Langsung ke konten utama

makalah taman purbakala batu gojeng Sinjai


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri. Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata pencaharian hidup (ekonomi); peralatan hidup (tehnologi); ilmu pengetahuan; sistem sosial; bahasa; kesenian; dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan sangat erat kaitannya karena sejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari segi “time”nya. Jadi detailnya jika kita melihat kebudayaan dari kaca mata sejarah, berarti dalam pembahasannya kita akan mencoba membahas sejumlah peninggalan-peninggalan kebudayaan yang tersebar di seluruh Nusantara ini. Bertolak dari latar belakang ini kami akan mencoba mendeskripsikan beberapa peninggalan kebudayaan yang terdapat di kabupaten Sinjai.
Di Sulawesi Selatan, tepatnya Kabupaten Sinjai terdapat suatu tempat wisata yang bernama taman purbakala batu pake gojeng. Dari namanya saja kita pasti tahu bahwasanya tempat wisata ini menaruh benda-benda bersejarah serta artefak lain yang penting pada masa lampau. Dinamakan Batu Pake Gojeng dikarenakan memang ada banyak artefak yang terbuat dari batu yang di perkirakan di buat dari zaman Megalithikum, sedangkan tempat di mana ditemukan banyak artefak-artefak tersebut bernama daerah Gojeng, hingga dinamakanlah taman Purbakala Batu Pake Gojeng. Berjarak dua kilo meter dari ibu kota kabupaten Sinjai.
Taman Purbakala yang berada di ketinggian 59 sampai 96 meter di atas permukaan laut ini tidak cuma menaruh benda bersejarah dari zaman megalithikum berupa artefak, Lokasi situs Batu Pake Gojeng ini terletak diatas puncak bukit.
Makalah ini berangkat dari sebuah keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang pentingnya kedudukan sebuah jajak sejarah dan warisan budaya masyarakat lokal yang ada di Kabupaten Sinjai dalam bentuk rekonstruksi kisah. Hal ini berawal dari keperihatinan bahwa semakin berkurangnya minat generasi muda untuk menelusuri dan mencari tahu kisah masa lampau bangsa terlebih lagi daerahnya sendiri. Padahal idealnya sebuah bangsa besar dan berkebudayaan tinggi tidak boleh melupakan sejarahnya.Kisah masa lampau masyarakat Sinjai ini menarik ditelusuri dalam kaitannya dengan keberadaan sebuah situs sejarah bernama Batu Pake Gojeng.
Batu Pake Gojeng merupakan peninggalan purbakala yang terletak di perbukitan di penggiran Kota Sinjai. Pada masa air laut masih meninggi berhubung perubahan permukaan yang lebih akibat pembekuan/pencairan gunung es di kutub utara, Gojeng dahulu adalah pinggiran pantai dan merupakan pemukiman manusia menetap. Keberadaaan Batu Pake Gojeng menurut sejarah dihubungkan dengan kepercayaan pada sebuah legenda yang menyebutkan bahwa La’Malenna kecil putra mahkota, disiapkan oleh kedua orang tuanya selaku pewaris penguasa lokasi di tempatnya. Sang putra mahkota diayun di atas bukit yang dalam bahasa Bugis disebut Dojeng. Dari perkataan itulah lahir penyebutan atau nama tempat ini yang dikelak kemudian hari terkenal dengan sebutan Gojeng. (Darmawati, 1989:14)
          Dalam sebuah sumber sejarah yakni hasil penelitian arkeologi diketahui bahwa Batu Pake sebenarnya berasal dari bahasa daerah setempat yang terdiri dari dua suku kata, yaitu Batu dan Pake yang berarti batu yang dipahat. Sedangkan Gojeng itu sendiri merupakan nama kawasan atau tempat di mana penemuan Batu Pake tersebut. Dengan demikian, namanya adalah Batu Pake Gojeng. Dari hasil penelitian ini juga digambarkan bahwa meski hingga sekarang asal usul keberadaan Batu Pake Gojeng belum diketahui namun yang pasti bahwa situs ini merupakan bukti sekaligus jejak yang menunjukkan bahwa di tempat ini ada aktivitas manusia pada masa lampau (Rahman, dkk (1993: 6).
            Pentingnya eksistensi dan kedudukan Batu Pake Gojeng di kabupaten Sinjai, mendorong dilakukannya penjajakan dan penelitian oleh para pakar yang dimulai sejak tahun 1975. Satu tahun kemudian setelah penjajakan dan penelitian awal dilakukan kemudian dilanjutkan dengan pembuatan studi kelayakan yang dimulai pada tahun 1976 sampai dengan 1977 dan menghasilkan gambar pemetaan. Pemetaan dalam  gambar inilah yang dijadikan dasar untuk melakukan pemugaran yang dimulai sejak penganggaran tahun 1981-1982, 1982-1983, dan 1983-1984, dengan menggunakan anggaran sebesar Rp 69.176.000 (Enam Puluh Sembilan Juta Seratus Tujuh Puluh Enam Ribu Rupiah).(Darmawati,1989:73).
            Berdasarkan deskripsi tentang latar belakang sejarah terbentuknya Batu Pake Gojeng sebagai awal mula aktivitas kehidupan atau sumber dari cikal bakal pemerintahan di kabupaten Sinjai, serta jadikannya sebagai tempat sakral bagi masyarakat setempat maupun dari daerah lain maka penelitian ini akan mengkaji dengan menggunakan analisis sejarah. Dengan demikian hasil kajian mengenai hal ini termasuk upaya-upaya pelestarian yang dilakukan oleh pihak pemerintah diharapkan menjadi satu sajian sejarah dengan pendekatan arkeologi dan antropologi terutama dalam mengalisis jejak sejarah serta unsur-unsur budaya yang padanya. Bahkan upaya-upaya pelestarian situs ini dengan menekankan pada pemberian nilai-nilai sejarah dan budaya dikelak kemudian hari dapat menghilangkan kepercayaan yang menyimpang tersebut


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah Taman Purbakala Batu Gojeng?
2.      Apa saja fungsi Taman Purbakala Batu Gojeng
3.      Mengapa  sistem pemerintahan di Sinjai pada masa kerajaan berkaitan dengan Batu Pake Gojeng?
4.      Bagaimana bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat lokal terhadap Batu Pake Gojeng?
5.      Bagaimana peran pemerintah kabupaten Sinjai dalam melestarikan nilai budaya dan sejarah atas situs Batu Pake Gojeng di tengah kemajuan teknologi?

C.    Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah Taman Purbakala Batu Gojeng
2.      Untuk mengetahui Taman Purbakala Batu Gojeng
3.      Untuk mengetahui sistem pemerintahan di Sinjai pada masa kerajaan berkaitan dengan Batu Pake Gojeng
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat lokal terhadap Batu Pake Gojeng
5.      Untuk mengetahui peran pemerintah kabupaten Sinjai dalam melestarikan nilai budaya dan sejarah atas situs Batu Pake Gojeng di tengah kemajuan teknologi














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Taman Purbakala Batu Gojeng
Secara umum taman purbakala diartikan sebagai tempat yang menyenangkan dan digemari oleh para pecinta obyek wisata atau dengan kata lain adalah tempat bertamasya. Istilah Taman Purbakala terbentuk dari dua unsur yakni Taman yang menurut Shalidy (1973) diartikan sebagai suatu tempat pemeliharaan segala yang membutuhkan pemeliharaan secara teratur dan rapi, membina dan merawat. Sedangkan Purbakala menurut Tjandrasasmita (1988: 24) adalah peninggalan zaman dahulu yakni peninggalan sejarah tanah air atau benda-benda peninggalan sejarah tanah air.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud Taman Purbakala adalah salah satu sarana tertentu guna memelihara, membina, baik keindahan, pemeliharaan dan pelestarian suatu nilai yang mengandung nilai-nilai pendidikan atau penelitian penelitian pendidikan.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dalam pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Dalam ayat (2) juga dijelaskan bahwa benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, ataau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

B.     Fungsi Taman Purbakala
Adapun fungsi Taman Purbakala sebagaimana pengertiannya, adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai alat komunikasi antara masa lampau dengan masa sekarang.
Memelihara dan melindungi peninggalan sejarah dan purbakala dari segala kepunahannya, karena hal ini berfungsi sebagai alat komunikasi antara masa lampau dengan masa sekarang. Maksudnya dengan melihat, mengamati taman purbakala yang ada sekarang  ini sehingga dapat terbayang kemampuan dan tingkat kercerdasan manusia masa lampau. Dengan demikian, dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan tingkat-tingkat kecerdasan manusia zaman sekarang.
Sebagai sumber penelitian pendidikan, karena dengan adanya taman purbakala ini maka berfungsi sebagai sarana penunjang pengetahuan sejarah dan arkeologi serta pendidikan lainnya.
2.      Sebagai sumber informasi, baik masa lampau maupun masa sekarang.
Sebagai obyek wisata, yakni dengan keberadaan taman purbakala ini dapat menambah pendapatan asli daerah, terutama jika para wisatawan tertarik mengunjungi tempat ini.
Proses pelestarian peninggalan sejarah dan warisan budaya suatu daerah di samping karena pertimbangan teknik arkeologi maupun nilai historisnya, juga didasarkan atas pentimbangan-pertimbangan landasan yuridis. Hal ini merupakan konsekuensi dari suatu negara Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945: “Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)”. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat harus tunduk dan taat terhadap hukum positif Indonesia. Perlakuan dan pelaksanaan hukum wajib dilaksanakan oleh golongan pemerintah dan lembaga-lembaga Negara yang lain maupun sebagai anggota masyarakat biasa dalam melaksanakan tindakan-tindakan dan perbuatan apapun harus dilandasi oleh hukum dan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya, bahwa perlindungan benda cagar budaya didasari atas pertimbangan, yakni:
Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.
Bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengeolaan, pemanfaatan dan pengawasan benda cagar budaya.
Mengingat bahwa pengaturan benda cagar budaya  sebagaimana diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah dirubah dengan Momenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Nomor 515) dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian cagar budaya; dan oleh karena itu melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, ditetapkanlah Undang-undang tentang Cagar Budaya.
Dalam pasal 1 (ayat 1) yang memuat ketentuan umum, disebutkan bahwa benda cagar budaya adalah benda buatan manusia bergerak atau tidak berbergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu, benda cagar budaya yang dimaksud juga adalah benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

C.    Sistem pemerintahan di Sinjai pada masa kerajaan berkaitan dengan Batu Pake Gojeng
Secara historis sistem pemerintahan di Sinjai bermula dari proses atau merupakan lanjutan dari pemerintahan berbentuk kerajaan dengan demikian pemerintahan Sinjai adalah Jelmaan Raja-Raja. Dengan kata lain mempelajari sejarah adalah proses menelusuri bukti kehadiran dan keberadaan suatu daerah dalam hal ini juga adalah Sinjai itu sendiri. Bahkan melalui sejarah sejumlah keberhasilan daerah itu tereksiskan, baik dilihat dari segi masa lalu maupun masa sekarang terlebih lagi untuk memprediksi masa depannya. Sinjai sebuah kabupaten di Sulsel, tidak berdiri sendiri tapi daerah ini ditopang dari sejarah yang panjang dan besar.
Mengenai kaitan antara Situs Batu Pake Gojeng  dengan sistem pemerintahan di Sinjai, dapat dilihat pada salah satu komentar berikut:
Situs Batu Pake Gojeng merupakan simbol sejarah bahwa di Kabupaten Sinjai sejak dahulu kala telah mempunyai pemerintahan sendiri. Namun pada waktu itu bentuknya dengan sistem kerajaan. Masyarakat Sinjai tidak menjadikan situs sebagai tempat mistik, sakral atau tempat pemujaan, tetapi masyarakat Sinjai menjadikan tempat purbakala dan dijadikan sebagai simbol pemerintahan yang berbudaya  (H. Abdullah, Wawancara 11 Mei 2016).
Sinjai dibangun  atau terbentuk dari sejumlah proses dari eksistensi kerajaan yang memilki kekuatan masing-masing seperti kerajaan yang bergabung dalam Federasi Tellu LimpoE dan Kerajaan yang bergabung Federasi Pitu LimpoE. Wilayah kekuasaan Tellu LimpoE meliputi kerajaan-kerajaan berposisi di sekitar pesisir pantai. Nama-nama kerajaan ini sudah tidak asing lagi, bukan hanya bagi warga Sinjai dan Sulsel pada umumnya, Indonesia pun sudah mencatatnya. Seakan tak lengkap negeri ini tanpa mengungkap peran kerajaan yang berada di wilayah Sinjai.
Dalam perkembangannya lahirlah kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti sementara Pitu PoccoE termasuk kerajaan yang berada di dataran tinggi seperti, Kerajaan Turungeng, ManimpahoE, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka. Terungkap dalam Lontara, Raja pertama atau Arrung di Sinjai dikenal dengan nama Manurung Tanralili. Nama gelarannya, Timpae Tana atau To Pasaja. Keturunan raja pertama ini merupakan cikal bakal dan pendiri kerajaan Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti (Koran Inspirasi Rakyat, 2014:13).
Kerajaan pertama yang berkembang di wilayah Pitu LimpoE adalah kerajaan Turungeng. Rajanya seorang wanita. Kemudian diperistrikan putra raja Tallo. Salah seorang anak wanitanya kawin dengan seorang putra Raja Bone. Dari perkawinan ini lahirlah tujuh orang anak, yakni seorang anak wanita dan enam pria.
Anak wanita satu-satunya itu kelak menggantikan ibunya memerintah di Turungeng. Saudara-saudaranya yang lain memerintah di ManimpahoI, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka (Koran Inspirasi Rakyat, 2014:13).
Seperti sejarah kerajaan di sejumlah daerah di Indonesia, kerajaan-kerajaan di wilayah Sinjai pun terjalin satu dengan kerajaan besar. Maka tidak heran para raja itu memilki leluhur yang sama, meski kekuasaan dan wilayahnya berbeda-beda. Tepat disebut sebagai satu rumpun atau keluarga besar. Atau Bahasa Bugis disebut Sinjai.  Artinya, satu jahitan. Sementara Sinjai memilki arti sama jahitannya.(Mustafa Yahya Moh, 2002: 4)
Ungkapan hakiki itu diperjelas dengan mencuatnya gagasan Lamatti X. Tujuannya, untuk lebih memperkokoh bersatunya kerajaan Bulo-Bulo dengan Lamatti dengan ungkapan yang sangat terkenal: “Pasijai Singkeruanna Lamatti Bulo-Bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau digelar dengan Puatta MatinroE Risijaina.
Simbol atau identitas karajaan-karajaan yang ada di Sinjai dibuktikan dengan didirikannya sebuah Benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan sebutan Bentang Balangnipa. Soalnya, didirikan di wilayah Balangnipa. Kini menjadi ibukota Kabupaten Sinjai. Selain nama itu, Benteng ini juga dikenal dengan nama Benteng Tellu LimpoE. Dalam sejarahnya, memang Benteng ini didirikan bersama-sama oleh Tiga Kerajaan : Lamatti, Bulo-Bulo dan Tondong, lalu dipugar oleh Belanda (Koran Inspirasi Rakyat, 2014:13).
Salah satu masalah di dalam kepurbakalaan yang sering kali terjadi dipandang sebagai titik rawan, adalah usaha mencoba mengerti berbagai fungsi benda purbakala, yang ditemukan pada permukaan (Surface finds) maupun hasil penggalian kepurbakalaan (excavation). Ciri-ciri teknologis, konteks, serta asosiasi berbagai penemuan, sering kali belum dapat menjelaskan fungsinya di masa yang lalu. Inipun berlaku terhadap sisa-sisa bengunan (monument) megalitik. Monumen-menumen tersebut selalu dikaitkan dengan situs ataupun kultus kepada leluhur, seperti yang diungkapkan oleh H.R.Van Heekern dalam bukunya Darmawan Mas’ud Dahman dkk:
D.    Bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat lokal terhadap Batu Pake Gojeng
Tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati. Terutama bagi kepercayaan tentang adanya pengaruh kuat dari yang mati terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Orang yang telah mati dipusatkan pada bangunan-bangunan besar yang didirikan, kemudian menjadi medium penghormatan, tahta kedatangan dan menjadi lambing simati  (Rahman Mas’ud Darmawan 1993/1994 : 14).
            Salah satu ciri khas masyarakat megalitik adalah pelaksanaan upacara-upacara yang menyolok pada waktu penguburan. Terutama bagi mereka yang dianggap tokoh masyarakat. Bagi masyarakat ini dalam suatu kematian tidak membawa perubahan essensial dalam sitim kondisi ataupun sifatnya sekaligus jazad dan jiwanya ikut pulang ke tanah yang dianggap asalnya (Rahman dkk. 1994 :14).
            Biasanya orang yang berpangkat dan mereka yang dianggap berjasa kepada masyarakatlah yang sesudah hidup ini akan mencapai tempat yang khusus di akhirat. Kemudian yang ditinggalkan membangun monument-monumen bagi si mati. Kebaikan-kebaikan tidak hanya memberikan prestise dalam kehidupannya, tetapi juga nasib yang lebih baik lagi dalam kehidupan sesudah mati nanti. Bangunan-bangunan tersebut menjadi pelindung “ mistik “ bagi sikap hidup yang baik seseorang dan pemsatannya pada satu monumen akan menambah kekayaan serta mempertinggi kesejahteraan hidupnya.
Kebudayaan megalitik ini berkembang sejak masa neolithik terus menerus menghayati setiap bentuk budaya yang berdatangan ke Indonesia, bahkan beberapa bentuk bangunannya antara lain  Menhir, dan Dolmen yang hingga di masa kini masih bertahan di beberapa kuburan Islam dan Kristen.
            Heine Golden, membedakan adanya dua gelombang besar kebudayaan megalitik yang datang masuk ke wilayah Indonesia yaitu megalitik tua dan muda. Megalitik tua berkembang kurang lebih 2.500-1.500 tahun SM dan megalitik muda yang bertanggal dalam tahun ribuan Masehi. Kemudian membedakan pula hasil budaya. Kedua gelombang tersebut di atas yaitu megalitik tua mencirikan bentuk-bentukan batu, seperti Menhir, Dolmen, Undakan, Batu Piramida, Pelinggih, Jalanan, dan lain-lain. Sedangkan ciri-ciri utama megalitik muda yaitu ; Peti kubur batu, Sarkofagus, Bejana Batu (Rahman dkk, 1994 : 15).
Keterangan informan tentang sistem kepercayaan masyarakat atas eksistensi Batu Pake Gojeng ini dapat dilihat pada keterangan informan sebagai berikut:
Masyarakat lokal percaya tentang beberapa mistik terkait dengan Batu Pake Gojeng. Diantaranya kolam, kuburan yang tanpa nama, burung elang kepala putih yang muncul pada saat-saat tertentu dan dipercaya kemunculannya menandakan akan munculnya fenomena alam, seperti banjir/bencacna alam. Masyarakat juga percaya bahwa jumlah anak tangga dari jalan lingkar ke puncak jumlahnya berubah-ubah setiap tahun. Misteri lain yang dipercaya adalah batu bertengger yang tetap kokoh sepanjang tahun dan pintu belakang yang keberadaannya hanya diketahui oleh warga sekitar (Upik Puspitasari, Wawancara, 23 Mei 2016).
Sebagai hasil kebudayaan atau tradisi megalitik, Situs Batu Pake Gojeng berfungsi sebagai tempat pemujaan terhadap nenek moyang. Selain itu Situs Batu Pake Gojeng juga berfungsi sebagai tempat perlindungan, symbol kesuburan dan keselamatan. Karena itulah fungsi hasil-hasil kebudayaan megalitik selalu dikaitkan dengan tujuan untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Konsepsi pemujaan terhadap nenek moyang juga berlangsung di Batu Pake Gojeng, sampai sekarang masih terdapat sisa-sisa tradisi megalitik yang diselenggarakan oleh penduduk setempat maupun masyarakat di luar wilayah Gojeng.
Bentuk-bentuk kepercayaan yang berhubungan dengan keberdaan Situs Batu Pake Gojeng, yakni sistem kepercayaan pada adanya kekuatan ghaib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa di tempat ketinggian atau di atas bukit bersemanyam roh-roh halus. Dengan demikian banyak anggota masyarakat membawa sesajen ke Batu Pake Gojeng setiap mereka selesai melakukan panen. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk persembahan atau penghormatan kepada leluhur mereka karena jika hal ini tidak dilakukan sama artinya membiarkan para leluhur marah dan akan berakibat gagal dalam panen nantinya (masa mendatang).
Sistem kepercayaan terhadap adanya roh-roh yang bersemayam di Batu Pake Gojeng, Menurut Muhammad Gaffar Kepercayaan nenek moyang yang dipercayai turun temurun, maka masih ada saja masyarakat Islam yang awam menganggap mempunyai kekuatan ghaib yang bisa membawa malapetaka dan mendatangkan kebahagiaan atau keberuntungan bagi manusia. Meski dalam ajaran Islam kepercayaan tersebut merupakan perbuatan syirik, namun bagi masyarakat awam tertentu yang seakan mewarisi pesanan perbutan orang tuanya sulit untuk menghilangkannya sama sekali.(Wawancara, 28 April 2016).
Kaitannya dengan sistem kepercayaan ini dapat dicontohkan bahwa apabila mereka sakit berarti itu merupakan suatu malapetaka yang menimpa dirinya, akhirnya ia bernazar bila disembuhkan dari penyakitnya, maka ia akan dating kembali ke tempat itu (Batu Pake Gojeng). Biasanya seseorang yang dating kembali ke tempat ini untuk memenuhi nazarnya yakni berupa melepas binatang seperti kambing atau ayam dilengkapi dengan paket sesajen.

E.     Peran pemerintah kabupaten Sinjai dalam melestarikan nilai budaya dan sejarah atas situs Batu Pake Gojeng
Proses pelestarian peninggalan sejarah dan warisan budaya suatu daerah termasuk di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan di samping karena pertimbangan teknik arkeologi maupun nilai historisnya, juga didasarkan atas pentimbangan-pertimbangan landasan yuridis. Hal ini merupakan konsekuensi dari suatu negara Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945: “Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat)”.
 Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat harus tunduk dan taat terhadap hokum positif Indonesia. Perlakuan dan pelaksanaan hukum wajib dilaksanakan oleh golongan pemerintah dan lembaga-lembaga Negara yang lain maupun sebagai anggota masyarakat biasa dalam melaksanakan tindakan-tindakan dan perbuatan apapun harus dilandasi oleh hukum dan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menurut keterangan Dewi Angriani (Kepala Bagian Dinas Pariwisata), bahwa anggaran taman main dari pihak pemerintah melalui Dinas Pariwisata pada tahun 2012 yakni sebesar Rp 80.000.000. Pada tahun 2014 dilengkapi fasilitas wifi, pembuatan papan nama yang di puncak  pada tahun 2014/2015 sebesar Rp 70.000.000, serta Gazebo dengan anggaran Pemerintah Provinsi pada tahun 2016 sebedsar Rp 50.000.000 (Wawancara 20 Juni 2016).
Salah seorang informan menjelaskan tentang keberadaan Batu Pake Gojeng kaitannya dengan pemerintahan di Kabupaten Sinjai sebagai berikut:
Keberadaan Batu Pake Gojeng dengan sistem pemerintahan pada masa kepemimpinan Bapak Andi Rudianto Asapa, SH, MM sangat berperan penting dalam hal pelestarian dan keberlanjutan pembangunan Batu bersejarah tersebut. Pada pemerintahan beliaulah Batu Pake Gojeng semakin dikenal di seluruh pelosok tanah air. Mereka sangat memperhatikan pembangunan terutama yang menjadi investasi daerah Sinjai (Abdul Hakim, Wawancara 11 Mei 2016).
Keterangan tersebut membuktikan bahwa peran pemerintah dalam melestarikan situs Batu Pake Gojeng sangat penting. Buktinya, perhatian pemerintah sangat penting terutama dalam memikirkan keberlanjutan situs sebagai obyek wisata dan sejarah andalah Kabupaten Sinjai ini.
Peran penting pemerintah dalam proses pelestarian juga tampak pada keterangan informasi berikut: “peran pemerintah dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan sejarah di Batu Pake Gojeng sangat penting. Hal ini terbukti dengan pemugaran yang tidak merubah letak dan bentuk aslinya dari ribuan tahun yang lalu” (Dewi Angriani, Wawancara, 20 Juni 2016).
Mengenai peran pemerintah Kabupaten Sinjai dalam proses pelestarian Situs Batu Pake Gojeng juga tampak pada masa pemerintahan H. Andi Rudianto Asafa sebagaimana keterangan informan sebagai berikut: “Di tengah kemajuan teknologi pemerintah Kabupaten Sinjai tetap menjaga keaslian letak, bentuk situs-situs yang ada di Batu Pake Gojeng. Walaupun terdapat beberapa penambahan seperti WIFI, gazebo, fasilitas permainan anak, dan lain-lain” (Upik Puspitasari, 23 Mei 2016).
Sebuah situs termasuk obyek wisata tentu saja tidak akan memiliki daya Tarik bagi pengunjung jika fasilitas yang disediakan itu hanya monoton pada obyek tontonan tetapi jika banyak macam fasilitas kunjungan yang disediakan maka akan menarik banyak pihak. Karena itulah peran pihak pemerintah dalam membenahi fasilitas tambahan dari Situs Batu Pake Gojeng ini sangat penting artinya. Menurut informan yang berhasil diwawancarai di lapangan memberikan keterangan sebagai berikut:
Pada masa kepemimpinan H Andi Arifuddin Mattotorang, SH, komitmen pemerintah Pemda sudah Nampak, dengan mengalokasikan anggaran pendapatan area. Lalu melakukan pembuatan tangga yang dilanjutkan dari kepemimpinan bupati sebelumnya. Pada masa pemerintahan H. Muh. Roem, SH, M.Si, saat itu bukit Batu Pake Gojeng sudah dibenahi secara total. Sehingga saat itu, sudah menjadi lokasi pariwisata dengan berbagai fasilitas dibangun. Demikian pula pada masa Andi Rudianto Asapa, SH, LLM, saat itu, fasilitas taman wisata ditambah dengan adanya berbagai jenis burung langka yang menjadi burung lokal dan dilakukan pembenahan jalan, rumah istirahat, dan gazebo taman (Dewi Angriani, Wawancara, 25 Mei 2016).
Beberapa uraian baik mengenai pembenahan infrastruktur maupun kelengkapan lain yang menambah daya Tarik obyek wisata sejarah Situs Batu Pake Gojeng merupakan bukti bahwa peran pihak pemerintah setempat sangat penting. Hal ini sekaligus merupakan pertanda bahwa pihak pemerintah menyadari betapa situs ini merupakan asset daerah yang perlu dilestarikan. Demikian pula pihak pemerintahan harus memikirkan prospek atau kelanjutan proses pemeliharaan atau pembangunan situs ini.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang eksistensi Situs Batu Pake Gojeng sebagai obyek wisata sejarah dan pariwisata tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sistem pemerintahan di Sinjai pada tahun 1979-2015 erat kaitannya dengan Batu Pake Gojeng dimana pemerintahan Sinjai merupakan jelmaan pemerintahan raja-raja. Sejarah mencatat bahwa Sinjai dibangun atau terbentuk dari sejumlah proses dari eksistensi kerajaan yang memilki kekuatan masing-masing seperti kerajaan yang bergabung dalam Federasi Tellu LimpoE dan Kerajaan yang bergabung Federasi Pitu LimpoE. Selain itu, Batu Pake Gojeng dahulu merupakan tempat penting yakni pusat pemerintahan kerajaan
2.      Bentuk-bentuk kepercayaan masyarakat lokal terhadap Batu Pake Gojeng,  dilihat dari perspektif bahwa sesungguhnya tradisi pendirian bangunan-bangunan megalitik selalu berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati.  
3.      Peran pemerintah kabupaten Sinjai dalam melestarikan nilai budaya dan sejarah atas situs Batu Pake Gojeng di tengah kemajuan teknologi diawali dengan perbaikan atau pembenahan infrastruktur kompleks situs, seperti kondisi jalan setapak, kolam, pagar situs, dinding batu, dan berbagai fasilitas pendukung dalam kompleks. Khusus dalam pelestarian nilai budaya dan pariwisata pihak pemerintah Kabupaten Sinjai giat mempromosikan dalam berbagai media baik cetak maupun elektronik. Selain itu pihak pemerintah juga senantiasa melakukan kampanye budaya dalam bentuk pagelaran sejumlah event yang menghadirkan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
B.     Saran
Berdasarkan uraian diatas ini, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Penulisan makalah ini  dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita terutama mengenai adanya hubungan sistem pemerintahan di masa lampau dan sekarang di Kabupaten Sinjai
2.      Dapat memberikan manfaat terhadap ilmu pengetahuan tentang jejak sejarah dan warisan budaya serta bentuk-bentuk kepercayaan tradisional terhadapnya
3.       Diharapkan ada penulisan lain yang menjadikan referensi ini dalam proses pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,  Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Anonim. 2013. Laporan Zonasi Benteng Balanipa, Situs Batu Pake Gojeng dan Sekitarnya Kabupaten SInjai Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar: Subpok Perizinan Kelompok Kerja Perlindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar.
Darmawati. 1989. Prospek Pengembangan Taman Purbakala Gojeng Sbagai Obyek Wisata Di Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Dati II Sinjai. UVRI Ujung Pandang.
Gottschalk, Loui. 1985. Mengerti Sejarah (Terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta : Yayasan Penerbit UI.
Hamid, Abu. T.Th. “Kebudayaan Bugis”. Makassar: DInas KKebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Henropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Cet. IX. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Kallupa, Bahru. 1984. Taman Purbakala Batu Pake Gojeng Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Ujungpandang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Perlawanan bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme dan Imperialisme bansga eropa di Nusantara

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Kedatangan bangsa barat (Portugis, Inggris, dan Belanda) di wilayah Indonesia, yang diikuti dengan penguasaan terhadap wilayah-wilayah di Indonesia dalam periode tertentu ternyata menimbulkan reaksi dari rakyat Indonesia. Reaksi tersebut bentuknya bermacam-macam, tetapi pada pokoknya hanya dua, yaitu kerjasama dan perlawanan. Kerjasama kebanyakan dilakukan bilamana rakyat Indonesia baik secara individu maupun kelompok ingin mendapatkan kekuasaan, sebaliknya perlawanan dilakukan bila bangsa barat tersebut berusaha mengambil alih aset yang dimilikinya, apakah itu berbentuk tempat berdagang, bertani atau berkuasa. Selain itu perlawanan juga dilakukan rakyat Indonesia terhadap bangsa Barat yang disebabkan bangsa-bangsa tersebut berusaha memaksakan kehendaknya dengan cara ingin memperluas kekuasaannya di Indonesia sambil merampas hak-hak tradisional kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terhadap ...

Makalah Hukum Administrasi negara (HAN)

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Dalam cabang ilmu hukum, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut Hukum Administrasi Negara. Misalnya ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan, dan ada juga yang menggunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara. Meskipun dalam ruang penyebutan istilah yang berbeda, namun dalam perkembangan selanjutnya pemakaian istilah untuk bidang ilmu hukum ini diganti lagi menjadi istilah Hukum Administrasi Negara, setelah sebelumnya sempat menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan pada tahun 1972 atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 30 Desember 1972 Nomor 198/U/1972 tentang pedoman kurikulum minimal. Hukum Administrasi Negara ini menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan dan yang memungkinkan para pejabat administrasi Negara melakukan tugas istimewa mereka (definisi Logemann). Administrasi Negara diberi tugas mengatur kepentingan umum, misalnya kesehatan masyarakat, ...

LAPORAN KIMIA (Larutan Gula)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Larutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai membentuk larutan jenuh. Apabila suatu larutan suhunya di ubah, maka hasil kelarutannya akan berubah. Larutan ada yang jenuh, tidak jenuh dan lewat jenuh. Larutan dikatakan jenuh pada temperatur tertentu, bila larutan tidak dapat melarutkan lebih banyak zat terlarut. Bila jumlah zat terlarut kurang dari larutan jenuh di sebut larutan tidak jenuh. Dan bila jumlah zat terlarut lebih dari larutan jenuh maka di sebut larutan lebih jenuh. Daya larut suatu zat dalam zat lain, di pengaruhi oleh zat pelarut, temperatur dan sedikit tekanan. Pengaruh suhu terhadap larutan dapat dilihat pada peristiwa sederhana yang terjadi pada kehidupan sehari hari yaitu kelarutan gula dalam air. Gula yang dilarutkan kedalam air panas, dan satu lagi kedalam air dingin maka gula akan cepat larut pada air yang panas karena semakin besar suhu semakin besar pula kelarutannya. Aplikasi kelarutan dalam du...