirinya yang
betul-betul diorientasikan untuk kepentingan kaum miskin dan kaum yang marjinal
kini tidak lagi dirasakan. Lembaga kesehatan Muhammadiyah, kini tak ubahnya
sebagai amal bisnis bagi segelintir orang Muhammadiyah.
Memang
upaya mencari keuntungan dari lembaga kesehatan Muhammadiyah tersebut bukanlah
sesuatu yang salah, sebab lembaga kesehatan Muhammadiyah pun membutuhkan biaya
pembelian obat, gaji dokter dan perawat, biaya pembangunan gedung serta biaya
operasional lainnya. Hanya saja yang perlu menjadi catatan adalah bahwa
keberadaan lembaga kesehatan Muhammadiyah juga berfungsi sebagai gerakan sosial
untuk membela kepentingan umat yang tidak mampu. Namun secara kasat mata sangat
sedikit dari lembaga kesehatan Muhammadiyah yang mampu menjalankan fungsinya
sebagai penolong bagi kesengsaraan dan kepentingan umat. Bahkan biaya untuk
berobat dirumah sakit Muhammadiyah saja harus menyediakan uang yang begitu
besar. Aspek ini belum lagi menyangkut sistem kelas yang terdapat dirumah sakit
tersebut. Didalam PKU misalnya, dibagi dengan berbagai kelas sesuai dengan
kategori ekonomi. Yang untuk keseluruhannya walaupun dibagi secara kelas
ekonomi (eksekutif, sedang dan rendah), namun semuanya sangat mustahil bagi
orang miskin untuk dapat memenuhinya.
Jadi
tidak salah jika muncul asumsi masyarakat, yang menganggap Muhammadiyah lebih
mengakomodasi kepentingan kelas sosial tinggi dan orang-orang yang kaya, bahkan
keluar plesetan bahwa PKU sama saja artinya dengan “Pencekik Kehidupan Umat” (PKU).
Sebab kita cukup sedih akhir-akhir ini melihat tayangan televisi yang cukup
sering mengiklankan kondisi sebuah keluarga miskin yang melahirkan seorang bayi
dalam kondisi cacat, sakit dan kembar siam, dan bagi mereka yang tidak sanggup
untuk mengobati lantaran tidak adanya biaya pengobatan. Akhirnya para orangtua
pun harus merelakan kepergian anaknya daripada harus melihat rasa sakit yang
ditanggung oleh anaknya dalam waktu yang begitu lama. Padahal derita sakit yang
dialami seseorang anak atau ibu, tidak lepas dari rekayasa bioteknologi
Negara-negara barat untuk menyebarkan beragai virusnya ke Negara berkembang.
Seperti yang terjadi diteluk Buyat, mana mungkin beberapa orang anak yang lahir
dalam kondisi bersisik pada tubuhnya yang akhirnya harus meninggal dunia.
Sementara
Muhammadiyah yang memiliki puluhan rumah sakit yang tersebar ditanah air ini,
belum melihatkan peran nyata dalam menyelesaikan problem kesehatan umat yang
seperti demikian. Jika Muhammadiyah berani mengambil peran tersebut, para bayi
yang menjadi korban dan menderita sakit ini dapat ditolong oleh lembaga
kesehatan Muhammadiyah, baik itu secara financial maupun secara
pengobatan.
Begitu
juga halnya ketika masyarakat kita dihebohkan dengan kedatangan penyakit demam
berdarah yang menimpa sebagian besar anak-anak. Jangankan untuk memberikan
dispensasi biaya pengobatan, untuk terjun kelapangan memberikan sosialisasi
kesehatan ataupun terlibat dalam pemberantasan (penyemprotan) virus demam
berdarah pun juga tidak kita lihat Muhammadiyah mengambil peran disana. Padahal
untuk satu hari saja, puluhan bahkan ratusan anak-anak yang harus dievakuasi ke
rumah sakit lantaran terserang penyakit musiman demam berdarah tersebut.
Saat
sekarang, sangat jarang kita temui lagi lembaga kesehatan Muhammadiyah untuk
bisa terjun ke kampung-kampung memberikan penyuluhan kesehatan ataupun
pengobatan gratis. Bahkan agenda-agenda seperti ini lebih banyak
dilakukan oleh orang-orang yang non Muhammadiyah atau non organisasi sosial kemasyarakatan
seperti Muhammadiyah. Lantas dimanakah public secara luas nantiya bisa untuk
meyakini dan mengatakan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi islam yang
llllllpeduli terhadap kehidupan kaum fakir miskin dan kaum mustad’afin.
Memang
untuk kemegahan, kemewahan serta kekayaan lembaga amal sosial tersebut,
Muhammadiyah bisa digolongkan sebagai organisasi islam terdepan, akan tetapi
jika persoalannya melihat pada peran sosial yang tidak mementingkan
atau tidak memiliki kepedulian terhadap kaummustad’afin asumsi
Muhammadiyah terdepan itu perlu untuk dipertimbangkan kembali. Sebab
keberhasilan Muhammadiyah bukanlah satu-satunya terletak pada keberadaan
gedung-gedung megah dan rumah sakit yang banyak. Namun sejauh mana
peran sosial Muhammadiyah dapat dirasakan oleh kaummustad'afin sekaligus
memiliki efek dalam melakukan transformasi sosial umat.
Sebab
sebagaimana ungkapan Kuntowijoyo, bahwa Muhammadiyah sebenarnya bukan saja
sebagai organisasi yang bergerak pada ranah aqidah atau yang bekerja
semata-mata pemberantasan TBC itu, namun Muhammadiyah juga memiliki orientasi
transformasi yang bergerak dalam perubahan atau pembaharuan struktur dan sistem
sosial yang tidak memihak pada kepentingan kaum mustad’afin.[7]
Demikianlah
kemudian KH.Ahmad Dahlan sendiri mampu mengkombinasikan arah geraknya dalam dua
jalur tersebut. Untuk pandangan dan gerak Muhammadiyah yang kedua ini merupakan
perwujudan dari keimanan yang memerlukan pengalaman religi moral yang
terorganisir dengan dimensi intelektual islam yang mempertimbangkan peranan
ilmu pengetahuan sebagai alat bantu.[8]
Konsep
pemikiran KH. Ahmad Dahlan ini sebenarnya jika ditilik dari generasi sesudahnya
juga tidak memiliki perbedaan yang jauh. Sebut saja masa kepemimpinan H.M Yunus
Anis, ia adalah tokoh dan pemimpin Muhammadiyah yang sangat mampu mengambil
pesan moral dari gerakan KH. Ahmad Dahlan, sehingga usaha dan pemikirannya
untuk menyantuni anak yatim dn fakir miskin sebagaimana yang digariskan didalam
Al-Qur’an tersebut, betul-betul menjadi perhatian yang besar bagi HM. Yunus
Anis.[9] Ia
sangat menantang sekali perilaku-perilaku umat yang selalu berusaha menumpuk
kekayaan, namun melupakan amanah dari harta yang diberikan kepadanya.
Sayangnya
belakangan ini, sebagian dari warga Muhammadiyah seakan-akan melupakan jejak
dan langkah para pemimpin sebelumnya. Sehingga amal Muhammadiyah seperti
lembaga kesehatan Muhammadiyah pun juga tidak lepas dari rekayasa-rekayasa
tertentu untu kepentingan sendiri. Maka kaum fakir dan miskin terlupakan begitu
saja, yang sebenarnya juga memiliki hak dan kepentingan dari amal kesehatan
Muhammadiyah. Disinilah perlu kiranya kita mempertanyakan kembali, untuk
siapakah sebenarnya amal usaha Muhammadiyah tersebut?
Sebab
kehadiran lembaga-lembaga amal sosial ini, bagi KH. Ahmad Dahlan merupakan
perjuangan yang panjang dan penuh tantangan yang harus dihadapi. Bagaimana saat
itu KH. Ahmad Dahlan harus berhadapan dengan imperialisme Belanda, dan
bagaimana pula KH. kAhmad Dahlan harus berhadapan dengan kekuatan kultur lokal
yang telah mengakar, serta berhadapan dengan persoalan SDM dan SDA yang sangat
minim. Gambaran ini menunjukkan bahwa, perjuangan yang ditempuh KH.Ahmad Dahlan
untuk melahirkan berbagai karya kemanusiaannya berangkat dari modal sosial yang
besar.
Peran
lembaga kesehatan Muhammadiyah ini dirasakan penting seiring dengan berbagai
ancaman dan dampak dari agenda kapitalisme global yang ditandai dengan
memburuknya kesehatan rakyat-rakyat miskin akibat ekspor virus dan penyakit
yang ditebarkan dari Negara-negara maju. Seperti rokok umpamanya, fakta
menunjukkan bahwa perusahaan rokok tembakau Eropa dan Amerika Serikat menjual
produk monoksida yang jauh lebih tinggi diatas batas toleransi yang telah ditetapkan
oleh dinas kesehatan Eropa dan AS.
Sehingga Negara-negara Eropa selalu
mengkampanyekan untuk dalam negerinya agar mengurangi konsumsi tembakau
tersebut. Untuk kampanye anti tembakau saja Amerika tiap tahunnya harus
mengeluarkan 10 US$. Namun yang ironisnya pemerintah AS dan Eropa malah
mempromosikan dan mengekspor tembakau tersebut ke berbagai Negara berkembang
seperti Jepang, Taiwan, Thailand, Korea, dll.
Sementara
peran-peran organisasi sosial yang sebenarnya juga memiliki infrastruktur gerakan
yang kuat, cenderung berdiam diri dalam menghadapi persoalan ini. Disinilah
bentuk lompatan besar yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah saat ini.
Oleh sebab itu, peran lembaga kesehatan Muhammadiyah dalam membantu kaum mustad’afin dan
miskin masih diperlukan. Apalagi sering sekali kaum miskin yang menjadi korban
dari setiap pembangunan bangsa ini. Baik seperti buangan limbah pabrik, sampah
dan kotoran-kotoran hewan, yang dampak dari produksi barang demi kepentingan
kelompok sosial yang kaya dan elit.
Memang
bagi lembaga kesehatan Muhammadiyah membutuhkan biaya dan dana yang besar.
Namun bukan berarti pembiayaan yang besar menutup kemungkinan bagi Muhammadiyah
untuk membantu masyarakat pedesaan atau masyarakat yang tidak mampu.
Muhammadiyah tentunya bisa membuat kebijakan subsidi silang dengan memberikan
harga yang besar bagi golongan mampu sebagai subsidi bagi orang-orang yang
tidak mampu untuk berobat di lembaga kesehatan Muhammadiyah. Agar lembaga
kesehatan Muhammadiyah juga memperhatikan nasib kesehatan orang-orang miskin.
Karena
cukup banyak di negeri ini orang-orang miskin yang harus menanggung sakit dalam
waktu yang sekian lama lantaran tidak adanya biaya kesehatan yang dimiliki.
Sehingga sangat wajar Eko Prasetyo menulis buku Orang Miskin Dilarang
Sakit, lantaran sulitnya bagi orang miskin mengakses kesehatan dan berobat
ketika sakit. Fenomena seperti inilah yang juga harus diperhatikan oleh lembaga
kesehatan Muhammadiyah ke depannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhammadiyah sebagai Gerakan
Sosial dan keagamaan dengan Konsep Teologi Al-Ma’un dalam Al-Qur’an sebagai dasar untuk
berjalan pada ranah sosial. Pembahasan mengenai Teologi Al-Ma’un pun sering
digalakkan. Hal ini sebagai telaah kritis terhadap gerakan sosial yang
dilakukan Muhammadiyah. Dan bisa kita lihat, bahwa saat ini Muhammadiyah banyak
mempunyai amal usaha, mulai dari pondok anak yatim, sekolah/lembaga pendidikan,
sampai rumah sakit pun ada. Ini sebagai pengejawantahan dari interpretasi
terhadap surat Al-Ma’un.
Muhammadiyah mempunyai cita-cita
sosial, yakni “kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat yang diridhai
Allah”. Dari sini kita ketahui bahwa Muhammadiyah menghendaki terciptanya
negara yang baik dan penuh akan ampunan Allah. Inilah interpretasi dari
ungkapan Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana kita lihat
kemudian Muhammadiyah sejak didirikan oleh Kyai Dahlan, sampai kepemimpinan
yang sekarang masih berusaha untuk menjalin komunikasi yang baik, dan
memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat, fakir miskin dan yatim piatu.
Hal inilah yang menjadi penting dalam
perkembangan Muhammadiyah.
B.
Saran
Tujuan dakwah Muhammadiyah adalah
meningkatkan kualitas hidup manusia. Seharusnya kita ikut berpartisipasi dalam
dakwah tersebut. Karena dengan dakwah tersebut menggerakkan dinamika kehidupan
masyarakat Islam di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial-budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan,2000. Menggugat
Muhammadiyah. Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru
Deni Al-Asy’ari, Selamatkan Muhammadiyah!
Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010.
http://allinfoali.blogspot.co.id/2014/11/muhammadiyah-sebagai-gerakan-islam.html
http://fitrafg.blogspot.in/2014/11/memahami-gerakan
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan
Sosial: Kajian Teoriti
http://munawarohblog.blogspot.com/2012/11/muhammadiyah-gerakan-sosial
http://www.muhammadiyah.or.id/4-content-55-det-program-kerja.html
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi
untuk Aksi, Bandung; Mizan, Cet. III Bandung: Mizan, 199
Mansoer Fakih.2002.Tiada Transformasi Tanpa Gerakan
Sosial, dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Terpinggir : Studi Tentang
Ideologi, Isu , Strategi Dan Dampak Gerakan, Yogyakarta : Insist Press
Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan
Muhammadiyah di Kotagede.UMY Press.
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhadmmaiyah
sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Cet.
III, Yogyakarta; LPPI UMY, 2003.
Suratmin, HM. Yunus Anis, Amal Pengabdian dan
Perjuangannya, Yogyakarta; Majlis Pustaka Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
1999.
[1]
Mansoer Fakih, Tiada Transformasi Tanpa Gerakan Sosial, dalam Zaiyardam
Zubir, Radikalisme Kaum Terpinggir : Studi Tentang Ideologi, Isu , Strategi Dan
Dampak Gerakan, Yogyakarta : Insist Press , 2002 , Hal. 27
[2]
http://globalisasi.wordpress.com/2006/07/10/Gerakan Sosial: Kajian
Teoritis, Hal. 3-4.
[3]
Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhadmmaiyah sebagai
Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis. Cet. III,
Yogyakarta; LPPI UMY, 2003, hlm. 140.
[4]
Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit, hlm. 102.
[5]
Abdul Munir Mulkhan, Menggugat. Hlm. 4
[6]
Upaya pendirian rumah sakit ini awalnya
didirikan di gedung jalan jagang Notoprajan, kemudian pindah ke jalan Ngebean,
dan selanjutnya menyewa rumah milik Mukri bin Nawawi, dan akhirnya membeli
tanah di Yogyakarta, lihat catatan harian HM. Suja’ Tentang KH. Ahmad Dahlan.
(belum diterbitkan).
[7]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung;
Mizan, Cet. III Bandung: Mizan, 1991, hlm. 168
[8]
Fajar Ziaul Haq, hlm. 112
[9]
Suratmin, HM. Yunus Anis, Amal Pengabdian dan Perjuangannya, Yogyakarta;
Majlis Pustaka Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1999, hlm. 114
Terima kasih sangat membantu dan menambah wawasan tentang Muhammadiyah dan Al-Maun
BalasHapus