Kebangkitan Islam Sebuah
Keniscayaan
Selama kurun lebih dari seribu tahun, abad kesembilan hingga abad
kesembilan belas umat Islam telah mengalami kegemilangan, baik di bidang sains
dan teknologi, budaya apalagi agama. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa
telah berlangsung sejak abad ke-12. Sejak abad ke-14 timbul gerakan kebangkitan
kembali (renaissance) pusaka Yunani yang diselamatkan, dipelihara dan
dikenal berkat terjemahan-terjemahan Arabnya. Pengaruh kebudayaan Islam itu
sendiri terutama meluas di Eropa melalui masyarakat Islam Spanyol (711-1492 M),
dan Sisilia (825-1091M) (Poeradisastra, 1986:10).
Peradaban Islam di Spanyol, dan keadaan Islam yang disaksikan di Palestina
dengan mata kepala sendiri oleh orang-orang Eropa berakibat baik untuk
penghalusan akhlak dan adat-istiadat mereka. Kesaksian tawanan-tawanan Kristen
tentang ketinggian budi dan keluhuran akhlak Sultan Salahuddin al-Ayyubi
(1137-1193) tersiar dari mulut ke mulut, dan akhirnya direkam di dalam sejarah.
Terkenal cerita bagaimana ia membebaskan beribu-ribu orang tawanan miskin yang
minta belas kasihannya atas nama keluarga yang akan mati terlantar kalau mereka
lama-lama ditawan.
Berjalan beberapa abad ke depan, saat ini umat Islam seakan tersadar dari
lelap yang panjang. Kebudayaan Eropa jauh mengungguli Islam baik di bidang
teknologi maupun ilmu pengetahuan. Beranjak dari kesadaran ini, umat Islam
menemukan kesadaran baru, yaitu: menghidupkan iman, mengaktifkan pemikiran, dan
menggairahkan gerakan Islam. Dalam hal ini, Al-Qur’an telah mengisyaratkan
melalui kisah perjalanan Bani Israil (awal surat al-Isra’) dan Al-Hadits yang
menjelaskan tentang lahirnya pembaharu setiap satu abad. Sejarah Islam pun
membuktikan isyarat ini, dengan bermunculannya harakah-harakah Islam
yang mempelopori anjuran kembali pada Islam secara kaffah.
Menurut Dr. Hasan at-Turabi, kebangkitan Islam merupakan fenomena sejarah
yang menumbuhkan kembali semangat iman, stagnasi pemikiran dan fikih, serta
gerakan (harakah) dan jihad. Kebangkitan ini juga membawa ujian-ujian bagi umat
Islam, sehingga mendorong mereka mencari sebab-sebab kejatuhan dan kehinaan
yang menimpa. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa kebangkitan Islam
merupakan wacana yang suram dalam pemikiran Islam kontemporer. Hal tersebut
barangkali disebabkan oleh kesenjangan ijtihad-ijtihad fikih. Mungkin pula
karena bayang-bayang sejarah sejak Perang Salib masih mendominasi pandangan
sebagian kalangan hingga kini, atau karena aktivis-aktivis yang terlibat dalam
persoalan ini pada umumnya adalah para da’i, bukan para politisi atau pakar
hukum.
Fenomena sikap saling mengkafirkan akibat perbedaan pelaksanaan ibadah
telah menjadi dalam realitas umat Islam. Sikap fanatik dan doktrin bahwa
kelompoknya paling benar yang ada pada kelompok-kelompok aktivis Islam,
mengakibatkan mereka belum atau tidak mau mengetahui berbagai pendapat dan
pandangan lain yang ada pada khazanah pemikiran Islam.
Islam sebagai agama yang sempurna. Para ulamanya telah banyak memberikan
interpretasi yang berbeda terhadap ayat-ayat Qur’an dan hadist agar Islam tetap
relevan dengan berbagai zaman. Imam-imam mujtahid sendiri dalam memegang
pendapatnya tidak serta-merta memaksakan kehendaknya kepada mujtahid yang lain.
Karena masing-masing mujtahid memperoleh dua pahala jika ijtihadnya benar dan
satu pahala jika ijtihadnya salah. Adapun jika terjadi perbedaan pandangan
dalam suatu masalah di antara mereka, maka diekspresikan dengan dialog
konstruktif , tidak sampai keluar dari etika ilmiah dalam bentuk mencela atau
melukai perasaan dialog.
Karena kesadaran bahwa kebenaran mutlak di tangan Allah SWT, sikap para
ulama salaf yang diwakili oleh Imam Syafi’i menyatakan, “Pendapatku mungkin
benar, namun juga mengandung kesalahan, dan pendapat lain mungkin salah, namun
juga mengandung kebenaran.”
Sebagaimana kita ketahui, pada awal perkembangan Islam, khususnya pada era
Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade berikutnya.
Sehingga persoalan-persoalan hukum baru belum muncul dan dengan demikian
perbedaan pendapat pun belum mencuat ke permukaan. Setelah Nabi wafat, para
sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, banyak dari mereka yang
kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama.
Di daerah-daerah Islam yang baru ini, persoalan-persoalan baru mulai
bermunculan. Namun demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad)
untuk memberi keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah atau
Hadits Nabi. Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah
dengan opini Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang
terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas’ud tentang masalah riba. Juga
antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti quru’ untuk
masa menunggu (Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendati pun begitu,
perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur’an dan As-sunnah.
Interpretasi Sunnah
Pengertian sunnah secara epistomologis adalah segala perkataaan,
perbuatan dan ketetapan (taqrir) Nabi, yang kemudian dijadikan sebagai
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Namun secara harfiah, berdasarkan
bukti-bukti sejarah kata sunnah diartikan sebagai tradisi yang berlangsung
secara lisan dan turun-temurun.
Islam sendiri lahir dalam suatu komunitas yang sudah memiliki sunnah (adat
kebiasaan). Sunnah tersebut mengandung banyak hal, antara lain berupa kebiasaan
praktis sehari-hari, prosedur atas transaksi tertentu, perbuatan dan
aturan-aturan yang tertentu yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Al-Qur’an
sendiri menegaskan bahwa prinsip dasar dari kehidupan moral bangsa Arab
pra-Islam adalah sunnah dari masyarakat Arab yang diterima secara turun-menurun
dari leluhur mereka.
Setelah Islam datang, sunnah (adat kebiasaan) itu tidak secara mentah
ditolak oleh Islam. Adat yang sesuai dengan Islam, akan diadopsi menjadi suatu
hukum syari’at Islam. Di sinilah sebenarnya telah terjadi akulturasi budaya
Arab pra-Islam dengan Islam. Sunnah (tradisi yang telah mengakar), sebagai
bagian penting dari hukum Islam, juga berlanjut pada masa sesudah Nabi Muhammad
SAW. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya telah dilaporkan mengirim surat kepada
Gubernur Abu Musa al-Asyari dan Mu’awiyah, yang isinya antara lain menganjurkan
agar mereka memanfaatkan sunnah yang berlaku di kalangan masyarakat mereka (al-sunnah
al-muttaba’ah) sebagai salah satu sumber dalam menghadapi berbagai
permasalahan hukum.
Sunnah yang dimaksudkan adalah tradisi yang telah mengakar di tengah
masyarakat sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut. Imam Ghozali,
mendefinisikan adat (urf) dalam kitab al-Mustashfa: “Sesuatu
yang telah menjadi mantap / mapan di dalam jiwa dari segi akal, dan telah dapat
diterima oleh watak-watak yang sehat / baik . Dengan demikian, apabila adat
atau ‘urf ditinjau dari sosiologis, berarti: hukum-hukum yang ditetapkan
untuk menyusun dan mengatur hubungan perseorangan dan hubungan masyarakat, atau
untuk mewujudkan kemashlahatan dunia.
Hukum-hukum ini dapat dipahami maknanya dan selalu diperhatikan ‘urf-‘urf
dan kemashlatan, dan dapat berubah menurut perubahan masa, tempat dan situasi.
Oleh karena itu hukum yang mengenai adat (mu’amalat) ini, kebanyakan
hukumnya bersifat keseluruhan, berupa kaidah-kaidah yang umum yang disertai
dengan illa-illatnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan sunnah (tradisi) merupakan
pandangan hidup dan sesuatu yang telah dan sedang diiikuti masyarakat tertentu.
Karena pada dasarnya masyarakat selalu bergerak dari satu situasi ke situasi
yang lain, dan evaluasi sunnah mutlak dilakukan sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi.
Kemunduran Kualitas
Salah satu kelemahan umat Islam saat ini, mereka sibuk mempersoalkan
masalah-masalah kecil dan melupakan masalah-masalah besar. Para aktivis dakwah
terlampau menyibukkan diri pada masalah-masalah yang tidak prinsipil dan tidak
memberikan perhatian yang memadai pada masalah-masalah besar yang berhubungan
dengan eksistensi dan masa depan umat.
Mereka mempersoalkan kembali masalah-masalah usang yang telah lama
diperdebatkan. Misalnya: memelihara janggut, memanjangkan pakaian hingga
menutupi mata kaki, menggerak-gerakkan telunjuk dalam tasyahud, maulid,
qunut dan sebagainya. Padahal, kita sedang menghadapi sekularisme yang
meracuni umat, zionisme, kristenisasi, dan berbagai gerakan baru yang
menghunjam tubuh umat serta menembus seluruh kawasan Islam yang luas di Asia
dan Afrika. Itulah bentuk serangan baru musuh-musuh Islam yang bertujuan
menghapuskan kepribadian kaum muslimin dan mencabutnya dari jati diri Islam.
Pada saat yang sama, terjadi perdebatan keras dan perpecahan di antara
kelompok-kelompok umat Islam yang disebabkan oleh masalah-masalah kecil yang
bersifat ijtihadiyah. Dampak negatif tersebut adalah kian menajam dan
suburnya aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran yang beraneka ragam sehingga
tidak mungkin mempersatukan umat.
Sebenarnya, yang dapat dijadikan prioritas adalah kesungguhan para aktivis
dakwah untuk memelihara kemurnian akidah umat Islam, mendorong pelaksanaan
kewajiban-kewajiban yang ditetapkan syariat, dan menjauhkan umat dari dosa-dosa
besar. Hal ini karena bila umat Islam berhasil memelihara akidah,
melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan menjauhi dosa-dosa besar, maka mereka
dapat mewujudkan obsesi dan usaha-usaha yang agung (termasuk penerapan syariat
Islam).
Akan tetapi, sangat disayangkan para aktivis dakwah malah menyukai
perdebatan masalah-masalah yang tidak prinsipil dan mengabaikan
kewajiban-kewajiban pokok, Mereka larut dalam perdebatan sehingga menyebabkan
kebiasaan, kemudian berlanjut dengan terjadinya permusuhan dan perselisihan.
Perdebatan semacam ini diisyaratkan oleh Rasulullah SAW.,
“Suatu kaum tidak tersesat setelah memperoleh petunjuk di mana mereka
berada padanya, kecuali (jika) mereka melakukan perdebatan.” (al-Hadist)
Akibat larut dalam perdebatan yang panjang, umat Islam tidak sempat
memikirkan lagi akan kesejahteraan hidupnya di dunia. Mereka tidak lagi
bersemangat untuk menguasai perekonomian, pengetahuan dan teknologi. Seorang
sosiolog Malaysia Sayid Hussen Alatas, menggambarkan mental orang Muslim
sebagai “mental para pemalas”.
Hal ini dibuktikan dengan data yang menunjukkan bahwa delapan negara-negara
paling miskin di dunia kebanyakan berada dalam populasi manusia di Etiopia,
Sierra Leona, Afghanistan, Kamboja, Somalia, Nigeria, Mozambiq dan Pakistan.
Mayoritas populasi enam di antaranya adalah negara-negara Islam.
Hari ini, ‘dunia Islam’ tersebar dalam 56 negara di dunia dan mempunyai
populasi penduduk ±1.3 milyar. Dunia Islam telah dikaruniai Allah dengan dua
pertiga atau tiga perempat kekayaan mineral dunia dan minyak. Anehnya,
kebanyakan negara-negara itu dalam pengelolaan kekayaan alamnya diserahkan
kepada Barat (termasuk Indonesia). Padahal sejak abad ketujuh hingga abad
keempat belas, dunia Islam memimpin di bidang ilmu kimia, matematika, filosofi,
ilmu perbintangan, hingga kedokteran dan obat-obatan. Tidak dapat dipungkiri lagi,
kelemahan umat Islam ini disebabkan oleh kemunduran kualitas pendidikan.
Fazlul Rahman salah seorang pemikir Muslim yang progesif, menjelaskan
secara detail bagaimana pendidikan Islam sejak abad kesepuluh hingga
sekarang telah mengalami perubahan dari yang sangat tercerahkan menjadi
dogmatis dan tidak relevan dengan kondisi sosial. Pengeroposan ini terjadi di
negeri-negeri Islam, mulanya diawali dengan masuknya kolonialisme Eropa. Selama
zaman penjajahan, aspek sosial-ekonomi dan peradaban masyarakat Muslim menjadi
semakin memburuk. Ernas Siswanto
http://cahayanabawiy.com/2016/11/14/kebangkitan-islam-sebuah-keniscayaan/
Komentar
Posting Komentar